JAKARTA - Industri aluminium nasional menunjukkan penguatan signifikan seiring meningkatnya kapasitas produksi dalam negeri, neraca perdagangan yang terus mencatat surplus besar, serta tumbuhnya investasi pada proyek refinery baru. Hal ini menegaskan peran strategis aluminium sebagai salah satu tulang punggung pembangunan industri Indonesia, khususnya untuk sektor kemasan, konstruksi, otomotif, dan energi terbarukan.
Direktur Industri Logam Ditjen ILMATE Kemenperin Dodiet Prasetyo menyampaikan bahwa outlook industri aluminium pada 2026 mengindikasikan tren yang semakin positif. “Indonesia bergerak menjadi produsen alumina dan aluminium yang semakin kuat. Peningkatan kapasitas aluminium primer serta bertambahnya fasilitas refinery menunjukkan bahwa ketahanan pasokan dalam negeri makin kokoh,” ujar Dodiet, di Jakarta (14/11).
Data Kemenperin menunjukkan bahwa hingga Januari–Agustus 2025, ekspor alumina mencapai 3,66 juta ton, mendekati pencapaian tahun sebelumnya. Sedangkan impor turun menjadi 816 ribu ton. Penurunan impor ini mencerminkan mulai berperannya PT Borneo Alumina Indonesia sebagai sumber bahan baku alumina PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
”Surplus neraca perdagangan alumina ini merupakan bukti keberhasilan kebijakan hilirisasi mineral. Kapasitas dalam negeri tidak hanya mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain penting dalam rantai pasok global,” urai Dodiet.
Meskipun demikian, dia menekankan bahwa ekspor masih didominasi oleh bahan antara. “Untuk meningkatkan nilai tambah, kita perlu mempercepat investasi pada fasilitas pengolahan lanjutan sehingga lebih banyak produk aluminium bernilai tinggi dapat diproduksi di dalam negeri,” ungkapnya.
Kapasitas Produksi Nasional Meningkat
Peningkatan kapasitas produksi nasional juga terlihat dari kinerja smelter aluminium dan refinery alumina. Hingga pertengahan 2025, total output refinery mencapai 2,01 juta ton alumina, sementara smelter aluminium menghasilkan 352 ribu ton aluminium primer, dengan utilisasi mendekati 91 persen untuk smelter aluminium dan 64 persen untuk refinery alumina.
”Dengan adanya rencana perluasan PT Inalum, optimalisasi produksi PT Hua Chin Aluminum Indonesia, dan beroperasinya PT Kalimantan Aluminium Industry, pasokan aluminium primer kita diperkirakan dapat menembus lebih dari 1 juta ton pada 2027,” beber Dodiet.
Perkiraan global dari lembaga internasional menunjukkan bahwa harga aluminium pada 2026 relatif stabil, berada di kisaran USD 2.200–2.625 per ton, ditopang meningkatnya permintaan dari sektor kendaraan listrik (EV), energi terbarukan, dan otomotif global. Stabilitas harga ini memberikan ruang bagi industri nasional untuk memperluas kapasitas dan investasi hilirisasi.
”Harga yang kompetitif dan pasokan domestik yang semakin kuat merupakan kombinasi ideal untuk mempercepat pertumbuhan industri hilir Indonesia. Ini momentum besar bagi pengembangan produk turunan seperti panel surya, komponen otomotif, hingga berbagai aplikasi industri maju,” ujar Dodiet.
Urgensi Percepatan Hilirisasi
PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menyampaikan komitmen kuat untuk mempercepat hilirisasi bauksit menjadi alumina dan aluminium sejalan dengan proyeksi kebutuhan nasional yang diperkirakan melonjak hingga 600 persen dalam tiga dekade mendatang. Peningkatan konsumsi aluminium ini terutama didorong transformasi besar di sektor kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan ekspansi energi baru terbarukan yang kini membutuhkan aluminium dalam jumlah yang sangat besar.
Direktur Pengembangan Usaha Inalum Arif Haendra menegaskan bahwa Indonesia berada pada momentum penting untuk membangun industri aluminium yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Dia menjelaskan bahwa sejak tahun 2018 hingga 2024, kebutuhan aluminium nasional masih sangat bergantung pada pasokan impor yang mencapai 54 persen, sementara kontribusi Inalum baru berada di level 46 persen. Ketergantungan ini dinilai tidak ideal, terutama karena aluminium merupakan bahan baku strategis untuk berbagai sektor industri masa depan.
”Konsumsi aluminium nasional akan meningkat sangat pesat, terutama karena kebutuhan untuk baterai kendaraan listrik dan pembangunan pembangkit energi surya. Satu battery pack EV menggunakan sekitar 18 persen aluminium, dan pembangunan pembangkit surya membutuhkan sekitar 21 ton aluminium untuk setiap 1 MW. Kebutuhan ini menjelaskan urgensi percepatan hilirisasi,” ujar Arif.
Dalam lima tahun mendatang, Inalum menargetkan peningkatan kapasitas produksi aluminium menjadi 900 ribu ton per tahun. Di saat yang sama, produksi alumina ditargetkan mencapai 2 juta ton pada tahun 2029. Ekspansi ini mencakup pembangunan Potline-4 dengan kapasitas awal 100 ribu ton (dengan opsi perluasan hingga 200 ribu ton), serta revamping fasilitas produksi lama (PL1 & PL3) yang akan menambah kapasitas sekitar 45 ribu ton.
”Ekspansi ini bukan sekadar peningkatan volume, tetapi membangun fondasi bagi industrial estate aluminium yang terintegrasi, kompetitif, dan berkelanjutan. Ini akan memperkuat kemampuan Indonesia untuk memasok kebutuhan nasional sekaligus menjadi pemain penting di pasar aluminium global,” tegas Arif. (agf/oni)
Proyeksi Pasokan dan Permintaan Alumunium Primer Dunia
- Tahun 2025
Pasokan : 74,19 juta ton
Permintaan : 74,09 juta ton
- Tahun 2026
Pasokan : 75,26 juta ton
Permintaan : 75,37 juta ton
- Tahun 2027
Pasokan : 76,31 juta ton
Permintaan : 76,50 juta ton
- Tahun 2028
Pasokan : 77,47 juta ton
Permintaan : 77,62 juta ton
Sumber: Kemenperin



