Kedalaman, kejernihan, dan ketepatan analisis menjadi komponen penting dalam kritik sastra. Meski begitu, bagi R.H. Authonul Muther, itu bukan pekerjaan sederhana. Sebab, kerja kritikus bukanlah kerja mekanistik, juga bukan kerja kerajinan tangan.
”Artinya, suatu karya memiliki ’hukum fisika bentuk yang pasti’ beserta konsekuensi-konsekuensi turunannya. Dan, tidak ada satu teori atau satu hukum yang bisa menjawab sembarang fenomena,” ujar pemenang pertama kritik sastra Piala H.B. Jassin 2025 dengan judul Ke Arah Museum Revolusi dalam Dua Investigasi tersebut.
Karena setiap karya sastra itu khas, lanjut dia, memaksakan satu teori untuk membaca sembarang karya adalah pilihan buruk. Misalnya, tepat jika kita menggunakan semesta sufisme sebagai alat baca terhadap karya-karya Amir Hamzah. Sebaliknya, akan menjadi ”salah kamar” jika digunakan untuk menganalisis Ke Arah Museum Revolusi.
Beberapa sajak karya Nirwan Dewanto tersebut memang beririsan dengan alam rohani semacam itu, tapi tidak menjadi roh utama dari keseluruhan tubuh buku. ”Pemaksaan-pemaksaan tafsir yang sedemikian rupa juga sebentuk kekeliruan,” katanya.
Lebih lanjut, Authonul menjelaskan bahwa karya sastra adalah semesta lebenswelt: dunia-kehidupan. Alhasil, semua karya sastra pada dasarnya dapat didekati oleh berbagai disiplin ilmu lain. Ia mencontohkan novel Saman karya Ayu Utami yang bisa dibaca melalui pendekatan psikologi, biologi, ekologi, teologi, sosiologi, maupun antropologi. Namun, pendekatan yang terlalu bebas seperti itu pada akhirnya juga bisa menjadi culas. ”Seberapa pun kentalnya aroma politik, sosiologis, antropologis, atau psikis, karya sastra pertama-tama mesti didudukkan sebagai karya sastra,” ungkapnya.
Menurut Authonul, kritikus adalah seorang perenung yang mencari cara paling tepat untuk membaca karya sastra. Kemudian merumuskan bentuk serta konsekuensi-konsekuensi lanjutan dari jagat bentuk tersebut. ”Barangkali dari situ kedalaman, kebaruan, kecerdasan, dan ketajaman analisis menjadi mungkin,” tuturnya.
Authonul mengaku dirinya tipe penulis yang ”milih-milih”. Dengan kata lain, berusaha menyusun kanon pribadi untuk dirinya sendiri. Jika ada suatu karya sastra yang memenuhi kriteria tertentu, ia akan menulis kritik atas karya tersebut. Misalnya, jika suatu prosa atau puisi memiliki kualitas kekaryaan yang membuatnya terentak, merasa asing, dan seakan menemukan momen ”eureka”. ”Sastra Indonesia saya pikir tidak kekurangan karya-karya bagus,” ujar pria 27 tahun itu.
Sebelum membaca, seseorang perlu memiliki wawasan tentang teori sastra sekaligus pengetahuan tentang riwayat pengarangnya. Jika pengarangnya termasuk penulis baru, sinopsis buku dapat menjadi pegangan awal. Dengan begitu, ada dua tahap penyulingan: memilih buku yang lolos kurasi awal dan menentukan karya yang layak dikritik. ”Itu pembeda antara seorang kritikus dan pembaca umum yang mencari kenikmatan dari karya sastra,” katanya.
Terkait iklim kritik sastra di Indonesia, dia menilai sudah baik. Di sisi lain, khazanah para pemikir sebelumnya juga telah bertumpuk-tumpuk. Barangkali yang masih kurang adalah teoritikus sastra dan risalah metakritik. ”Namun, lambat laun itu akan berkembang seiring berkembangnya kritik sastra,” tandasnya. (mad)



