BANYAK orang mengira stroke hanya menyerang mereka yang jarang olahraga, pola makan tidak sehat, atau sudah berusia lanjut. Sementara, gaya hidup sehat saja belum cukup untuk mencegah stroke. Terutama jika sering overthinking hingga mengalami stres dan kesulitan tidur.
’’Alami stres dan gangguan tidur juga meningkatkan risiko stroke. Meskipun tidak secara langsung, keduanya berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah dan proses inflamasi yang berkaitan dengan stroke,’’ ungkap dr Deby Wahyuning Hadi SpN Subsp NRE(K).
Dokter spesialis neurologi saraf dan otak konsultan neurorestorasi Mayapada Hospital Surabaya itu mengatakan faktor risiko stroke terbagi menjadi dua. Yakni, yang bisa dikontrol dan tidak dapat dikontrol. Usia, jenis kelamin, dan genetik termasuk faktor yang tidak dapat dikontrol. Sedangkan tekanan darah tinggi, kolesterol, dan gula darah termasuk yang bisa dikontrol.
Begitu juga stres dan gangguan tidur termasuk faktor risiko yang dapat dikontrol. Jika tidak dikontrol dan berkelanjutan dapat menyebabkan inflamasi sistemik atau peradangan menyeluruh di tubuh. Proses ini berhubungan dengan aterosklerosis, yaitu penumpukan plak pada pembuluh darah yang bisa menghambat aliran darah ke otak. ’’Kondisi tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tekanan darah dan terjadi gangguan fungsi endotel (dinding) pembuluh darah. Bila dibiarkan, pembuluh darah menjadi lebih rentan dan risiko stroke meningkat,’’ terangnya.
Otak pun Bisa Burnout
Dalam kondisi stres atau mengalami gangguan tidur, otak dipaksa terus bekerja. Ini yang membuat otak mengalami kelelahan atau yang dikenal sebagai burnout. Menurut Deby, kondisi itu sama seperti otot yang lelah setelah olahraga tanpa jeda. ’’Otak juga butuh waktu istirahat. Jika terus dipaksa berpikir dan memproses stres tanpa waktu pemulihan, maka keseimbangan kerja otak terganggu,’’ jelasnya.
Jangan Sepelekan Gangguan Psikologis
Karena itu, gangguan psikologis seperti stres, cemas berlebihan, atau overthinking jangan dianggap sepele. Deby menegaskan kondisi itu bisa menjadi pintu masuk gangguan tubuh lain yang berujung pada stroke. ’’Faktor psikologis sering diabaikan, padahal bisa menjadi awal mula proses kelainan yang terkait dengan stroke,’’ katanya.
Stres emosional sendiri bisa memengaruhi dua jenis stroke, yakni stroke iskemik (karena penyumbatan) dan hemoragik (karena pecahnya pembuluh darah). ’’Keduanya bisa dipicu oleh stres emosional, tergantung bagaimana tubuh seseorang merespons tekanan mental yang dialami,’’ ujarnya.
Kelola Stres karena Tubuh-Otak Butuh Istirahat
Meski begitu, Deby menegaskan bahwa stres dan insomnia bukan gejala awal stroke, melainkan faktor risiko. Artinya, orang yang sering sulit tidur maupun overthinking tidak langsung berarti akan terkena stroke. Tetapi risikonya akan meningkat bila berlangsung dalam jangka waktu lama dan tidak diimbangi gaya hidup sehat.
Bagi mereka yang merasa dirinya ’’sehat tapi gampang kepikiran’’, pemeriksaan rutin sangat disarankan. Beberapa tes medis bisa membantu mendeteksi risiko stroke sejak dini, seperti pemeriksaan tekanan darah, kolesterol, gula darah, kekentalan darah, hingga fungsi jantung.
’’Dengan mengetahui kondisi tubuh, seseorang bisa mengambil langkah pencegahan lebih cepat sebelum stroke benar-benar terjadi,’’ imbuh Deby.
Langkah pencegahan lain yang tak kalah penting adalah menjaga pola hidup seimbang. Makan bergizi, cukup tidur, dan olahraga teratur tetap menjadi kunci utama. Namun, mengelola stres juga harus masuk daftar prioritas. ’’Keseimbangan antara aktivitas fisik, mental, dan emosional harus dijaga. Hindari berpikir berlebihan hingga stres berkepanjangan, karena otak dan tubuh juga butuh waktu untuk pulih,’’ paparnya. (lai/ai)



