AKARTA - Potensi pemasukan dari pasar karbon di Indonesia sangat besar. Sayangnya peminatnya belum ramai. Pemerintah menyiapkan empat kebijakan khusus, supaya pasar karbon Indonesia jadi buruan bagi investor atau lembaga asing.
Saat berkunjung ke Paviliun Indonesia di ajang COP30 di Balem, Brasil, Wakil Menteri Kehutanan (Wamenhut) Rohmat Marzuki menyampaikan komitmen Indonesia untuk jadi pusat pasar karbon global. Target tersebut dikejar lewat empat kebijakan khusus, di sektor kehutanan.
“Kementerian Kehutanan sedang menyiapkan empat regulasi baru untuk memperkuat tata kelola pasar karbon. Langkah ini memastikan sistem yang kredibel, transparan, dan inklusif,” ujar Rohmat dalam keterangannya (12/11). Regulasi baru tersebut tertuang dalam beberapa peraturan.
Seperti revisi Permen 7/2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Kemudian Permen 8/2021 tentang Zonasi Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan pada Kawasan Hutan Lindung dan Produksi. Serta revisi Permen 9/2021 tentang pengelolaan Perhutanan Sosial.
Rohmat menekankan bahwa keempat aturan turunan itu menjadi pondasi hukum utama dalam implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di sektor kehutanan. “Peraturan ini menandai babak baru di mana manfaat pasar karbon tak hanya menopang target iklim nasional. Tetapi juga memberi dampak langsung bagi masyarakat pengelola hutan,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu Rohmat juga berbicara terkait capaian strategis Indonesia. Khususnya dalam kemitraan dengan International Emission Trading Association (IETA). Kemitraan ini akan membuka peluang peningkatan kapasitas, pertukaran pengetahuan, dan kolaborasi dengan sektor swasta dalam desain pasar karbon nasional.
Dia menegaskan seluruh langkah Kemenhut sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Citanya. Khususnya pada dua pilar utama. Yaitu ketahanan pangan dan pengelolaan lingkungan.
Rohmat mengatakan sebagai bagian dari transformasi kehutanan nasional, Kemenhut menggerakkan lima program unggulan. Yaitu digitalisasi layanan, pengakuan hutan adat, optimalisasi hasil hutan bukan kayu, penguatan konservasi, serta penerapan kebijakan satu peta.
Kemenhut mengklaim inovasi tersebut telah menurunkan luas kebakaran hutan dari 2,6 juta hektar di 2015, jadi sekitar 213 ribu hektar di 2025. Kemudian memperkuat pengawasan 57 taman nasional dengan sistem digital.
Selain itu, Rohmat menegaskan Kemenhut memimpin berbagai proyek restorasi hutan dan konservasi satwa. Seperti kemitraan senilai USD 150 juta di Taman Nasional Way Kambas dan Inisiatif Konservasi Gajah Peusangan di Aceh. “Program-program ini bukan hanya menjaga ekosistem, tetapi juga membuka ribuan lapangan kerja hijau dan memperkuat ekonomi lokal,” tandasnya. (wan)



