Komunitas The Nakhoda tumbuh dari kegelisahan sederhana: sulitnya menjelajahi laut dengan kapal sewaan karena jangkauan terbatas. Mereka pun berinisiatif membuat kapal sportboat sendiri. Kini, rasa penasaran menjamah spot-spot indah di laut akhirnya terbayar.
Bagi anggota The Nakhoda, laut bukan sekadar hamparan biru. Lebih dari itu, dunia bahari menjadi ruang pertemuan, tempat petualangan, sekaligus ajang silaturahmi.
Komunitas tersebut lahir pada Januari 2025. Bermula dari perkumpulan para penghobi memancing. Namun, semangat eksplorasi membawa mereka lebih jauh dari sekadar mencari ikan di tepi pantai. Keindahan panorama laut membuat mereka penasaran menjelajahi spot-spot baru yang belum banyak dijamah.
Tapi, keinginan itu sulit terwujud. Pemilik jasa sewa kapal kerap menolak dengan berbagai alasan. Mulai jarak yang cukup jauh, kondisi cuaca, hingga lokasi tujuan yang sukar dijangkau.
”Walau kapal udah disewa, kami nggak bisa semaunya menentukan titik tujuan. Biasanya pemilik kapal hanya mau ke area tertentu. Kami pun memutuskan untuk membuat kapal sendiri,” kata pembina The Nakhoda Wedha Dwiadi Purbianto, Jumat (7/11).
Bikin Kapal Sendiri
Anggota The Nakhoda berjumlah 30 orang. Dari jumlah itu, 60 persen di antaranya mempunyai kapal sendiri. Meski buatan lokal, dia menyatakan bahwa kualitasnya tak kalah dengan produk impor.
Rata-rata kapal yang diproduksi berukuran panjang 5,5 meter dan lebar 2 meter. Masih dalam batas yang diperbolehkan untuk beroperasi tanpa lisensi resmi.
”Selama panjangnya di bawah 6 meter, tidak perlu izin khusus,” ucap pria yang akrab disapa Dito itu.
Ketua The Nakhoda Nauval Septa Zein menambahkan, produksi kapal memiliki beberapa seri. Seri Sport Cruiser 600 berukuran 6 meter, sedangkan Zencraft 420 SC berukuran 4,2 meter. Kapal terbuat dari aluminium marine grade. Dengan begitu, kapal tahan lama, lebih aman, dan material bisa didaur ulang.
”Kalau bahan kapal biasa, begitu sudah tua, nilainya turun drastis. Aluminium marine grade bisa bertahan sampai 25 tahun dan masih punya nilai jual karena bisa didaur ulang,” jelas Septa.
Mengenal Indonesia dari Laut
Bagi anggota The Nakhoda, touring di laut bukan sekadar rekreasi. Ada misi untuk mengenal Indonesia dari laut. Mereka biasanya berangkat dari base camp di Sungai Porong, Sidoarjo, lalu menempuh perjalanan menuju pulau-pulau kecil di pesisir selatan Jawa Timur.
Menurut Septa, banyak pulau cantik yang belum tersentuh. Karena itu, melalui touring, anggota bisa mendapatkan pengalaman baru serta ketenangan yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan.
”Bagi kami, berlayar bukan sekadar petualangan. Ada nilai perenungan di dalamnya. Kami kemah di pulau, bakar ikan, menikmati laut malam. Lalu di laut, kami belajar bersyukur. Jauh dari hiruk pikuk kota, hanya ada laut, angin, dan rasa tenang,” ujarnya.
Berbeda dengan Jet Ski
Selain mengemudikan kapal, sebagian anggota The Nakhoda juga aktif di komunitas jet ski. Namun, Dito menilai sensasinya berbeda. Jet ski lebih ke kecepatan serta ruang gerak yang lincah dan adrenalin, sedangkan sportboat menghadirkan kenyamanan dan rasa tenang.
Kecepatan jet ski bisa mencapai 55 mil per jam, sedangkan kapal kecil milik anggota rata-rata 30–35 mil per jam. Namun, kata Dito, justru di situlah nikmatnya: mereka bisa menikmati laut lebih lama.
”Kami menikmati laut sebagai ruang untuk berkumpul, berekspresi, dan mengenal diri sendiri. Berlayar bersama teman, mengikuti arus, dan kembali ke darat dengan hati yang lebih tenang,” ujarnya.
Pengalaman Hadapi Cuaca Buruk
Kemampuan mengemudikan kapal menjadi syarat mutlak. Karena itu, The Nakhoda rutin memberikan pelatihan kepada anggota baru. Pendampingan dilakukan secara informal antaranggota. Mereka belajar hal teknis seperti mengoperasikan mesin, membaca arah angin, hingga manuver parkir kapal yang dianggap paling sulit.
”Kalau jalan lurus, gampang. Yang susah itu parkir. Salah sedikit bisa nabrak dermaga. Biasanya anggota baru butuh waktu 3–4 hari untuk terbiasa,” kata Dito.
Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, anggota saling mendampingi ketika ada yang baru memiliki kapal. Jika terjadi hal yang tak terduga seperti cuaca ekstrem atau kerusakan mesin kapal, persoalan tersebut bisa segera teratasi.
Meski lebih santai ketimbang jet ski, lanjut dia, risiko di laut tetap tinggi. Anggota dilatih untuk selalu memperhatikan kondisi angin dan gelombang. Dito pernah punya pengalaman yang tak bisa dilupakan saat berlayar dari Porong ke Romokalisari.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba terjadi cuaca buruk. Hujan deras, angin kencang, dan gelombang tinggi. Ditambah pasokan bahan bakar minyak (BBM) kapal yang kian menipis.
Dito berupaya tetap tenang. Saat menghadapi ombak besar, kapal tidak boleh melawan arus secara langsung. Kapal harus menyesuaikan arah arus, tidak boleh melintasi lurus.
”Akhirnya saya berhenti di dekat tempat pelelangan ikan. Ketika cuaca normal, barulah perjalanan kembali dilanjutkan,” ujarnya. (ian/mad)



