JAKARTA - Kasus bom masjid SMAN 72 Jakarta dengan pelaku siswa jadi perhatian pemerintah. Meskipun tidak terkait jaringan terorisme, pelaku peledakan bom ini terpapar paham radikalisme. Pemerintah tidak ingin kasus serupa terulang di sekolahan lainnya.
Kejadian bom masjid SMAN 72 Jakarta itu jadi bahasan utama dalam Kongres Rohis (Rohanis Islam) I di Ancol, Jakarta (12-14/11). Rohis adalah organisasi ekstrakurikuler di SMA atau SMK. Biasanya mereka bertugas mengelola masjid atau musala. Selain itu jadi penyelenggara kegiatan keagamaan Islam di sekolah.
Kementerian Agama (Kemenag) secara khusus mengumpulkan pengurus Rohis dari seluruh provinsi di Indonesia. Setiap provinsi diwakili sembilan sampai sepuluh orang pengurus Rohis. Mereka berkumpul untuk mendapatkan sejumlah pembekalan. Supaya pemahaman radikal, intoleransi, bahkan terorisme berkedok agama tidak menyusup ke sekolah-sekolah.
Harapannya, para personel Rohis menjadi garda terdepan membentengi pemahaman keagamaan kawan-kawannya. Sehingga anak-anak di sekolah umum memiliki pemahaman keagamaan yang moderat. Bukan pemahaman agama yang cenderung ekstrem kanan maupun kiri.
Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Kemenag M. Munir mengawali pidato pembukaan kongres dengan ucapan duka serta prihatin atas kejadian bom masjid SMAN 72 Jakarta. "Mari kita bersama mendoakan teman-teman yang jadi korban. Supaya lekas sembuh dan bisa segera bersekolah lagi," katanya.
Gen Z Rentan Terpapar Ekstrimisme
Munir mengatakan, kasus bom dengan pelaku seorang siswa dan korbannya siswa juga itu, membuat Kemenag tergerak. Dia menegaskan, Kemenag mempunyai komitmen kuat untuk memperkuat pendidikan karakter berbasis moderasi beragama di kalangan pelajar.
Insiden tersebut, kata Munir, jadi pengingat kerentanan Generasi Z terhadap paparan ekstremisme. "Sebagaimana diperingatkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2023," jelasnya. Informasi dari kepolisian, bom di masjid sekolah itu dilakukan seorang siswa berumur 17 tahun. Pelaku diduga menjadi korban bullying dan terpapar konten radikal.
Munir mengatakan, lewat kongres itu, para Rohis bisa membentuk jejaring nasional. Kemudian bersama-sama menjadi benteng utama pencegahan radikalisme di sekolah. "Khususnya di jenjang SMA, SMALB, dan SMK," tandasnya.
Tanda Kegagalan Sistemik
Munir menjelaskan, tragedi bom di SMAN 72 itu, menjadi penanda kegagalan sistemik dalam mendeteksi tanda-tanda krisis mental dan paparan radikal di kalangan remaja. Pelaku seorang siswa pendiam dan menjadi korban perundungan serta penggemar video kekerasan ekstrem, mewakili fenomena yang lebih luas.
Munir menyebut, hasil survei Wahid Foundation pada 2016 lalu mencatat 58 persen aktivis Rohis siap terlibat konflik radikal. Sementara BNPT memperingatkan Gen Z sebagai kelompok rentan melalui internet. Dia menegaskan situasi negatif tersebut harus segera ditangkis lewat pemahaman keagamaan yang moderat.
Dia menegaskan, Rohis sebagai ekstrakurikuler keagamaan harus menjadi wadah aktualisasi potensi siswa yang aman, moderat, dan inklusif.
"Tragedi SMAN 72 memperkuat kebutuhan mendesak untuk merevitalisasi Rohis," ungkapnya. Sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam 4510/2023 tentang Panduan Pengembangan Keagamaan Islam Melalui Rohis di Sekolah. (wan/oni)



