Ulasan kumpulan puisiKe Arah Museum Revolusi karya Nirwan Dewanto membawa R.H. Authonul Muther meraih penghargaan Piala H.B. Jassin 2025 kategori kritik sastra. Authonul berupaya menelusuri sajak-sajak Nirwan yang selama ini dikenal hermetik, yaitu sajak yang sengaja untuk sulit.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa Authonul memilih buku tersebut. Pertama, sajak Nirwan termasuk sajak yang menantang. Baginya, sajak yang sulit pun bisa dikerjakan dengan baik asal metodenya tepat. ”Karena kesulitan ini saya tertantang mengiris-iris dengan baik sajak Nirwan,” ujarnya.
Kedua, terdapat skema atau sistem sajak yang khas dan segar. Nirwan menawarkan jalan lain berbahasa Indonesia dalam puisi. Dalam esai-esainya pun, Authonul menilai cita rasa dan sistem penulisan Nirwan sangat khas. ”Nirwan adalah ledakan baru dalam sejarah persajakan Indonesia,” kata penulis asal Probolinggo yang kini berdomisili di Malang itu.
Ketiga, ciri khas yang demikian juga memengaruhi beberapa penyair. Hal ini menandakan selera estetika ala Nirwan sudah ada meski belum terumuskan secara jelas. ”Persis di situ, esai saya berusaha merumuskan ciri penting siasat persajakan dan capaian estetika Nirwan,” tuturnya.
Lebih lanjut, Authonul menganggap karya sastra, dalam konteks ini puisi, tidak perlu dipahami sebagai gejala yang menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya, kritik sastra adalah kerja-kerja berperkara sedalam-dalamnya dengan si karya. Bukan menunjuk-nunjuk ke arah lain atau bidang lain, apalagi mengaitkannya secara total dengan kepribadian si pengarang.
Ia menyadari pembacaannya mungkin terasa seperti pembacaan Bloom, Barthes, Kristeva, Derrida, atau de Man. Agaknya juga bertendensi anti-cultural studies dalam memperlakukan karya sastra.
Tapi, dia menegaskan bahwa cara pembacaannya belum sepenuhnya fix. Ia masih perlu menyusun dan mencari dasar argumen untuk meneguhkannya. Di sisi lain, Authonul juga mengakui kekuatan argumentasi pendekatan historisisme dan historisisme baru. ”Saya masih mempertimbangkan banyak hal,” tambahnya.
Meski begitu, ia tidak mempermasalahkan dengan membabi buta pendekatan cultural studies atas karya sastra. Menurutnya, gaya pembacaan semacam itu sah-sah saja meski memiliki konsekuensi yang tidak sedikit. Bahkan, dalam beberapa kasus justru dapat mengerdilkan karya itu sendiri. Kecenderungan cultural studies, jika tidak dikomposisikan dengan cermat, akan memperlakukan karya sastra semata-mata sebagai ringkasan isi.
Dalam pandangan Harold Bloom, kritikus sastra bukanlah ilmuwan politik amatir, sosiolog yang gagal, antropolog yang inkompeten, filsuf medioker, dan berbagai gejala lain yang memperlakukan sastra harus tunduk pada khazanah di luar dirinya. ”Apalagi dalam membaca Nirwan, mustahil kita meringkas dan meringkus sajaknya menjadi rumusan-rumusan isi,” tegasnya.
Untuk itulah, Authonul memilih pendekatan yang paling mungkin terhadap sajak-sajak Nirwan, yakni merumuskan bentuk dan konsekuensi-konsekuensinya. Ia ingin memperbarui cara membaca terhadap sebuah karya sekaligus menggauli bentuk dan merumuskan ciri kepengarangan yang lebih radikal.
Sebagaimana judul esainya, Ke Arah Museum Revolusi dalam Dua Investigasi, Authonul membagi tulisan menjadi dua babak. Dalam investigasi pertama, ia membahas silang sengkarut perihal bentuk, mulai cara Nirwan mengerjakan metafora, sajak yang meneguh pada prinsip non-sequitur, bentuk puisi berbulu prosa, hingga skema bunyi dalam sajak. ”Saya juga membahas sekilas estetika gumun sebagai konsekuen dari bentuk-bentuk dan sistem persajakan yang dikerjakan Nirwan,” tuturnya.
Di investigasi kedua, dia menggauli dua sajak ekfrasis: Tabula Escheriana (1) dan Tabula Escheriana (2). Authonul menyanding-bandingkan lukisan Maurits Cornelis Escher dengan sajak Nirwan. Dari perbandingan itu, ia menemukan bagaimana Nirwan mendorong aturan sintaksis hingga batas paling lentur. Di sisi lain, dia juga menyarikan konsekuen-konsekuen menarik dari skema puisi ekfrasis. ”Meski demikian, sekali lagi, masih banyak hal yang bisa dibahas dari buku ini,” katanya. (mad)



