Loading...
Sabtu Legi, 15 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Buku
Home
›Buku

Korpus Uterus: Perkara Dosa Jadi Ambigu di Tangan Manusia

Editor-Buku
9 November 2025
Korpus Uterus: Perkara Dosa Jadi Ambigu di Tangan Manusia
Klik untuk perbesar
Gramedia Pustaka Utama

Oleh Darmawati Majid

”Apa kamundak takut dosa, Nur?”

Perkara dosa adalah sengkarut yang rumit. Di kitab suci, ia hitam dan putih. Namun, ketika perkara dosa atau tidak tiba pada tafsir manusia, ia menjadi ambigu. Di novel terbarunya, Korpus Uterus, Sasti Gotama memperhadapkan kita pada rentetan ambiguitas.

Ambiguitas tidak selalu buruk. Dalam urusan tata bahasa, terutama pengalimatan, ia bisa mengaburkan makna. Akan tetapi, dalam fiksi, ambiguitas justru berkesempatan melahirkan cerita memikat. Ambiguitas menciptakan interpretasi, ruang pemaknaan lapang yang mampu membuat pembaca rela terlibat dalam keterbelahan yang dialami karakter. Ambiguitas pernah dihadirkan dengan sangat baik oleh Hamsad Rangkuti dalam cerpennya, ”Pispot”.

Melawan Moralitas

Ambiguitas dalam Korpus Uterus misalnya berupa keputusan Nur, tokoh dalam novel ini yang rela menjadi istri mut’ah. Dalam percakapan di halaman 48, saya menemukan sesuatu yang ironis: dosa bisa jadi hanya persoalan sudut pandang.

Satu ambiguitas utama dalam novel setebal 292 halaman itu adalah soal aborsi aman dan legal versus moralitas. Pertentangan melawan moral diwakili setting simposium para dokter (bukan oleh ceramah narator) yang memunculkan satu pertanyaan: Berapa banyak lagi kematian akibat aborsi ilegal perlu terjadi supaya kita peduli pada masalah ini?

Pertanyaan itu tidak selalu bisa dijawab dengan mudah.

Dua isu menarik yang juga coba ditawarkan Sasti (yang saya yakin dapat menimbulkan perdebatan panjang) adalah cara kita memandang kedudukan rahim. Pertama, bukan soal siapa yang harus diselamatkan, ibu atau bayi, melainkan bagaimana agar kondisi rahim tetap baik dan sehat dan indah setelah keputusan genting diambil. Hal itu jarang sekali dibahas, bukan? Kedua, pendidikan seks usia dini –mengenalkan istilah-istilah kelamin ke anak-anak dengan benar– justru penting untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual. Adegan ini dituangkan Sasti ketika tokoh Luh berhadapan dengan tokoh Lara, yang sejak kecil ”dilindungi” ibunya dari nama-nama dan istilah perkelaminan (yang juga menurut sebagian besar masyarakat kita tabu untuk diperdengarkan ke siapa pun).

Istilah Medis yang Mudah Dicerna

Namun, yang paling menarik dari novel ini justru istilah medis yang diupayakan penulisnya menjadi istilah yang mudah dikunyah pembaca seperti kuretase, retraksi, palpasi, spekulum, tenakulum, endometrium, sonde, dilator, dilatasi, funandoskop, tetanopamin, interna, obgyn, dan asal kata rahim, yang menjadikan judul novel ini juga terasa tepat.

Baca Juga

Transformasi Profetik Teater Eska

Kata korpus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterakan dengan tiga penjelasan: 1) n badan (manusia atau binatang yang mati); 2) n Sas himpunan karangan dengan tema, masalah, pengarang, atau bentuk yang sama; dan 3) n Ling kumpulan ujaran yang tertulis atau lisan yang digunakan untuk menyokong atau menguji hipotesis tentang struktur bahasa. Dalam bahasa Inggris, kamus Merriam-Webster memberi keterangan asal kata itu dari bahasa Latin, body, entity, group of people, collection, compendium, dan pertama kali digunakan pada abad ke-15 dengan makna 1 yang tertera dalam KBBI Daring.

