Loading...
Sabtu Legi, 15 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
OpiniGuru MenulisCAKJEPEJurnal Mahasiswa
Home
›Opini

Mafia BBM

Editor-Opini
6 November 2025
Mafia BBM
Klik untuk perbesar

Oleh: Effnu Subiyanto, Dosen dan peneliti UKWM Surabaya

Ontran-ontran pertalite produksi Pertamina benar-benar menampar kinerja Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Sudah ratusan motor di Jawa Timur menjadi korban. Insiden itu terjadi di Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Malang, hingga Surabaya sampai awal November ini.

Ditemukan air di tangki motor para pengendara setelah tangki dikuras. Hal itu tentu sangat merugikan karena sepeda motor tersebut digunakan oleh para pengemudi ojol, pekerja, pelajar, mahasiswa. Mereka kini harus mengeluarkan uang ekstra untuk servis. Waktu pun terbuang karena antrean servis.

Konon, Pertamina akan memberikan ganti rugi. Namun, prosedurnya dibuat sulit sehingga pesimistis rasanya kerugian akan bisa ditanggung mereka. Kembali rakyat dikorbankan. Dirugikan oleh keputusan hilir Kementerian Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM).

Rakyat pun makin jengah dan kecewa kepada Pertamina. SPBU swasta di Surabaya yang buka langsung diserbu sehingga menimbulkan antrean. Itu merupakan bentuk kekecewaan. Sebab, Pertamina sekian lama mendapat berkah monopoli BBM, tetapi tidak konsisten memperbaiki kinerjanya.

BBM oplosan Pertamina sudah sangat nyata. Sebaliknya, SPBU swasta yang baru beberapa tahun di Indonesia malah konsisten menjaga mutu.

Inkonsistensi

Sebelumnya, Oktober lalu, Kementerian ESDM juga mengecewakan SPBU swasta Indonesia. Shell, misalnya, memutuskan hengkang ke luar Indonesia tahun depan. Mereka akan menyerahkan bisnisnya kepada Citadel Pacific asal Filipina dan Sevas asal Indonesia.

Pangkal persoalannya, Shell tidak setuju dengan kewajiban membeli BBM metode best fuel dari Pertamina. Sebab, kualitas BBM Pertamina tidak memenuhi syarat. Selain itu, ditemukan unsur etanol 3,5 persen. Bahan etanol itu ternyata bisa berdampak menurunkan kinerja pembakaran BBM. Pantas saja jika BBM produk Pertamina ternyata sangat boros saat pemakaian.

Menurut pakar BBM, bahan etanol adalah jalan pintas dalam menaikkan angka RON, tetapi tidak dikompensasi dengan bahan aditif lain. Ibaratnya, ingin rasa manis kopi, yang ditambahkan adalah pemanis buatan, bukan gula.

Karena ketidaksinkronan kualitas bahan bakar, pantas saja BBM Pertamina menimbulkan lumpur di ruang bakar mesin akibat tidak sempurna terbakar. Kinerja Pertamina sangat-sangat menyedihkan, mentang-mentang dibutuhkan, tata kelolanya berantakan.

Baca Juga

Benteng Retak Keamanan Hakim

Hengkangnya Shell merupakan langkah mundur iklim investasi Indonesia. Jika dahulu Bahlil di BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menggebu-nggebu mengundang investor, kini dia menciptakan iklim investasi yang mendorong investor kabur dari Indonesia. Sikap Bahlil malah menciptakan inkonsistensi karena pasar Shell sebetulnya bukan pengguna BBM bersubsidi. Jadi, jika pasar lebih mengutamakan kualitas, sebetulnya itu adalah hak konsumen.

Anomali

Persoalan BBM bersubsidi adalah PR berat APBN dan selalu menjadi problem laten bangsa. Masalah itu tidak bisa dilepas seluruhnya karena kebutuhan untuk menjaga kesejahteraan rakyat menjadi ranah kebijakan populis. Nilai subsidi BBM dan kompensasi tahun ini juga luar biasa, mencapai Rp 498,8 triliun.

Namun, tahun ini terjadi anomali perilaku masyarakat sehingga realisasi sampai akhir Agustus lalu masih Rp 218 triliun atau 43,7 persen. Ini kali pertama dalam sejarah kecilnya realisasi. Menjelang bulan-bulan itu, seharusnya realisasi sudah mencapai 92 persen.

Pemerintah seharusnya senang karena masyarakat sudah tidak mengandalkan BBM subsidi. Dengan demikian, anggaran sisa yang tidak terealisasi itu dapat digunakan untuk keperluan lain. Sudah terjadi pergeseran masyarakat. Jika dahulu selalu mengandalkan SPBU Pertamina, kini mereka mulai menoleh ke SPBU swasta lain. Itu dulu yang didorong-dorong pemerintah agar subsidi energi tidak mengalami tradisi jebol sebelum tahun buku ditutup.

