KEPUTUSAN orang tua untuk tinggal di senior living seringkali menimbulkan dilema emosional. Sebagian anak merasa khawatir atau bahkan menilai keputusan itu sebagai bentuk penolakan ortu tinggal bersama mereka. Padahal, pilihan tersebut justru bisa menjadi wujud kemandirian.
’’Secara etika, pilihan orang tua untuk tinggal di senior living perlu dilihat sebagai bentuk autonomi dan aktualisasi diri di usia lanjut,’’ ujar Dr (Cand) A.S. Mayangsari. Berdasarkan laporan World Health Organization (2025), lansia yang memiliki kontrol akan hidupnya menunjukkan kesejahteraan emosional dan kualitas hidup yang lebih tinggi. Karena itu, keluarga sebaiknya memandang keputusan tersebut bukan sebagai tanda menjauh, melainkan upaya orang tua menjaga kualitas hidup di masa senja. ’’Respons terbaik adalah mendengar dengan empati, menahan diri dari menghakimi, dan mengajak berdialog dengan niat mencari ridha bersama, bukan pembenaran diri,’’ ucap professional public speaker & trainer Hearty Service itu.
Pertimbangkan Kenyamanan Orang Tua
Meski begitu, tak sedikit anak yang membujuk agar orang tua tetap tinggal di rumah. Menurut Mayangsari, tindakan ini baru bisa disebut etis bila dilakukan dengan niat kasih sayang. Namun, jika bujukan lahir dari alasan seperti tidak mau repot atau takut jadi bahan gunjingan tetangga, maka hal itu bisa melanggar otonomi dan martabat orang tua. ’’Anak boleh memberi saran dan menyampaikan pendapatnya, tetapi keputusan akhir sebaiknya diambil bersama, dengan mempertimbangkan kenyamanan dan ridha orang tua,’’ tegasnya.
Gunakan Komunikasi Terapeutik
Lantas, bagaimana berdiskusi yang tidak menyinggung perasaan? Menurut Mayangsari, pendekatan dialog empatik menjadi kunci. ’’Gunakan komunikasi terapeutik yang memungkinkan kedua pihak mengekspresikan perasaan, kekhawatiran, dan keinginan secara terbuka,’’ bebernya.
Kalimat sederhana seperti, ’Kami ingin Ibu merasa aman dan bahagia, jadi mari kita cari pilihan mana yang paling nyaman untuk Ibu’, lebih bisa menjaga suasana hati orang tua. Dia juga menyarankan agar anak menghindari istilah bernada negatif seperti panti atau dititipkan. ’’Gunakan istilah komunitas senior atau rumah kedua untuk beraktivitas bersama teman sebaya,’’ imbuhnya.
Mayangsari juga mengingatkan, lansia cenderung membutuhkan waktu lebih lama untuk memproses informasi. ’’Karena itu, kesabaran dan nada bicara lembut sangat dibutuhkan agar komunikasi tetap hangat dan penuh hormat,’’ ungkapnya.
Sering Berkunjung agar Tetap Terhubung
Setelah orang tua menetap di senior living, hubungan emosional harus tetap terjaga. Anak bisa menjaga kedekatan dengan membuat jadwal kunjungan rutin, mengirim makanan kesukaan, atau membagikan foto dan video cucu. ’’Tidak ada standar universal, tetapi literatur menyarankan kunjungan teratur dan terencana,’’ kata Mayangsari.
Selain menjenguk langsung, komunikasi jarak jauh juga memegang peran besar. Dia menyarankan anak tetap berkomunikasi dengan empati, hangat, dan tidak menggurui. ’’Gunakan bahasa sederhana, intonasi lembut, dan dengarkan dengan penuh perhatian agar mereka merasa dihargai,’’ ujarnya.
Mayangsari menambahkan beberapa tips praktis: hindari mengeluh tentang pekerjaan di depan orang tua, jangan menelepon sambil melakukan hal lain, dan berikan waktu khusus untuk mendengarkan cerita mereka. ’’Bagi lansia, didengarkan dengan sungguh-sungguh adalah bentuk kasih sayang yang paling sederhana namun berarti,’’ tambahnya. (lai/ai)