Kata korpus sudah lazim digunakan di ranah biologi dan kedokteran seperti paduan kata yang kita temukan pula dalam KBBI Daring: korpus kalosum, korpus kardiakum, korpus luteum, korpus paralel, korpus striatum. Dalam ranah kedokteran, ada Korpus Uteri, yang merupakan nama dari bagian utama rahim, yang menjadi kover novel ini. Dalam ilmu linguistik, korpus merupakan data bahasa yang digunakan untuk menyusun kamus sejak tahun 1700 M. Dalam dua tahun terakhir, korpus linguistik (KL) menjadi pendekatan yang paling banyak diminati untuk meneliti atau mengkaji ragam variasi bahasa.

Korpus Uterus membawa intisari pengetahuan bukan hanya istilah seputar uterus, melainkan juga persoalan krusial kemanusiaan yang menimpa perempuan maupun laki-laki. Betapa satu kasus pelecehan seksual bisa berbuntut panjang: dari persoalan moral dan etika, keperawanan di mata kepolisian, hak anak untuk tumbuh normal, bahaya obat-obatan bagi janin dan kehamilan ibu, hingga runyamnya UU terkait dengan aborsi.

Saya juga menikmati cara Sasti merevitalisasi bahasa Jawa Timuran seperti peno (kamu), pean (kamu), meteng (hamil), benges (gincu), dan purun (mau) dalam dialog-dialog tokohnya, termasuk frasa bahasa Belanda, koempoel gebouw, asal kata kumpul kebo yang kini kita kenal.

Namun, ada satu hal yang mengganggu saya. Pertama, ia mengingatkan saya pada cara Marah Roesli menghadirkan isu-isu sosial dalam dialog antartokohnya. Sasti menyelipkan banyak soal: kekerasan 1965, pemerkosaan 1998, kinerja polisi, dampak lumpur Lapindo, dan pelecehan seksual oleh orang dekat. Oleh karena itulah, di beberapa percakapan, saya menjumpai penulis meminjam mulut tokoh untuk menyuarakan kegelisahannya. Maka, kita akan temukan dialog yang cukup canggih dan berpetuah untuk diucapkan Yati, si penghuni Gang Dolly misalnya.

Baca Juga

Membaca Prahara 1965 dari Kacamata Algojo

Saya merekomendasikan novel ini untuk perempuan, juga para orang tua. Setelah membaca novel ini, saya menjadi memahami bahwa asal muasal dari banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan terdekat bermula dari ketidakpahaman kita soal bagaimana mengenalkan anak-anak mengenai tubuh mereka. Sehingga memberi tahu ini dosa itu dosa rasa-rasanya menjadi tidak memadai.

Namun, sekali lagi, perkara dosa adalah sengkarut yang rumit. ”Ya” atau ”tidak” menjadi tidak mutlak lagi ketika kita berhadapan pada nurani kemanusiaan. Bisa jadi awalnya kita berpegang teguh pada kata ”ya”, tapi setelah membaca novel ini, kita mulai goyah. (*)

Judul: Korpus Uterus

Penulis: Sasti Gotama

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2025

Jumlah: viii + 292 halaman

ISBN: 978-602-06-8377-5

Darmawati Majid

Penulis, tinggal di Depok untuk sementara waktu

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Korpus Uterus: Perkara Dosa Jadi Ambigu di Tangan Manusia

Buku

Berita Terbaru

Transformasi Profetik Teater Eska

Transformasi Profetik Teater Eska

Buku•4 November 2025
Membaca Prahara 1965 dari Kacamata Algojo

Membaca Prahara 1965 dari Kacamata Algojo

Buku•26 Oktober 2025
Home
›Buku
›Korpus Uterus: Perkara Dosa Jadi Ambigu di Tangan Manusia
Korpus Uterus: Perkara Dosa Jadi Ambigu di Tangan Manusia
Buku

Korpus Uterus: Perkara Dosa Jadi Ambigu di Tangan Manusia

Editor-9 November 2025
Klik untuk perbesar

Gramedia Pustaka Utama

Bagikan artikel ini

Oleh Darmawati Majid

”Apa kamundak takut dosa, Nur?”