Namun, respons Bahlil menimbulkan tanda tanya dan inkonsistensi. Urusan subsidi BBM yang menjadi domainnya tidak maksimal diurus dengan baik, malah membuat ruwet urusan yang seharusnya tidak menjadi prioritas. Hal itu memunculkan sinyalemen bahwa ada rantai mafia BBM di tubuh Kementerian ESDM dan mengalir sampai jauh. Tengara tersebut tidak berlebihan karena hingga kini penyidikan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang 2018–2023 di Pertamina belum usai.

Pembatasan Impor

Disengajanya stok kosong SPBU swasta sehingga berujung rencana hengkangnya Shell ke luar Indonesia membuka kotak pandora mafia subsidi energi. Alasan Kementerian ESDM membatasi impor hanya satu kali dalam setahun dan sisanya harus membeli dari Pertamina sungguh tidak masuk akal dan jelas dibuat-buat.

Baca Juga

Dinamika Biner pada Gelar Pahlawan

Bahlil juga menyebut bahwa Pertamina adalah representasi negara. Hal itu menyiratkan adanya kekhawatiran penurunan pendapatan Pertamina yang signifikan. Tentu karena beralihnya konsumen BBM ke SPBU selain milik Pertamina. Domain itu seharusnya menjadi wilayah BP BUMN dan Danantara, bukan urusan Bahlil.

Tampak jelas kekhawatiran tidak lakunya stok BBM Pertamina. Padahal, sudah ada alokasi anggaran BBM subsidi sampai Rp 498,8 triliun dan terus bertambah. Subsidi APBN adalah captive market yang nyata bagi Pertamina dan oknum-oknum yang selama ini menikmati uang rakyat itu.

Setelah anggaran digedok dan sah, para oknum itu akan bergerilya mencari cuan sejak pemilihan mitra impor BBM di luar negeri sampai penjualan eceran di SPBU Pertamina. Memaksa menjadi pengangkutnya, baik impor maupun domestik, menyediakan bahan-bahan aditif untuk menaikkan RON, bahkan mendesain kapan harga BBM subsidi bisa dinaikkan. Hulu sampai hilir sudah berada dalam genggaman mafia itu.

Keberadaan SPBU swasta dengan harga riil yang berkorelasi dengan kualitas tentu membahayakan para oknum pencari rente tersebut. Dampaknya, terjadi pergeseran konsumen ke SPBU lain dan potensi penurunan subsidi pada tahun-tahun mendatang. Risikonya jelas, para pemburu rente itu tidak lagi mendapatkan komisi dari berkah subsidi BBM yang selalu naik tersebut.

Akan semakin terbuka bahwa Shell, BP, Exxon, dan Total yang mengimpor BBM langsung jatuhnya lebih murah daripada harga BBM Pertamina yang notabene sebagian diolah dari kilang-kilang Pertamina.

Kian takut bahwa ada rahasia besar, patgulipat, yang bakal terbuka karena adanya SPBU swasta. Sebelum jauh, mafia itu kemudian menghambat, bahkan mengatur ulang, tata kelola impor BBM yang sebelumnya dilakukan langsung oleh SPBU swasta.

Sungguh, mafia itu kejam luar biasa. Mimpi APBN sehat makin sulit jika kiprah mereka tidak segera dihentikan. Setiap liter BBM yang terjual di Pertamina adalah pesta pora. APBN defisit adalah tawa bagi mereka. Rakyat terjepit adalah cita-citanya. Sungguh ironis negeri ini yang berada dalam cengkeraman para mafia. (*)

Galeri Foto

Effnu Subiyanto, Dosen dan peneliti UKWM Surabaya
Klik untuk perbesar

Effnu Subiyanto, Dosen dan peneliti UKWM Surabaya

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Mamdani Jadi Wali Kota New York, Trump Ancam Potong Dana Federal

CAKJEPE
2

Arah Jelas dan Sistematis untuk Industrialisasi Hijau Indonesia

Opini
3

OTT KPK Bupati Ponorogo

CAKJEPE
4

Chairil Anwar Juga Ikut ’’Bertempur’’ di Surabaya

Opini
5

Mafia BBM

Opini

Berita Terbaru

Benteng Retak Keamanan Hakim

Benteng Retak Keamanan Hakim

Opini•19 jam yang lalu
Indikasi Tercemar, Produk Sepatu RI Dipulangkan dari AS

Indikasi Tercemar, Produk Sepatu RI Dipulangkan dari AS

CAKJEPE•19 jam yang lalu
Home
›Opini
›Mafia BBM
Mafia BBM
Opini

Mafia BBM

Editor-6 November 2025
Klik untuk perbesar

Bagikan artikel ini

Oleh: Effnu Subiyanto, Dosen dan peneliti UKWM Surabaya

Ontran-ontran pertalite produksi Pertamina benar-benar menampar kinerja Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Sudah ratusan motor di Jawa Timur menjadi korban. Insiden itu terjadi di Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Malang, hingga Surabaya sampai awal November ini.

