Loading...
Sabtu Legi, 15 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
OpiniGuru MenulisCAKJEPEJurnal Mahasiswa
Home
›Opini

Benteng Retak Keamanan Hakim

Editor-Opini
14 November 2025
Benteng Retak Keamanan Hakim
Klik untuk perbesar
Agung Kurniawan/Jawa Pos

Oleh: Achmad Fauzi, Ketua Pengadilan Agama Probolinggo; Alumnus Program Doktor FIAI UII Jogjakarta

Keadilan dibayangkan melulu berdiri kukuh karena hukum. Padahal, sesungguhnya ia tegak oleh keberanian manusia yang menegakkannya. Di balik palu yang diketuk, ada pergulatan batin antara keyakinan moral hakim dan rasa aman yang kian rapuh di sekelilingnya. Saat hakim disekap dalam intimidasi dan ketakutan, yang terancam bukan hanya dirinya, tetapi seluruh bangunan keadilan.

Kasus terbakarnya rumah hakim PN Medan Khamozaro Waruwu saat tengah bersidang merupakan cermin kegagalan negara melindungi para penjaganya. Keamanan hakim seharusnya tidak dilihat semata urusan kriminalitas atau protokol pengamanan, tetapi sebagai indikator kualitas demokrasi konstitusional kita: seberapa jauh negara mampu menjaga ruang bebas dari rasa takut bagi penegak keadilan.

Persoalan keamanan hakim selama ini dibingkai secara sempit –sekadar soal pengamanan secara insidental dalam kasus-kasus yang mengancam keselamatan. Padahal, ia berakar pada arsitektur kekuasaan yang belum sepenuhnya menempatkan peradilan sebagai kekuasaan sejajar.

Secara teoretis, independensi peradilan bukan hanya hak untuk memutus tanpa intervensi, melainkan juga hak untuk aman dalam menjalankan fungsi yudisial. Independensi tanpa perlindungan hanyalah kebebasan yang rapuh, sementara perlindungan tanpa independensi hanyalah keamanan yang semu.

Di banyak negara, keamanan hakim menjadi bagian dari desain kelembagaan peradilan. Amerika Serikat, misalnya, menempatkan keamanan hakim di bawah Judicial Security Division dari US Marshals Service yang bertanggung jawab langsung kepada Judicial Conference.

Di Inggris, keamanan peradilan dikaitkan dengan judicial integrity framework –perlindungan fisik, psikologis, dan reputasional hakim sebagai satu kesatuan. Sementara di Indonesia, keamanan pengadilan masih diposisikan sebagai ’’urusan bantuan’' kepolisian. Artinya, lembaga yudikatif masih bergantung pada eksekutif untuk menjaga dirinya.

Ancaman hakim kini semakin mengerikan karena bergeser ke ruang digital. Dalam publik yang hiperreaktif, satu putusan bisa memicu doxing, serangan daring, bahkan ancaman mati –bukan dari pihak beperkara, melainkan dari opini massa yang terbelah. Rasa aman hakim kini bergantung pada kemampuan negara menciptakan ruang digital yang beradab.

Ironisnya, Indonesia belum memiliki mekanisme terpadu yang melindungi identitas, data pribadi, dan keselamatan digital hakim. Padahal, kerentanan digital bisa berujung pada tekanan psikologis yang memengaruhi kebebasan batin dalam memutus perkara. Sebagaimana dikatakan hakim agung Afrika Selatan Albie Sachs, ’’Hakim tidak boleh hanya bebas dari tekanan politik, tetapi juga dari ketakutan dalam pikirannya sendiri.’’

Baca Juga

Dinamika Biner pada Gelar Pahlawan

Karena itu, seruan memperkuat keamanan hakim bukanlah seruan untuk melindungi individu, melainkan untuk menyelamatkan keadilan itu sendiri. Sebab, ketika palu hukum diketuk dengan rasa waswas, yang runtuh bukan hanya tembok pengadilan, melainkan seluruh legitimasi hukum di mata rakyat.

Di sinilah pentingnya memperluas perspektif: melihat keamanan hakim bukan hanya sebagai urusan perlindungan personal, melainkan sebagai isu sistemik yang mencakup tiga lapisan: keamanan fisik, keamanan digital, serta keamanan moral-institusional.

Keamanan Fisik

Negara harus mengakui bahwa perlindungan fisik hakim tak bisa lagi bergantung pada aparat eksekutif. Tanggung jawab keamanan pengadilan yang selama ini berada di bawah kepolisian menimbulkan paradoks: lembaga yang seharusnya independen justru bergantung pada kekuasaan lain untuk keselamatannya.

Pembentukan satuan pengamanan khusus di bawah Mahkamah Agung menjadi langkah strategis. Unit itu dapat berfungsi layaknya Court Security Unit di Jepang atau Judicial Security Division di AS –mempunyai kewenangan penuh menjaga hakim dan keluarga mereka dari ancaman. Dengan demikian, negara tidak hanya melindungi individu, tetapi menjaga simbol independensi kekuasaan kehakiman.