Perkara dosa adalah sengkarut yang rumit. Di kitab suci, ia hitam dan putih. Namun, ketika perkara dosa atau tidak tiba pada tafsir manusia, ia menjadi ambigu. Di novel terbarunya, Korpus Uterus, Sasti Gotama memperhadapkan kita pada rentetan ambiguitas.

Ambiguitas tidak selalu buruk. Dalam urusan tata bahasa, terutama pengalimatan, ia bisa mengaburkan makna. Akan tetapi, dalam fiksi, ambiguitas justru berkesempatan melahirkan cerita memikat. Ambiguitas menciptakan interpretasi, ruang pemaknaan lapang yang mampu membuat pembaca rela terlibat dalam keterbelahan yang dialami karakter. Ambiguitas pernah dihadirkan dengan sangat baik oleh Hamsad Rangkuti dalam cerpennya, ”Pispot”.

Melawan Moralitas

Ambiguitas dalam Korpus Uterus misalnya berupa keputusan Nur, tokoh dalam novel ini yang rela menjadi istri mut’ah. Dalam percakapan di halaman 48, saya menemukan sesuatu yang ironis: dosa bisa jadi hanya persoalan sudut pandang.

Satu ambiguitas utama dalam novel setebal 292 halaman itu adalah soal aborsi aman dan legal versus moralitas. Pertentangan melawan moral diwakili setting simposium para dokter (bukan oleh ceramah narator) yang memunculkan satu pertanyaan: Berapa banyak lagi kematian akibat aborsi ilegal perlu terjadi supaya kita peduli pada masalah ini?

Pertanyaan itu tidak selalu bisa dijawab dengan mudah.

Dua isu menarik yang juga coba ditawarkan Sasti (yang saya yakin dapat menimbulkan perdebatan panjang) adalah cara kita memandang kedudukan rahim. Pertama, bukan soal siapa yang harus diselamatkan, ibu atau bayi, melainkan bagaimana agar kondisi rahim tetap baik dan sehat dan indah setelah keputusan genting diambil. Hal itu jarang sekali dibahas, bukan? Kedua, pendidikan seks usia dini –mengenalkan istilah-istilah kelamin ke anak-anak dengan benar– justru penting untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual. Adegan ini dituangkan Sasti ketika tokoh Luh berhadapan dengan tokoh Lara, yang sejak kecil ”dilindungi” ibunya dari nama-nama dan istilah perkelaminan (yang juga menurut sebagian besar masyarakat kita tabu untuk diperdengarkan ke siapa pun).

Istilah Medis yang Mudah Dicerna

Namun, yang paling menarik dari novel ini justru istilah medis yang diupayakan penulisnya menjadi istilah yang mudah dikunyah pembaca seperti kuretase, retraksi, palpasi, spekulum, tenakulum, endometrium, sonde, dilator, dilatasi, funandoskop, tetanopamin, interna, obgyn, dan asal kata rahim, yang menjadikan judul novel ini juga terasa tepat.

Baca Juga

Transformasi Profetik Teater Eska

Kata korpus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterakan dengan tiga penjelasan: 1) n badan (manusia atau binatang yang mati); 2) n Sas himpunan karangan dengan tema, masalah, pengarang, atau bentuk yang sama; dan 3) n Ling kumpulan ujaran yang tertulis atau lisan yang digunakan untuk menyokong atau menguji hipotesis tentang struktur bahasa. Dalam bahasa Inggris, kamus Merriam-Webster memberi keterangan asal kata itu dari bahasa Latin, body, entity, group of people, collection, compendium, dan pertama kali digunakan pada abad ke-15 dengan makna 1 yang tertera dalam KBBI Daring.