Ditemukan air di tangki motor para pengendara setelah tangki dikuras. Hal itu tentu sangat merugikan karena sepeda motor tersebut digunakan oleh para pengemudi ojol, pekerja, pelajar, mahasiswa. Mereka kini harus mengeluarkan uang ekstra untuk servis. Waktu pun terbuang karena antrean servis.

Konon, Pertamina akan memberikan ganti rugi. Namun, prosedurnya dibuat sulit sehingga pesimistis rasanya kerugian akan bisa ditanggung mereka. Kembali rakyat dikorbankan. Dirugikan oleh keputusan hilir Kementerian Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM).

Rakyat pun makin jengah dan kecewa kepada Pertamina. SPBU swasta di Surabaya yang buka langsung diserbu sehingga menimbulkan antrean. Itu merupakan bentuk kekecewaan. Sebab, Pertamina sekian lama mendapat berkah monopoli BBM, tetapi tidak konsisten memperbaiki kinerjanya.

BBM oplosan Pertamina sudah sangat nyata. Sebaliknya, SPBU swasta yang baru beberapa tahun di Indonesia malah konsisten menjaga mutu.

Inkonsistensi

Sebelumnya, Oktober lalu, Kementerian ESDM juga mengecewakan SPBU swasta Indonesia. Shell, misalnya, memutuskan hengkang ke luar Indonesia tahun depan. Mereka akan menyerahkan bisnisnya kepada Citadel Pacific asal Filipina dan Sevas asal Indonesia.

Pangkal persoalannya, Shell tidak setuju dengan kewajiban membeli BBM metode best fuel dari Pertamina. Sebab, kualitas BBM Pertamina tidak memenuhi syarat. Selain itu, ditemukan unsur etanol 3,5 persen. Bahan etanol itu ternyata bisa berdampak menurunkan kinerja pembakaran BBM. Pantas saja jika BBM produk Pertamina ternyata sangat boros saat pemakaian.

Menurut pakar BBM, bahan etanol adalah jalan pintas dalam menaikkan angka RON, tetapi tidak dikompensasi dengan bahan aditif lain. Ibaratnya, ingin rasa manis kopi, yang ditambahkan adalah pemanis buatan, bukan gula.

Karena ketidaksinkronan kualitas bahan bakar, pantas saja BBM Pertamina menimbulkan lumpur di ruang bakar mesin akibat tidak sempurna terbakar. Kinerja Pertamina sangat-sangat menyedihkan, mentang-mentang dibutuhkan, tata kelolanya berantakan.

Baca Juga

Benteng Retak Keamanan Hakim

Hengkangnya Shell merupakan langkah mundur iklim investasi Indonesia. Jika dahulu Bahlil di BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menggebu-nggebu mengundang investor, kini dia menciptakan iklim investasi yang mendorong investor kabur dari Indonesia. Sikap Bahlil malah menciptakan inkonsistensi karena pasar Shell sebetulnya bukan pengguna BBM bersubsidi. Jadi, jika pasar lebih mengutamakan kualitas, sebetulnya itu adalah hak konsumen.

Anomali

Persoalan BBM bersubsidi adalah PR berat APBN dan selalu menjadi problem laten bangsa. Masalah itu tidak bisa dilepas seluruhnya karena kebutuhan untuk menjaga kesejahteraan rakyat menjadi ranah kebijakan populis. Nilai subsidi BBM dan kompensasi tahun ini juga luar biasa, mencapai Rp 498,8 triliun.

Namun, tahun ini terjadi anomali perilaku masyarakat sehingga realisasi sampai akhir Agustus lalu masih Rp 218 triliun atau 43,7 persen. Ini kali pertama dalam sejarah kecilnya realisasi. Menjelang bulan-bulan itu, seharusnya realisasi sudah mencapai 92 persen.

Pemerintah seharusnya senang karena masyarakat sudah tidak mengandalkan BBM subsidi. Dengan demikian, anggaran sisa yang tidak terealisasi itu dapat digunakan untuk keperluan lain. Sudah terjadi pergeseran masyarakat. Jika dahulu selalu mengandalkan SPBU Pertamina, kini mereka mulai menoleh ke SPBU swasta lain. Itu dulu yang didorong-dorong pemerintah agar subsidi energi tidak mengalami tradisi jebol sebelum tahun buku ditutup.

