SURABAYA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut masih terjebak di bawah enam persen. Untuk bebas dari belenggu tersebut, ekonom menyebut harus ada komitmen khusus untuk mendorong sektor jasa serta penanaman modal asing.
Ekonom senior Indef Aviliani menjelaskan, ekonomi Indonesia selama 2025 berhasil tumbuh cukup baik. Sebagai salah satu negara berkembang, PDB Indonesia naik 5,04 persen year on year. Angka itu jauh dari proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3 persen.
’’Kalau kita lihat, pertumbuhan ekonomi negara maju bahkan di bawah 2 persen,” tuturnya saat CIMB Wealth Xpo di Surabaya Kamis (20/11) malam.
Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan ekonomi Indonesia yang masih bisa mengandalkan kekuatan domestik. Konsumsi rumah tangga saja berkontribusi setengah dari PDB nasional. Dengan carut marut peta ekonomi global, keputusan pebisnis Indonesia untuk fokus di pasar domestik sudah dinilai tepat.
Dia menjelaskan, ekonomi Indonesia bakal berat jika masih hanya mengandalkan industri terutama di sektor-sektor yang sudah kuat yang harus didorong adalah sektor jasa. Itu bisa terlihat dari pertumbuhannya yang cukup tinggi namun kontribusi terhadap PDB-nya masih relatif kecil.
“Contoh saja industri pariwisata. Kalau digarap dengan benar, Indonesia bisa mendapatkan daya dorong yang kuat untuk mencetak pertumbuhan di atas enam persen. Karena wisata multiplier effectnya sangat besar,’’ jelasnya.
Selain itu, Indonesia memang butuh investasi baru. Penanam modal asing seharusnya bisa digaet seiring banyaknya investor Amerika Serikat (AS) yang keluar dari Tiongkok. Sayangnya, hal itu sepertinya tak bisa terjadi secara maksimal.
Aviliani menilai bahwa kondisi dan kebijakan investasi di Indonesia seringkali membuat penanam modal asing enggan. ’’Saya dengan kabar VinGroup sudah mau investasi taksi listrik besar-besar di sini. Tapi, kenyataannya pengurusan KIR hanya beberapa puluh unit setiap harinya. Bagaimana akhirnya investor jadi yakin,’’ tuturnya.
Hal tersebut juga dinyatakan Wakil Ketua Kadin untuk Otonomi Daerah Sarman Simanjorang. Dia menyatakan masih banyak ego sektoral antarlembaga negara yang akhirnya membuat pengusaha semakin bingung. Terkadang niat ekspansi justru terhalang karena peraturan yang tumpang tindih.
’’Lucunya, bahkan ada bupati yang tidak tahu kalau di wilayah mereka ada tambang karena pengurusan semua di pusat. Lalu saat ada protes karena rusaknya lingkungan mereka yang diprotes,’’ jelasnya.(bil/dio)



