Selalu Ada Yang Baru!
”Apa kamu ndak takut dosa, Nur?” Perkara dosa adalah sengkarut yang rumit. Di kitab suci, ia hitam dan putih. Namun, ketika perkara dosa atau tidak tiba pada tafsir manusia, ia menjadi ambigu. Di novel terbarunya, Korpus Uterus, Sasti Gotama memperhadapkan kita pada rentetan ambiguitas. Ambiguitas tidak selalu buruk. Dalam urusan tata bahasa, terutama pengalimatan, ia bisa mengaburkan makna. Akan tetapi, dalam fiksi, ambiguitas justru berkesempatan melahirkan cerita memikat. Ambiguitas menciptakan interpretasi, ruang pemaknaan lapang yang mampu membuat pembaca rela terlibat dalam keterbelahan yang dialami karakter. Ambiguitas pernah dihadirkan dengan sangat baik oleh Hamsad Rangkuti dalam cerpennya, ”Pispot”. Melawan Moralitas Ambiguitas dalam Korpus Uterus misalnya berupa keputusan Nur, tokoh dalam novel ini yang rela menjadi istri mut’ah. Dalam percakapan di halaman 48, saya menemukan sesuatu yang ironis: dosa bisa jadi hanya persoalan sudut pandang. Satu ambiguitas utama dalam novel setebal 292 halaman itu adalah soal aborsi aman dan legal versus moralitas. Pertentangan melawan moral diwakili setting simposium para dokter (bukan oleh ceramah narator) yang memunculkan satu pertanyaan: Berapa banyak lagi kematian akibat aborsi ilegal perlu terjadi supaya kita peduli pada masalah ini? Pertanyaan itu tidak selalu bisa dijawab dengan mudah. Dua isu menarik yang juga coba ditawarkan Sasti (yang saya yakin...