Namun, respons Bahlil menimbulkan tanda tanya dan inkonsistensi. Urusan subsidi BBM yang menjadi domainnya tidak maksimal diurus dengan baik, malah membuat ruwet urusan yang seharusnya tidak menjadi prioritas. Hal itu memunculkan sinyalemen bahwa ada rantai mafia BBM di tubuh Kementerian ESDM dan mengalir sampai jauh. Tengara tersebut tidak berlebihan karena hingga kini penyidikan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang 2018–2023 di Pertamina belum usai.

Pembatasan Impor

Disengajanya stok kosong SPBU swasta sehingga berujung rencana hengkangnya Shell ke luar Indonesia membuka kotak pandora mafia subsidi energi. Alasan Kementerian ESDM membatasi impor hanya satu kali dalam setahun dan sisanya harus membeli dari Pertamina sungguh tidak masuk akal dan jelas dibuat-buat.

Baca Juga

Dinamika Biner pada Gelar Pahlawan

Bahlil juga menyebut bahwa Pertamina adalah representasi negara. Hal itu menyiratkan adanya kekhawatiran penurunan pendapatan Pertamina yang signifikan. Tentu karena beralihnya konsumen BBM ke SPBU selain milik Pertamina. Domain itu seharusnya menjadi wilayah BP BUMN dan Danantara, bukan urusan Bahlil.

Tampak jelas kekhawatiran tidak lakunya stok BBM Pertamina. Padahal, sudah ada alokasi anggaran BBM subsidi sampai Rp 498,8 triliun dan terus bertambah. Subsidi APBN adalah captive market yang nyata bagi Pertamina dan oknum-oknum yang selama ini menikmati uang rakyat itu.

Setelah anggaran digedok dan sah, para oknum itu akan bergerilya mencari cuan sejak pemilihan mitra impor BBM di luar negeri sampai penjualan eceran di SPBU Pertamina. Memaksa menjadi pengangkutnya, baik impor maupun domestik, menyediakan bahan-bahan aditif untuk menaikkan RON, bahkan mendesain kapan harga BBM subsidi bisa dinaikkan. Hulu sampai hilir sudah berada dalam genggaman mafia itu.

Keberadaan SPBU swasta dengan harga riil yang berkorelasi dengan kualitas tentu membahayakan para oknum pencari rente tersebut. Dampaknya, terjadi pergeseran konsumen ke SPBU lain dan potensi penurunan subsidi pada tahun-tahun mendatang. Risikonya jelas, para pemburu rente itu tidak lagi mendapatkan komisi dari berkah subsidi BBM yang selalu naik tersebut.

Akan semakin terbuka bahwa Shell, BP, Exxon, dan Total yang mengimpor BBM langsung jatuhnya lebih murah daripada harga BBM Pertamina yang notabene sebagian diolah dari kilang-kilang Pertamina.

Kian takut bahwa ada rahasia besar, patgulipat, yang bakal terbuka karena adanya SPBU swasta. Sebelum jauh, mafia itu kemudian menghambat, bahkan mengatur ulang, tata kelola impor BBM yang sebelumnya dilakukan langsung oleh SPBU swasta.

Sungguh, mafia itu kejam luar biasa. Mimpi APBN sehat makin sulit jika kiprah mereka tidak segera dihentikan. Setiap liter BBM yang terjual di Pertamina adalah pesta pora. APBN defisit adalah tawa bagi mereka. Rakyat terjepit adalah cita-citanya. Sungguh ironis negeri ini yang berada dalam cengkeraman para mafia. (*)

Galeri Foto

Effnu Subiyanto, Dosen dan peneliti UKWM Surabaya
Klik untuk perbesar

Effnu Subiyanto, Dosen dan peneliti UKWM Surabaya

Most Read

1

Mamdani Jadi Wali Kota New York, Trump Ancam Potong Dana Federal

CAKJEPE
2

Arah Jelas dan Sistematis untuk Industrialisasi Hijau Indonesia

Opini
3

OTT KPK Bupati Ponorogo

CAKJEPE
4

Chairil Anwar Juga Ikut ’’Bertempur’’ di Surabaya

Opini
5

Mafia BBM

Opini

Berita Terbaru

Benteng Retak Keamanan Hakim

Benteng Retak Keamanan Hakim

Opini•19 jam yang lalu
Indikasi Tercemar, Produk Sepatu RI Dipulangkan dari AS

Indikasi Tercemar, Produk Sepatu RI Dipulangkan dari AS

CAKJEPE•19 jam yang lalu

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001