DUA peristiwa terjadi pada saat hampir bersamaan. Dua peristiwa yang berbeda, tetapi memiliki satu dimensi yang bisa menghubungkan. Dua peristiwa itu adalah mangkatnya Raja Keraton Surakarta Susuhunan Paku Buwono (PB) XIII dan penetapan gelar pahlawan nasional untuk sejumlah tokoh pada Hari Pahlawan, 10 November lalu. Termasuk Soeharto, tokoh politik yang diapresiasi oleh sebagian kalangan dan dipandang secara negatif oleh kalangan yang lain.
Pada peristiwa pertama, seperti sejarah yang selalu berulang dalam tata laku kehidupan manusia berkaitan dengan peralihan kuasa, kita menyaksikan mangkatnya PB XIII diikuti kontroversi perebutan kuasa di antara para ahli waris. Di satu pihak, putra mahkota menobatkan diri sebagai raja baru. Sementara di pihak lain, mahamenteri menyebut tidak boleh ada penobatan pada masa berkabung sehingga raja baru belum ada.
Perebutan kuasa itu dengan sendirinya akan melahirkan persepsi tentang kawan dan lawan. Jika ditarik pada wilayah yang lebih luas, melahirkan pandangan tentang siapa menjadi pahlawan atau pemberontak. Persis pada titik inilah dua peristiwa itu menemukan benang merahnya. Pada peristiwa kedua, yakni pemberian anugerah gelar pahlawan kepada Soeharto, kontroversi menyeruak dan melahirkan aneka pandangan yang saling bertentangan.
Dimensi Peristiwa
Dengan menggabungkan dimensi-dimensi pada kedua peristiwa di atas, bisa dikatakan bahwa ada dinamika biner yang bersifat intrinsik dalam setiap peristiwa. Dalam konteks filsafat ilmu pengetahuan, dinamika seperti itu sering disebut binary opposition, yakni dua dinamika yang bertentangan tetapi sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan. Ketiadaan salah satu dinamika akan menimbulkan ketidakseimbangan.
Lantaran itulah, dalam menilai penganugerahan gelar kepahlawanan kepada tokoh-tokoh yang dianggap kontroversial, atau tidak layak karena rekam jejak masa lalu yang justru dianggap berlawanan dengan hakikat kepahlawanan sendiri, pencermatan atas beberapa hal berikut ini menjadi sangat penting.
Pertama, persepsi tentang kepahlawanan sangat dipengaruhi sudut pandang. Mari kembali ke Keraton Surakarta. Perpecahan di kalangan keluarga bangsawan merupakan hal yang selalu ditemui dalam etape sejarah. Namun, setiap perpecahan pastilah selalu diiringi narasi tentang pahlawan dan pemberontak.
Baca Juga
Benteng Retak Keamanan Hakim
Sebelum pada akhirnya pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta, Mataram Islam mengalami dinamika internal yang menarik. Paku Buwono III, penguasa terakhir Mataram Islam, berpihak kepada Belanda VOC, di satu sisi. Sementara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa di sisi yang lain beraliansi melawan Paku Buwono (PB) III.
VOC berpihak kepada PB III karena aliansi di antara kedua pihak bisa melahirkan keuntungan politik dan ekonomi bagi perusahaan dagang Belanda itu. Sementara Pangeran Mangkubumi dan Raden Said atau Pangeran Sambernyawa menentang PB III setidaknya karena dua hal. Yakni, sikap lunak kepada VOC dan persepsi bahwa PB III mewarisi takhta secara tidak sah.
Maka di sinilah kepahlawanan atau pemberontakan menjadi pandangan yang dengan mudah diubah berdasar pergeseran posisi. PB III dan VOC melihat Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa sebagai penjahat karena menentang mereka. Sementara kelompok yang terwakili oleh perlawanan kedua pangeran itu memuja keduanya sebagai pahlawan.
