Bagi Yohan Fikri, kata ”anjing” memanggul banyak lapisan makna. Ia bukan sekadar binatang, melainkan simbol ”keterbuangan”. Atau, bisa juga naluri yang tak mampu dijinakkan.
”Di banyak kebudayaan, anjing adalah penjaga gerbang. Antara dunia terang dan gelap, atau antara yang manusia dan yang liar,” katanya.
Dalam Anjing-Anjing Lepas Amarah, Yohan memakai ”anjing” sebagai metafora bagi sisi manusia yang dibuang dari tatanan: yang marah, yang terusir, tapi masih setia menggonggong di tepi sejarah. Ia melambangkan dorongan paling purba dalam diri manusia untuk melawan dan bertahan.
Buku kumpulan puisi tersebut baru saja meraih dua penghargaan sekaligus: Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur kategori karya sastra berbahasa Indonesia dan Penghargaan Sastra Kemendikdasmen kategori kumpulan puisi.
Yohan mengatakan, buku tersebut berisi 36 judul puisi dengan tema beragam, tetapi masih dapat ditarik benang merahnya. Secara garis besar, tema-temanya berkisar di antara ”yang teologis” dan ”yang ekologis” dalam berbagai rentangannya. Salah satunya menyinggung peristiwa kekerasan komunitas Sunni terhadap komunitas Syiah di Sampang.
Lebih lanjut, Yohan mengungkapkan bahwa puisi bukan hanya soal kepadatan makna, tapi soal ketepatan. Menulis puisi juga bukan cara berpikir yang ringkas, melainkan cara merasakan yang jernih.
”Bayangkan saja cara kerjanya seperti ketika seseorang menghirup dan menghela udara saat bernapas. Ia harus tahu kapan menarik, kapan melepaskannya. Tugas penyair bukan menghemat kata, melainkan mengembalikan kata pada keheningan yang membuatnya lahir,” jelas penyair kelahiran Ponorogo tersebut.
Karena itu, menurut dia, presisi dalam puisi bukan sekadar logika, melainkan intuisi yang mendengar ritme batin bahasa.
Terkait proses kreatif menulis, Yohan menyatakan bahwa dirinya bukan tipe orang yang menyusun manuskrip untuk sebuah sayembara. Dia cenderung menulis dengan cara menunggu atau mengalir saja.
”Risikonya, kadang berbulan-bulan tidak satu pun larik muncul. Tapi, itu bukan masalah. Lalu tiba-tiba sebuah citra datang. Saya hanya perlu memberinya ruang,” ujar lulusan Universitas Negeri Malang itu.
Selama masa menunggu itulah dia banyak membaca. Bukan hanya puisi atau buku-buku sastra, bacaannya juga mencakup non-sastra. Minatnya cenderung pada sejarah, teologi, riset-riset sosial, tak jarang juga sains.
Yohan juga suka menafsir ulang narasi di dalam kitab suci serta cerita-cerita rakyat. Dia lantas mencontohkan puisi ”Sejumlah Ingatan yang Tak Saling Melengkapi tentang Hikayat Seekor Sapi” yang ditulis dari hasil membaca Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir karya Marvis Harris.
”Dari sanalah barangkali puisi saya tumbuh. Saya selalu percaya bahwa intelektualitas penyair justru lahir dari kesediaannya untuk menyaring berbagai bentuk pengetahuan, lalu mengolahnya menjadi pengalaman batin,” paparnya.
Bacaan-bacaan non-sastra itu bekerja diam-diam di bawah sadar. Ia memberi bahasa pada hal-hal yang awalnya hanya samar.
”Puisi muncul ketika sesuatu di dalam diri merasa tak lagi bisa menanggung kegemingan, ketika akal dan perasaan bertemu di titik genting, dan satu-satunya jalan keluar hanyalah menuliskannya,” kata Yohan. (mad)