Pada era hiperkoneksi, serangan terhadap hakim tak lagi datang dari jalanan, tetapi dari ruang maya. Identitas pribadi, alamat rumah, hingga riwayat putusan bisa disebarluaskan untuk menimbulkan tekanan sosial. Bentuk ancamannya bervariasi: intimidasi daring, penyebaran hoaks, hingga penghancuran reputasi.

Sayang, belum ada kerangka kebijakan nasional yang secara khusus melindungi hakim dari ancaman digital. Di sinilah keamanan digital menjadi bagian dari konsep keadilan modern: menjaga kebebasan memutus dari tekanan algoritma dan opini massa.

Keamanan Moral-Institusional

Ini adalah lapisan paling halus sekaligus paling menentukan. Ancaman terhadap hakim tidak selalu datang dari luar, tetapi juga dari dalam: tekanan karier, loyalitas jabatan, atau rasa takut membuat putusan yang ’’tidak populer’’.

Dalam birokrasi yang hierarkis, keberanian moral sering kali lebih sulit dijaga daripada keamanan fisik. Karena itu, perlindungan terhadap hakim juga harus disertai reformasi budaya kelembagaan.

Tiga lapisan itu harus dilihat sebagai satu kesatuan. Tanpa keamanan fisik, hakim tak berani memutus. Tanpa keamanan digital, hakim mudah diserang. Dan, tanpa keamanan moral, hakim kehilangan kompas nurani. Maka, memperkuat keamanan hakim bukan semata melindungi orangnya, tetapi menyelamatkan keadilan itu sendiri. (*)

Baca Juga

Membaca Pahlawan dalam Cermin Gus Dur

’’Memperkuat keamanan hakim bukan semata melindungi orangnya, tetapi menyelamatkan keadilan itu sendiri.’’

Galeri Foto

Achmad Fauzi
Klik untuk perbesar

Achmad Fauzi

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Mamdani Jadi Wali Kota New York, Trump Ancam Potong Dana Federal

CAKJEPE
2

Arah Jelas dan Sistematis untuk Industrialisasi Hijau Indonesia

Opini
3

OTT KPK Bupati Ponorogo

CAKJEPE
4

Chairil Anwar Juga Ikut ’’Bertempur’’ di Surabaya

Opini
5

Mafia BBM

Opini

Berita Terbaru

Indikasi Tercemar, Produk Sepatu RI Dipulangkan dari AS

Indikasi Tercemar, Produk Sepatu RI Dipulangkan dari AS

CAKJEPE•18 jam yang lalu
Dinamika Biner  pada Gelar Pahlawan

Dinamika Biner pada Gelar Pahlawan

Opini•1 hari yang lalu
Home
›Opini
›Benteng Retak Keamanan Hakim
Benteng Retak Keamanan Hakim
Opini

Benteng Retak Keamanan Hakim

Editor-14 November 2025
Klik untuk perbesar

Agung Kurniawan/Jawa Pos

Bagikan artikel ini

Oleh: Achmad Fauzi, Ketua Pengadilan Agama Probolinggo; Alumnus Program Doktor FIAI UII Jogjakarta

Keadilan dibayangkan melulu berdiri kukuh karena hukum. Padahal, sesungguhnya ia tegak oleh keberanian manusia yang menegakkannya. Di balik palu yang diketuk, ada pergulatan batin antara keyakinan moral hakim dan rasa aman yang kian rapuh di sekelilingnya. Saat hakim disekap dalam intimidasi dan ketakutan, yang terancam bukan hanya dirinya, tetapi seluruh bangunan keadilan.

Kasus terbakarnya rumah hakim PN Medan Khamozaro Waruwu saat tengah bersidang merupakan cermin kegagalan negara melindungi para penjaganya. Keamanan hakim seharusnya tidak dilihat semata urusan kriminalitas atau protokol pengamanan, tetapi sebagai indikator kualitas demokrasi konstitusional kita: seberapa jauh negara mampu menjaga ruang bebas dari rasa takut bagi penegak keadilan.

Persoalan keamanan hakim selama ini dibingkai secara sempit –sekadar soal pengamanan secara insidental dalam kasus-kasus yang mengancam keselamatan. Padahal, ia berakar pada arsitektur kekuasaan yang belum sepenuhnya menempatkan peradilan sebagai kekuasaan sejajar.

Secara teoretis, independensi peradilan bukan hanya hak untuk memutus tanpa intervensi, melainkan juga hak untuk aman dalam menjalankan fungsi yudisial. Independensi tanpa perlindungan hanyalah kebebasan yang rapuh, sementara perlindungan tanpa independensi hanyalah keamanan yang semu.

Di banyak negara, keamanan hakim menjadi bagian dari desain kelembagaan peradilan. Amerika Serikat, misalnya, menempatkan keamanan hakim di bawah Judicial Security Division dari US Marshals Service yang bertanggung jawab langsung kepada Judicial Conference.

Di Inggris, keamanan peradilan dikaitkan dengan judicial integrity framework –perlindungan fisik, psikologis, dan reputasional hakim sebagai satu kesatuan. Sementara di Indonesia, keamanan pengadilan masih diposisikan sebagai ’’urusan bantuan’' kepolisian. Artinya, lembaga yudikatif masih bergantung pada eksekutif untuk menjaga dirinya.

