Penguatan Industri Petrokimia Jadi Kunci Kemandirian Bahan Baku Nasional
BOGOR - Pemerintah bersama pelaku industri sepakat bahwa penguatan sektor petrokimia menjadi fondasi penting untuk menekan ketergantungan impor dan menjaga stabilitas pasokan bahan baku bagi berbagai industri hilir.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan bahwa kebutuhan bahan baku kimia dasar di dalam negeri terus melonjak, sementara kapasitas produksi domestik belum mampu mengejar permintaan.
Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin Wiwik Pudjiastuti menuturkan, industri petrokimia memainkan peran strategis sebagai penyedia bahan baku plastik, serat sintetis, karet sintetis, bahan kimia fungsional, hingga komponen penting untuk industri tekstil dan farmasi. “Kebutuhan industri petrokimia nasional terus meningkat pesat, namun kapasitas produksi dalam negeri belum mampu mengimbanginya. Ini menyebabkan ketergantungan yang sangat besar terhadap impor,” ujarnya di Sentul, Bogor, Sabtu (15/11).
Bahan Baku Masih Jadi Persoalan
Dia menyebut sektor Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) masih menunjukkan daya tahan yang kuat dengan pertumbuhan 5,92 persen pada Triwulan III-2025, bahkan subsektor kimia dan farmasi mencatat kenaikan 11,65 persen. Kinerja perdagangan juga relatif seimbang, dengan ekspor Januari–Agustus 2025 mencapai USD 32,25 miliar, setara dengan impor sebesar USD 32,31 miliar. Investasi sektor IKFT pun meningkat signifikan hingga Rp142,15 triliun.
Meski tren positif terlihat, persoalan kesenjangan pasokan bahan baku masih mencolok. Pada produk olefin seperti etilen, kekurangan pasokan mencapai 800 ribu ton, meski utilisasi pabrik sudah 75 persen. Keterbatasan juga terjadi pada aromatik, terutama p-xylene, dengan gap sekitar 500 ribu ton. Dua bahan baku tersebut sangat krusial untuk industri polyester dan PET. Kekurangan terbesar terlihat pada Mono Ethylene Glycol (MEG), yang mencatat gap 400 ribu ton, sementara pasokan polimer domestik baru mampu memenuhi sekitar separo kebutuhan plastik nasional.
”Selama gap supply-demand masih selebar ini, kita tidak punya pilihan selain mengimpor. Namun ke depan, kondisi ini harus ditekan melalui pembangunan kapasitas baru dan integrasi industri dari hulu ke hilir,” tegas Wiwik.
Dia menambahkan, terdapat sejumlah tantangan krusial seperti ketergantungan impor nafta dan LPG, integrasi refinery–petrokimia yang belum optimal, keterbatasan infrastruktur, serta kebijakan HGBT dan AGIT yang mempengaruhi industri pengguna gas. Selain itu, produk petrokimia lokal menghadapi tekanan dari negara berbiaya rendah, terutama setelah diberlakukannya perjanjian dagang seperti UAE–CEPA.
Defisit Dalam Lima Tahun Terakhir
Di sisi lain, roadmap jangka panjang yang disusun Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (INAPLAS) menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap substitusi impor semakin mendesak. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mengalami defisit besar pada komoditas petrokimia, dari 7,32 juta ton pada 2020 menjadi 10,5 juta ton pada 2024, dengan nilai mencapai USD 11 miliar.
Sekretaris Jenderal INAPLAS Fajar Budiono menegaskan bahwa defisit yang terus meningkat mencerminkan ketidakseimbangan antara pertumbuhan industri hilir dan kapasitas produksi hulu. “Kondisi defisit yang kita hadapi setiap tahun menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap impor sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Industri hilir kita tumbuh pesat, sementara kapasitas hulu belum mengikuti,” ujarnya.
Roadmap Pengembangan Industri Petrokimia 2025–2045 yang disusun INAPLAS memetakan empat fase strategi, mulai dari pemulihan kapasitas pada 2025, pencapaian kecukupan pasokan domestik pada 2030, perluasan produk bernilai tambah tinggi pada 2035, hingga integrasi penuh refinery–cracker pada 2045. INAPLAS juga menyoroti prospek berkembangnya produk komposit berbasis engineering plastic, yang diprediksi menjadi material utama pesawat komersial generasi baru pada 2040.
“Integrasi refinery dan petrokimia akan memberikan keuntungan besar bagi negara. Biaya logistik turun, produk lebih kompetitif, dan kita bisa mengurangi devisa impor yang selama ini membebani neraca perdagangan,” urai Fajar.
Di tengah kebutuhan plastik nasional yang diproyeksikan mencapai 8.383 kiloton pada 2025, Indonesia diperkirakan masih harus mengimpor lebih dari 1 juta kiloton produk plastik jadi. Namun peluang daur ulang juga besar, dengan sekitar 1.772 kiloton sampah plastik yang layak diolah, di mana 1.292 kiloton telah masuk rantai recycling.
Menutup paparannya, Fajar menekankan pentingnya kolaborasi menyeluruh untuk mempercepat transformasi industri petrokimia. ”Kalau kita ingin menjadi negara industri maju pada 2045, kita tidak punya pilihan selain membangun industri petrokimia yang kuat, terintegrasi, dan mandiri,” ujarnya.
Wiwik sejalan dengan pandangan tersebut. Dia menegaskan bahwa penguatan industri petrokimia adalah kunci keberlanjutan manufaktur nasional. ”Industri petrokimia adalah jantung dari banyak sektor industri. Ketika hulu kita kuat, seluruh industri hilir akan tumbuh dengan lebih kokoh dan kompetitif,” pungkasnya. (agf/oni)



