Viral kisah seorang ayah di Malaysia yang terpaksa menitipkan tiga anaknya ke panti asuhan karena tekanan ekonomi menyita perhatian publik. Tindakan itu memunculkan pertanyaan etis: apakah keputusan tersebut bentuk tanggung jawab, atau justru penelantaran anak?
Menurut Dr Tuti Budirahayu MSi, sosiolog Universitas Airlangga, tindakan sang ayah tersebut tak bisa langsung dicap negatif.
’’Kita perlu memahami konteks sosialnya. Ini bukan bentuk lepas tangan, tetapi keputusan yang diambil karena keterpaksaan. Dia tidak meninggalkan anak-anaknya, tapi memastikan mereka tetap mendapatkan pengasuhan yang layak,’’ ujarnya.
Dari kacamata etika sosial, langkah tersebut merupakan wujud tanggung jawab moral yang justru sangat berat. Seorang ayah yang sadar tak mampu memenuhi kebutuhan dasar anak-anaknya memilih mencari solusi yang lebih aman. ’’Itu bukan tanda menyerah, tetapi upaya menyelamatkan,’’ kata Tuti.
Tak Ada Jaringan Sosial yang Menopang
Dalam masyarakat modern yang sarat tekanan ekonomi, pilihan semacam itu bisa terjadi ketika jaringan sosial tidak cukup kuat menopang. ’’Kalau seorang ayah sampai menitipkan anak ke panti, berarti dia berada dalam situasi tanpa dukungan—baik dari keluarga, lingkungan, maupun negara,’’ ucapnya.
Tuti menegaskan, keputusan menitipkan anak seharusnya tidak serta-merta dianggap sebagai kegagalan moral. Dalam kondisi terjepit, tindakan tersebut bisa menjadi alternatif sementara demi keberlangsungan hidup anak. ’’Yang penting adalah niat dan tindak lanjutnya. Jika ada komitmen untuk tetap hadir dan suatu saat menjemput anak-anaknya, maka itu bentuk menunjukkan tanggung jawab,’’ jelasnya.
Demi Kepentingan Buah Hati
Secara etika, keputusan tersebut memang dilematis. Di satu sisi, orang tua wajib mengasuh dan melindungi. Namun di sisi lain, etika juga mempertimbangkan prinsip kemaslahatan anak.
’’Ketika keberadaan bersama orang tua justru berisiko pada kelangsungan hidup atau pendidikan anak, maka menitipkan anak bisa jadi pilihan paling realistis,’’ paparnya.
Fenomena seperti ini juga menjadi cermin ketimpangan sosial yang lebih luas. Bagi Tuti, masyarakat seharusnya tak buru-buru menilai, melainkan menumbuhkan empati. ’’Etika sosial bukan hanya tentang perilaku individu, tapi juga tanggung jawab kolektif. Kita perlu bertanya: di mana negara dan komunitas saat seorang ayah sampai tidak bisa bertahan?’’ katanya.
Bisa Jadi Solusi Terbaik
Selain itu, Tuti melihat adanya tekanan budaya terhadap peran laki-laki sebagai kepala keluarga. ’’Laki-laki sering dibebani ekspektasi untuk selalu kuat dan mampu. Padahal, realitas ekonomi bisa membuat siapa pun rapuh,’’ ujarnya. Ketika kondisi memaksa, keputusan menitipkan anak bukan bentuk lari dari tanggung jawab, tapi justru keberanian untuk mencari solusi terbaik.
Etika pengasuhan, lanjut Tuti, seharusnya tidak diukur dari keberadaan fisik semata. ’’Nilai utama dari menjadi orang tua adalah memastikan kesejahteraan anak, baik fisik maupun psikologis. Jika itu dapat terjamin lewat bantuan lembaga sosial, keputusan tersebut masih dapat dimaklumi secara etis,’’ jelasnya.
Komunikasi Harus Tetap Berjalan
Yang harus ditekankan adalah komunikasi dengan anak tetap dijaga. Janji untuk kembali menjemput bukan hanya ucapan, tapi simbol kasih yang harus diwujudkan. ’’Kehadiran emosional sangat penting bagi anak, meskipun secara fisik sementara terpisah. Itu yang membedakan antara menitipkan dengan menelantarkan,’’ tuturnya.
Lebih jauh, Tuti menilai fenomena ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat jejaring sosial dan lembaga perlindungan anak.
’’Tidak ada orang tua yang ingin berpisah dari anaknya karena miskin. Karena itu empati masyarakat dan kebijakan publik yang berpihak pada keluarga rentan harus ditingkatkan,’’ ujarnya.
Etika sosial tidak berhenti pada penilaian baik atau buruk, tetapi pada bagaimana masyarakat merespons dengan kemanusiaan. ’’Alih-alih menghakimi, lebih baik kita bertanya: apa yang bisa kita bantu agar tidak ada lagi orang tua yang harus mengambil keputusan seberat ini?’’ tegasnya.
Tuti menekankan satu hal: cinta orang tua tidak bisa diukur dari keberadaan fisik semata.
’’Kadang, cinta justru tampak paling besar ketika seseorang berani kehilangan sementara demi masa depan anak-anaknya. Dan di situlah etika kemanusiaan bekerja—bukan pada siapa yang tinggal, tapi siapa yang tetap bertanggung jawab,’’ paparnya. (ana/ai)