Ancaman hakim kini semakin mengerikan karena bergeser ke ruang digital. Dalam publik yang hiperreaktif, satu putusan bisa memicu doxing, serangan daring, bahkan ancaman mati –bukan dari pihak beperkara, melainkan dari opini massa yang terbelah. Rasa aman hakim kini bergantung pada kemampuan negara menciptakan ruang digital yang beradab.

Ironisnya, Indonesia belum memiliki mekanisme terpadu yang melindungi identitas, data pribadi, dan keselamatan digital hakim. Padahal, kerentanan digital bisa berujung pada tekanan psikologis yang memengaruhi kebebasan batin dalam memutus perkara. Sebagaimana dikatakan hakim agung Afrika Selatan Albie Sachs, ’’Hakim tidak boleh hanya bebas dari tekanan politik, tetapi juga dari ketakutan dalam pikirannya sendiri.’’

Baca Juga

Dinamika Biner pada Gelar Pahlawan

Karena itu, seruan memperkuat keamanan hakim bukanlah seruan untuk melindungi individu, melainkan untuk menyelamatkan keadilan itu sendiri. Sebab, ketika palu hukum diketuk dengan rasa waswas, yang runtuh bukan hanya tembok pengadilan, melainkan seluruh legitimasi hukum di mata rakyat.

Di sinilah pentingnya memperluas perspektif: melihat keamanan hakim bukan hanya sebagai urusan perlindungan personal, melainkan sebagai isu sistemik yang mencakup tiga lapisan: keamanan fisik, keamanan digital, serta keamanan moral-institusional.

Keamanan Fisik

Negara harus mengakui bahwa perlindungan fisik hakim tak bisa lagi bergantung pada aparat eksekutif. Tanggung jawab keamanan pengadilan yang selama ini berada di bawah kepolisian menimbulkan paradoks: lembaga yang seharusnya independen justru bergantung pada kekuasaan lain untuk keselamatannya.

Pembentukan satuan pengamanan khusus di bawah Mahkamah Agung menjadi langkah strategis. Unit itu dapat berfungsi layaknya Court Security Unit di Jepang atau Judicial Security Division di AS –mempunyai kewenangan penuh menjaga hakim dan keluarga mereka dari ancaman. Dengan demikian, negara tidak hanya melindungi individu, tetapi menjaga simbol independensi kekuasaan kehakiman.

Pada era hiperkoneksi, serangan terhadap hakim tak lagi datang dari jalanan, tetapi dari ruang maya. Identitas pribadi, alamat rumah, hingga riwayat putusan bisa disebarluaskan untuk menimbulkan tekanan sosial. Bentuk ancamannya bervariasi: intimidasi daring, penyebaran hoaks, hingga penghancuran reputasi.

Sayang, belum ada kerangka kebijakan nasional yang secara khusus melindungi hakim dari ancaman digital. Di sinilah keamanan digital menjadi bagian dari konsep keadilan modern: menjaga kebebasan memutus dari tekanan algoritma dan opini massa.

Keamanan Moral-Institusional

Ini adalah lapisan paling halus sekaligus paling menentukan. Ancaman terhadap hakim tidak selalu datang dari luar, tetapi juga dari dalam: tekanan karier, loyalitas jabatan, atau rasa takut membuat putusan yang ’’tidak populer’’.

Dalam birokrasi yang hierarkis, keberanian moral sering kali lebih sulit dijaga daripada keamanan fisik. Karena itu, perlindungan terhadap hakim juga harus disertai reformasi budaya kelembagaan.

Tiga lapisan itu harus dilihat sebagai satu kesatuan. Tanpa keamanan fisik, hakim tak berani memutus. Tanpa keamanan digital, hakim mudah diserang. Dan, tanpa keamanan moral, hakim kehilangan kompas nurani. Maka, memperkuat keamanan hakim bukan semata melindungi orangnya, tetapi menyelamatkan keadilan itu sendiri. (*)

Baca Juga

Membaca Pahlawan dalam Cermin Gus Dur

’’Memperkuat keamanan hakim bukan semata melindungi orangnya, tetapi menyelamatkan keadilan itu sendiri.’’

Galeri Foto

Achmad Fauzi
Klik untuk perbesar

Achmad Fauzi

Most Read

1

Mamdani Jadi Wali Kota New York, Trump Ancam Potong Dana Federal

CAKJEPE
2

Arah Jelas dan Sistematis untuk Industrialisasi Hijau Indonesia

Opini
3

OTT KPK Bupati Ponorogo

CAKJEPE
4

Chairil Anwar Juga Ikut ’’Bertempur’’ di Surabaya

Opini
5

Mafia BBM

Opini

Berita Terbaru

Indikasi Tercemar, Produk Sepatu RI Dipulangkan dari AS

Indikasi Tercemar, Produk Sepatu RI Dipulangkan dari AS

CAKJEPE•18 jam yang lalu
Dinamika Biner  pada Gelar Pahlawan

Dinamika Biner pada Gelar Pahlawan

Opini•1 hari yang lalu

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001