Perubahan tiba-tiba terjadi. Pangeran Mangkubumi pada akhirnya berdamai dengan PB III yang ditandai dengan Palihan Nagari atau pembagian Mataram menjadi dua wilayah kekuasaan. Maka permusuhan berubah menjadi perdamaian dan kerja sama. Sementara di sisi lain, Pangeran Sambernyawa yang selama ini berjuang bersama Mangkubumi merasa dikhianati dan berbalik sikap menjadi bermusuhan dengan Mangkubumi. Di sinilah dengan jelas terlihat perubahan persepsi akan kepahlawanan sangat bergantung pada sudut pandang.
Sudut pandang ini pula yang melahirkan perbedaan dalam menyikapi gelar pahlawan nasional bagi Soeharto. Pihak-pihak yang mendapatkan pengalaman pahit selama masa pemerintahan Orde Baru menilai gelar itu sama sekali tidak layak. Namun, mereka yang memiliki pengalaman positif, atau setidaknya berusaha bersikap netral dengan menampilkan kebaikan dan keburukan secara imbang, menilai wajar Soeharto mendapat gelar tersebut. Sebab, di samping hal-hal buruk yang diakibatkan kebijakan Soeharto selama memerintah, ada pula manfaat-manfaat yang dipetik. Tetapi, itu pun tidak mutlak.
Relativitas
Kedua, setiap dinamika kehidupan selalu mengandung relativitas sekaligus ketidaksempurnaan sebagai sifat dasar. Relativitas itu terlihat jelas dalam pembelahan sikap publik atas anugerah gelar pahlawan bagi Soeharto. Organisasi Islam seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU) mendukung gelar pahlawan bagi Soeharto dengan argumentasi bahwa di luar hal-hal buruk yang dia dilakukan pada masa berkuasanya dulu, pastilah ada hal-hal baik. Tiga organisasi Islam terbesar di Indonesia itu menggunakan sudut pandang realistis, di satu sisi, dan spiritualis di sisi yang lain.
Sementara kalangan aktivis pada umumnya menolak gelar pahlawan Soeharto dengan basis yang tak kalah kuatnya. Bahwa semasa hidupnya, Soeharto melakukan banyak pelanggaran kemanusiaan melalui otoritarianisme saat berkuasa. Maka berbeda dengan sudut pandang realistis dan spiritualis, penolakan gelar pahlawan untuk Soeharto didasarkan pada sudut pandang ideal dan legal formal.
Akibatnya, Soeharto tampak sebagai sosok yang harus diadili atas semua kesalahan yang dia perbuat. Kebaikan diakui, tetapi kesalahan harus diadili.
Dari kontras dua sikap itu, dukungan dua ormas Islam besar di Indonesia atas gelar pahlawan Soeharto bisa dianalogikan sebagai sudut pandang orang tua yang telah mengalami fase lerem dan ngenep. Meski secara harfiah lerem berarti istirahat atau berhenti sejenak, dalam konteks tertentu juga bisa maknai sebagai kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mengatakan hal buruk dengan keburukan pula.
Sementara ngenep adalah pengendapan aneka pengalaman hidup dalam waktu panjang dengan berbagai spektrumnya, yang kemudian menjadikan seseorang mulai bisa memilah dan memilih tindakan dan keputusan mana yang harus diambil.
Lebih jauh, penerimaan tiga organisasi Islam tersebut juga banyak dihubungkan dengan kebijaksanaan Jawa, mikul dhuwur mendhem jero (memikul tinggi dan mengubur dalam), yakni menjunjung tinggi kebaikan orang-orang terdahulu, tentu saja termasuk jasa-jasa yang mereka tinggalkan. Pada saat yang sama, kesalahan-kesalahan atau hal-hal buruk yang mereka perbuat harus dikubur dalam-dalam.
Tentu, aneka pandangan itu sah dengan sudut pandang dan kebenaran masing-masing. Maka, biarkanlah semua pandangan tersebut berkembang karena itu sesungguhnya merupakan dinamika biner yang mewarnai kehidupan manusia, bahkan alam semesta. Hal yang tak boleh dilakukan adalah memaksakan kebenaran pandangan masing-masing. (*)
’’Soeharto tampak sebagai sosok yang harus diadili atas semua kesalahannya. Kebaikan diakui, tetapi kesalahan harus diadili.’’


