Pameran Popaganda digarap oleh 17 seniman dari Indonesia dan Singapura. Gagasannya adalah menjelajahi cara budaya populer membentuk kesadaran masyarakat modern dari konsumsi visual, simbol sosial, hingga manusia menafsirkan identitas serta kekuasaan.
Kurator Pameran Joel Harumal menegaskan, Popaganda bukan hanya pesta warna atau permainan bentuk yang memikat. ”Kami ingin menyoroti bagaimana budaya populer membentuk cara kita melihat dunia modern, mulai dari konsumsi visual, simbol sosial, hingga cara kita menafsirkan identitas dan kekuasaan,” ujarnya.
Menurut Joel, benang merah antar karya justru muncul secara alami. Meski setiap seniman membawa gaya dan narasi masing-masing, keseluruhan pameran tetap berbicara dengan bahasa visual yang sama. Yakni, energi pop yang penuh warna namun tajam secara sosial. ”Tugas saya hanya menjaga agar ekspresi personal itu tidak kehilangan arah tema besar,” lanjutnya.
Atmosfer Multiragam
Salah satu karya yang mencuri perhatian adalah Standing Between the Birds Singing milik Agustan. Tiga figur boneka anak-anak dari lipatan kain tampak sederhana, namun menyimpan tafsir yang kompleks. Lewat simbol lembut itu, Agustan menggambarkan dunia yang diwarnai konflik global. Yakni, sebuah kontras antara kepolosan masa kecil dan kerasnya realitas dunia dewasa. ”Dia menyandingkan ikon modern dan tradisional untuk menyoroti absurditas permainan kekuasaan manusia,” jelas Joel.
Ada juga karya yang terasa hening dan penuh perenungan pribadi di tengah ledakan warna di Popaganda. Karya itu hasil kreasi Yaksa Agus. Baginya, Popaganda bukan sekadar ruang pamer. Yaksa menjadikannya wadah untuk menata ulang hubungan dengan tubuh dan kehidupannya. Sebagai penyintas hemofilia, Yaksa membawa dua seri karya yang seluruhnya dibuat dari kardus obat hemofilia.
Kardus itulah yang selama ini menemani Yaksa bertahan hidup. ”Awalnya cuma proyek main-main,” ujarnya sambil tersenyum. Yaksa pun ingin memanfaatkan kardus obat yang menumpuk tersebut. Dari ide spontan itu lahir seri karya berjudul Healthy and Happiness. Salah satunya wayang bertajuk Hale Puppet yang menjadi bagian di dalamnya. ”Saya ingin mencari kemungkinan baru untuk diri saya sendiri. Kardus obat ini nggak bisa dibuang sembarangan. Jadi saya olah, saya jadikan karya,” ujar Yaksa.
Upaya Menyehatkan Mental
Produk farmasi seperti Hemoktine dan Nuvo Aid turut diubah menjadi media ekspresi. Obat-obatan itu membantu Yaksa menghentikan pendarahan sendi dan otot akibat hemofilia. Setiap potongan kardus menjadi seperti fragmen cerita harian dan catatan perjalanan seseorang yang berusaha berdamai dengan tubuhnya.
”Bagi saya, ini seperti menulis diary. Setiap karya adalah upaya menyusun clue harian, menyemangati diri bagaimana menciptakan mental yang sehat dan bahagia.” ungkap Yaksa.
Proses yang dijalani Yaksa tak selalu mudah. Seniman asal Jogjakarta itu sering dilanda bosan atau kehilangan semangat. ”Ketika bosan, belum tentu saya gambar. Kadang keluar puisi, kadang cuma diam. Tapi saya tulis saja, supaya tetap terhubung dengan prosesnya,” tuturnya.
Menurut Yaksa, dua seri karyanya itu menunjukkan bahwa kesehatan dan kebahagiaan harus diikhtiarkan. Dia menekankan untuk tidak patah semangat dengan penyakit. Bahkan, karya berbentuk wayang itu awalnya memang untuk menyemangati anak-anak yang sakit hemofilia. ”Saya hibur anak-anak ini dengan wayang dari kardus obat. Saya merasakan apa yang mereka rasakan,” ujarnya. (idr/kkn)




