JAKARTA - Pelaku usaha industri makanan dan minuman (mamin) menilai pekerjaan rumah terbesar berkutat pada dua hal mendasar, yakni tingginya biaya logistik antar pulau dan ketimpangan antara pertumbuhan sektor hilir dan hulu.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman membeberkan, efisiensi logistik menjadi kunci untuk memperkuat daya saing industri makanan dan minuman di tengah peta ekonomi Indonesia yang tersebar di berbagai pulau. “Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menurunkan biaya logistik antar pulau. Ini harus kita akui, kita negara kepulauan,” ujarnya di Jakarta Senin (10/11).
Dia menekankan bahwa percepatan layanan di pelabuhan dan sistem bongkar muat merupakan faktor vital yang bisa memangkas ongkos distribusi barang. “Kalau kita lihat dari pengalaman negara lain, sangat cepat sekali sehingga itu akan menurunkan biaya logistik yang luar biasa,” tambahnya.
Dia mengusulkan adanya platform terpadu yang mampu memberikan informasi real-time mengenai ketersediaan ruang kapal, jadwal bongkar muat, hingga kecepatan layanan pelabuhan. ”Kalau itu terbuka semua, saya yakin kita bisa semakin mendorong. Ini akan menambah volume masing-masing, sehingga saya yakin akan lebih murah biayanya,” tambahnya.
Selain urusan logistik, Adhi menyoroti ketimpangan pertumbuhan antara industri hilir, yakni sektor pengolahan produk makanan dan minuman, dengan hulu, yang menyediakan bahan baku. Saat ini investasi di sektor hilir tumbuh sangat pesat, sementara pengembangan di sektor hulu berjalan lambat karena keterbatasan modal dan dukungan kebijakan. ”Hulu butuh investasi yang besar, hulu perlu didorong pemerintah dengan insentif-insentif,” tuturnya.
Selama sektor hulu belum berkembang, industri makanan dan minuman nasional masih harus bergantung pada impor bahan baku. Ketergantungan ini membuat pelaku usaha rentan terhadap fluktuasi harga global dan hambatan regulasi domestik. (agf/dio)