Kata korpus sudah lazim digunakan di ranah biologi dan kedokteran seperti paduan kata yang kita temukan pula dalam KBBI Daring: korpus kalosum, korpus kardiakum, korpus luteum, korpus paralel, korpus striatum. Dalam ranah kedokteran, ada Korpus Uteri, yang merupakan nama dari bagian utama rahim, yang menjadi kover novel ini. Dalam ilmu linguistik, korpus merupakan data bahasa yang digunakan untuk menyusun kamus sejak tahun 1700 M. Dalam dua tahun terakhir, korpus linguistik (KL) menjadi pendekatan yang paling banyak diminati untuk meneliti atau mengkaji ragam variasi bahasa.

Korpus Uterus membawa intisari pengetahuan bukan hanya istilah seputar uterus, melainkan juga persoalan krusial kemanusiaan yang menimpa perempuan maupun laki-laki. Betapa satu kasus pelecehan seksual bisa berbuntut panjang: dari persoalan moral dan etika, keperawanan di mata kepolisian, hak anak untuk tumbuh normal, bahaya obat-obatan bagi janin dan kehamilan ibu, hingga runyamnya UU terkait dengan aborsi.

Saya juga menikmati cara Sasti merevitalisasi bahasa Jawa Timuran seperti peno (kamu), pean (kamu), meteng (hamil), benges (gincu), dan purun (mau) dalam dialog-dialog tokohnya, termasuk frasa bahasa Belanda, koempoel gebouw, asal kata kumpul kebo yang kini kita kenal.

Namun, ada satu hal yang mengganggu saya. Pertama, ia mengingatkan saya pada cara Marah Roesli menghadirkan isu-isu sosial dalam dialog antartokohnya. Sasti menyelipkan banyak soal: kekerasan 1965, pemerkosaan 1998, kinerja polisi, dampak lumpur Lapindo, dan pelecehan seksual oleh orang dekat. Oleh karena itulah, di beberapa percakapan, saya menjumpai penulis meminjam mulut tokoh untuk menyuarakan kegelisahannya. Maka, kita akan temukan dialog yang cukup canggih dan berpetuah untuk diucapkan Yati, si penghuni Gang Dolly misalnya.

Baca Juga

Membaca Prahara 1965 dari Kacamata Algojo

Saya merekomendasikan novel ini untuk perempuan, juga para orang tua. Setelah membaca novel ini, saya menjadi memahami bahwa asal muasal dari banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan terdekat bermula dari ketidakpahaman kita soal bagaimana mengenalkan anak-anak mengenai tubuh mereka. Sehingga memberi tahu ini dosa itu dosa rasa-rasanya menjadi tidak memadai.

Namun, sekali lagi, perkara dosa adalah sengkarut yang rumit. ”Ya” atau ”tidak” menjadi tidak mutlak lagi ketika kita berhadapan pada nurani kemanusiaan. Bisa jadi awalnya kita berpegang teguh pada kata ”ya”, tapi setelah membaca novel ini, kita mulai goyah. (*)

Judul: Korpus Uterus

Penulis: Sasti Gotama

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2025

Jumlah: viii + 292 halaman

ISBN: 978-602-06-8377-5

Darmawati Majid

Penulis, tinggal di Depok untuk sementara waktu

Most Read

1

Korpus Uterus: Perkara Dosa Jadi Ambigu di Tangan Manusia

Buku

Berita Terbaru

Transformasi Profetik Teater Eska

Transformasi Profetik Teater Eska

Buku•4 November 2025
Membaca Prahara 1965 dari Kacamata Algojo

Membaca Prahara 1965 dari Kacamata Algojo

Buku•26 Oktober 2025

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001