Saya baru kembali dari rangkaian China-Indonesia Industrial Park Green Development Program di Beijing dan Tianjin, Tiongkok. Program itu mempertemukan pengambil kebijakan, pengelola kawasan industri, dan lembaga riset dari kedua negara untuk memperkuat kolaborasi menuju industrialisasi hijau dan rendah karbon.
Dari forum ilmiah di Chinese Academy of Sciences (CAS) hingga kunjungan lapangan ke kawasan industri Tianjin Economic-Technological Development Area (TEDA) itu, satu kesan paling kuat muncul, yaitu transformasi hijau hanya bisa berhasil apabila dijalankan secara sistematis dengan arah kebijakan negara yang tegas serta kolaborasi publik-swasta yang disiplin.
Program itu difasilitasi Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Global Environmental Institute (GEI) dengan dukungan Energy Foundation China dan CAS. Delegasi Indonesia diikuti perwakilan Kementerian Perindustrian, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, serta Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI). Tujuannya, memperdalam pemahaman tentang praktik terbaik pengembangan eco-industrial park (EIP). Konsep kawasan industri modern yang mengintegrasikan efisiensi energi, konservasi air, pengelolaan limbah, dan inovasi teknologi dalam satu ekosistem berkelanjutan.
Jangkar Kebijakan
Dari berbagai pertemuan di Beijing, terlihat jelas bahwa Tiongkok tidak menganggap transisi energi sebagai beban, tetapi sebagai mesin daya saing nasional. Pemerintah memulai dengan arah strategis yang tegas: sasaran dual carbon. Yaitu, puncak emisi sebelum 2030 dan netral karbon pada 2060 untuk dijadikan jangkar seluruh kebijakan industri, keuangan, dan investasi. Semua kementerian bekerja dalam satu orkestra kebijakan. Tak ada ego sektoral. Tak ada kebingungan arah. Setiap rencana pembangunan, mulai energi hingga manufaktur, merujuk pada target nasional tersebut.
Konsistensi kebijakan itu diperkuat standar teknis yang terukur. Tiongkok memiliki Standard for National Eco-Industrial Parks (HJ/T 274-2015), seperangkat indikator resmi yang menilai efisiensi energi, konservasi air, simbiosis antarindustri, dan keterbukaan data. Dengan standar itu, konsep ’’hijau’’ menjadi sesuatu yang bisa diaudit, bukan slogan politik. Setiap kawasan industri diwajibkan memiliki digital dashboard yang memantau konsumsi energi, emisi, dan kualitas air limbah secara waktu nyata.
Indonesia memerlukan padanan serupa. Langkah membuat standar kawasan industri berwawasan lingkungan (KIBL) harus terus disempurnakan yang tidak hanya normatif, tetapi juga berbasis data dan indikator kinerja nyata.
Baca Juga
Benteng Retak Keamanan Hakim
Pilar berikutnya adalah pasar dan insentif yang selaras. Sejak 2021, Tiongkok mengoperasikan pasar karbon nasional (emission trading system/ETS) yang kini mencakup lebih dari 2.000 perusahaan energi dan akan diperluas ke sektor industri berat. Nilai transaksinya pada 2024 lebih dari 13 miliar yuan atau setara Rp 29 triliun.
Skema itu memberikan sinyal harga bagi efisiensi dan elektrifikasi proses industri. Indonesia telah memiliki bursa karbon, tetapi masih perlu memperkuat mekanisme measurement, reporting and verification (MRV) serta memperluas cakupan sektor agar pasar karbon benar-benar mendorong perubahan perilaku industri, bukan sekadar simbol komitmen hijau.
Kebijakan fiskal dan moneter di Tiongkok juga diarahkan untuk mempercepat transisi hijau. Bank sentralnya (People’s Bank of China) meluncurkan Carbon Emission Reduction Facility (CERF), skema likuiditas berbiaya rendah bagi bank yang menyalurkan kredit ke proyek-proyek hijau seperti efisiensi energi, waste-to-resource, dan pembangkit energi terbarukan. Suku bunganya hanya 1,75 persen per tahun dengan dukungan jaminan pemerintah.
Ditopang taksonomi hijau nasional yang konsisten lintas instrumen pembiayaan, arsitektur itu bisa menurunkan cost of capital proyek hijau dan mempercepat investasi infrastruktur lingkungan. Indonesia perlu mengadopsi model serupa: pembiayaan hijau yang murah, cepat, dan terukur.
Jaminan Hukum
Selain insentif ekonomi, Tiongkok memperbaiki fondasi hukum dan iklim investasinya. Mereka memangkas negative list investasi asing, membuka sektor energi bersih dan teknologi tinggi, serta memastikan sistem perizinan satu pintu yang benar-benar berfungsi. Di TEDA, setiap investor mendapat service-level agreement (SLA) yang menjamin waktu izin dan koneksi utilitas. Hasilnya konkret: kawasan industri TEDA seluas 40 ribu hektare itu berkontribusi sekitar 14 persen terhadap PDRB Tianjin, dengan nilai output industri lebih dari 500 miliar yuan. Itulah bukti bahwa kepastian hukum dan efisiensi birokrasi menciptakan kepercayaan dan percepatan investasi.
Salah satu pelajaran paling menarik datang dari fasilitas pengolahan air limbah TEDA yang dioperasikan Veolia. Dengan kapasitas 100 ribu meter kubik per hari, seluruh operasi minim sumber daya dan sludge hanya dikelola oleh tiga orang berkat sistem otomasi penuh berbasis supervisory control and data acquisition (SCADA) dan sensor real-time yang memantau pH, COD, dan amonia. Di sini, manusia tidak lagi menjadi operator manual, tetapi analis yang mengambil keputusan berdasar data. Inilah paradigma baru industri: teknologi digital menjadikan efisiensi dan kepatuhan lingkungan berjalan seiring.
Baca Juga
Dinamika Biner pada Gelar Pahlawan
Dari pengalaman lapangan tersebut, ada lima langkah praktis yang dapat segera diadopsi Indonesia. Pertama, menetapkan standar nasional EIP/KIBL yang dapat diaudit dengan indikator energi, air, dan emisi. Kedua, membangun fasilitas pembiayaan hijau bergulir dengan bunga rendah untuk proyek energi, limbah, dan air di kawasan industri.
Ketiga, memperkuat pasar karbon agar efisiensi memiliki nilai ekonomi. Keempat, menyederhanakan izin dan menegakkan kepastian hukum lintas lembaga. Kelima, mewajibkan digitalisasi utilitas kawasan sehingga data lingkungan dan energi mengalir otomatis ke otoritas untuk memastikan akuntabilitas.
Namun, di atas semua itu, peran negara tetap sentral. Arah kebijakan yang tegas, insentif fiskal yang berpihak, dan kepastian hukum yang stabil adalah fondasi utama keberhasilan transisi hijau.
Tiongkok menunjukkan, ketika target nasional, standar teknis, pasar, dan pembiayaan bersinergi, industri bergerak bukan karena paksaan, melainkan karena logika ekonomi yang rasional. Indonesia sudah memiliki fondasi awal seperti program KIBL, inisiatif efisiensi energi, dan pasar karbon. Tantangannya kini adalah eksekusi dan konsistensi kebijakan lintas kementerian. (*)
’’Tiongkok menunjukkan, ketika target nasional, standar teknis, pasar, dan pembiayaan bersinergi, industri bergerak bukan karena paksaan, melainkan karena logika ekonomi yang rasional.’’



