BERAWAL rumah kos, Syukriyatun Ni’amah memulai bisnis bersama kawan-kawan mahasiswa. Alumnus jurusan desain produk Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu hanya terpikir cara memanfaatkan limbah tutup botol yang saat itu jarang terserap.
Ekspor Perdana ke Inggris dan Amerika
Saat bisnis lainnya pada shutdown saat pandemi Covid-19, usaha yang dirintis Syukriyatun Ni’amah justru bertumbuh. Pada 2020, dia mendapatkan pesanan ekspor perdana ke Inggris dan Amerika. Setelah itu, pesanan dari instansi lainnya juga meningkat. Tiga tahun kemudian, dia memindahkan operasional usahanya. Dari gudang kecil ke yang lebih besar.
Di fasilitas produksi terbaru, Ni’am memperkerjakan 55 karyawan. Mereka mengolah sekitar 20 ton plastik per bulan. Dari penjualan tersebut, pihaknya bisa meraih omzet Rp 800 juta-900 juta per bulan. ’’Sekitar 80 persen penjualan itu B2B (business-to-business). Jadi kami menyediakan papan daur ulang. Sedangkan klien akan membuat kreasi dari papan daur ulang menjadi meja atau furnitur lainnya,’’ jelasnya.
Tantangan Meyakinkan Klien
Ni’am mengaku mengalami banyak kendala dalam mengembangkan bisnisnya. Yang utama adalah meyakinkan klien atau pelanggan mengenai produk daur ulang tersebut. ’’Banyak pelanggan yang bertanya kenapa mereka harus membayar mahal untuk produk dari sampah.’’ paparnya.
Karena itu, dia menyarankan agar calon pengusaha daur ulang harus pintar bercerita dampak limbah yang diolah ke lingkungan. Serta, besarnya kontribusi pembeli produk daur ulang terhadap upaya untuk menyelamatkan lingkungan. Tentu saja, cerita tersebut harus menarik namun sederhana sehingga gampang dipahami dan memancing empati. ’’Di Robries, kami menekankan bahwa ini bukan sekedar usaha namun inisiatif peduli lingkungan. Dengan membeli produk kami, pembeli bisa membantu mengurangi sampah yang masuk ke tempat penimbunan sampah,’’ tegasnya.
Buat Produk Estetis
Hal lain yang dilakukan adalah membuat produk estetis yang sesuai dengan selera konsumen. ’’Kami tak mau produk terlihat murahan hanya karena bahannya daur ulang. Karena itu, kami terus riset model warna dan corak terbaik,’’ jelas Ni’am. Dari 44 warna, akhirnya mengerucut ke 13 jenis saja. Hal ini dipengaruhi persediaan bahan baku serta permintaan dari klien. ’’Prosesnya memang lebih rumit. Misalnya, untuk warna peach, kita harus mencampur oranye, merah, dan putih. Setelah itu, ditambahkan lagi pelet putih untuk corak,’’ jelasnya.
Bisnis ini dimulai pada 2018. Ni’am bersama rekannnya mendirikan Robries. Dia memulai dengan memilah, mencacah, melelehkan tutup botol. Lalu dikreasi menjadi berbagai bentuk. Semua itu dilakukan oleh timnya sendiri. ’’Idenya 100 persen bahan daur ulang. Jadi, kami tak memberikan aditif apa pun. Pewarna pun tidak,’’ tegasnya.
Ni’am mengatakan sudah banyak yang mendaur ulang botol PET (Polyethylene terephthalate)
’’Namun, tutup botol yang menggunakan HDPE (High-density polyethylene) dan LDPE (Low-density polyethylene) masih jarang dimanfaatkan,’’ ungkapnya. Idenya sederhana. Tutup botol dilebur di dalam oven. Setelah menjadi papan plastik, baru dibentuk menjadi perkakas atau merchandise. Seperti, gantungan kunci maupun tatakan gelas.
Hal tersebut membuat proses pemilahan bahan menjadi penting. Untuk membentuk pola yang menarik, biasanya mereka mencampur dua atau tiga warna. Satu sebagai warna dasar, sisanya menjadi bentuk titik-titik seperti teraso. (bil/ai)


