Loading...
Sabtu Legi, 15 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Halte
Home
›Halte

Yang Menatap dari Cermin

Editor-Halte
26 Oktober 2025
Yang Menatap dari Cermin
Klik untuk perbesar
Ilustrasi Nina/Jawa Pos

Oleh Asief Abdi

Sebuah retakan di cermin mestinya sudah cukup mengisyaratkan pertanda buruk. Namun, Lorraine Warren tak beranjak. Ia terpaku di hadapan bayangannya sendiri. Di balik kilau kaca tua itu, sesuatu menatap balik. Bukan dirinya, melainkan sesuatu yang menyerupai dia dengan seringai jahat.

Bukankah sepotong adegan film The Conjuring: Last Rites itu terasa familier? Lebih-lebih pada masa kini. Tatkala dunia menuntut kesempurnaan, pantulan diri di muka cermin –atau layar gawai– terlihat menyeramkan. Sampai-sampai, ponsel dan platform digital kekinian wajib dibekali fitur filter kamera.

Akan tetapi, keengganan manusia menatap dirinya sendiri boleh jadi bukan lantaran disharmoni antara tampilan fisik dan standar belaka. Orang Barat punya ungkapan populer yang acap muncul dalam lirik lagu mereka: save me from myself. Ada sesuatu dalam diri yang membuat kita ngeri, yang berasal dari sudut kelam sukma: iblis.

Personifikasi iblis dalam bentuk refleksi si pelihat kerap muncul dalam budaya pop. Dalam film If Cats Disappeared from the World, misalnya, sang entitas jahat muncul sebagai kembaran gaib si tukang pos. Norman Osborn, sang vilain dalam sekuel pertama Spider-Man, sering dihantui bayangannya sendiri sebelum ia menjelma Green Goblin dan mengacaukan kota. Gambaran macam itu tentu mengingatkan kita pada pemikiran Carl Jung perihal bayang-bayang.

Dua Wajah Manusia

Dalam psikologi analitik, manusia punya dua wajah: satu ia tunjukkan ke dunia (persona), sedangkan lainnya ia sembunyikan (shadow). Yang terakhir, yang gelap dan tersembunyi, ialah bagian diri yang direpresi –kadang berwujud naluri buruk, kadang justru potensi yang kita ingkari. Secara simbolik, ia bisa muncul sebagai iblis.

Demi diterima dalam sebuah komunitas, mau tak mau kita mesti mengenakan ”topeng” untuk menutup sisi gelap diri. Akan tetapi, bayang-bayang tetap di sana, meringkuk di relung batin, menanti saat yang tepat untuk merayap ke permukaan. Dalam film Snow White, misalnya, refleksi dari cermin ajaib yang membuat sang Ratu Jahat murka barangkali adalah kedengkiannya sendiri. Maka, sosok yang menatap balik dari cermin bisa dibaca bukan sebagai makhluk gaib, melainkan bagian diri yang selama ini tidak diakui. Alih-alih menghadapinya, banyak orang memilih lari. Akan tetapi, kabur sama sekali bukan ide bagus.

Baca Juga

Primbon Politik

Seperti suami istri Warren yang berusaha lari dari si makhluk jahat, upaya menjauhi bayang-bayang juga tak banyak berguna. ”Dia menemukan kita,” kata Lorraine begitu menyadari dirinya tak bisa lari. Dia pun tak punya pilihan lain selain menghadapinya.

Sejalan dengan keberanian Lorraine, manusia mesti menatap sisi gelap diri dan mengakuinya sebagai bagian dari keutuhan psike. Karena yang terang tak mungkin ada tanpa yang gelap. Keduanya bagai yin dan yang, berlawanan tapi tetap satu. Simbol kuno itu menegaskan bahwa keseimbangan batin manusia, sebagaimana alam semesta, lahir dari pengakuan atas dualitas. Maka, persona dan shadow bukan musuh, melainkan pasangan yang saling melengkapi.

Sayangnya, menatap sisi buruk diri tidaklah mudah. Ia bagai liang kelam yang terlalu menakutkan untuk dipandang lama-lama. Nietzsche mengingatkan bahwa menatap kegelapan terlalu lama bisa membuatnya balik menatap kita –sebuah peringatan kalau apa pun yang kita tolak dari diri sendiri akan mencari cara untuk kembali. Perasaan tak nyaman tatkala dikritik orang lain atas kekurangan kita, contohnya, merupakan wujud ingkaran akan bayang-bayang.

Penyangkalan macam itu dapat berujung pada egoisme dan sikap benar sendiri. Seseorang dapat menjadi antikritik lantaran tak mau mengakui sisi gelapnya. Tak heran jika kritik sosial, bukannya berujung pada introspeksi diri, malah kerap jadi sumber keributan. Kebanyakan orang terlalu menyukai topeng di wajah, sampai-sampai kita lupa melepas dan menengok bayangan di baliknya. Walau persona itu penting –topeng sosial memungkinkan individu berfungsi dalam masyarakat– ketika ia menelan wajah sejati, seseorang bisa hilang arah. Sialnya, teknologi seakan kian menjauhkan manusia masa kini dari kesejatian.

Bentuk Baru

Pada era digital, topeng sosial itu menjelma bentuk baru. Di jagat maya, persona menemukan medium sempurna untuk melekat erat. Sekarang siapa pun bisa dengan mudah mengedit penampilan mereka di internet. Fitur avatar memberi kesempatan seseorang untuk mendesain ulang citranya. Berbagai efek digital bisa membentuk ulang muka orang dengan gampang, sesuai standar yang beredar. Kita juga bisa mem-posting hal-hal baik saja demi pencitraan personal. Sang bayang-bayang, sang diri yang lain, terlampau menakutkan untuk ditatap. Padahal, yang kita butuhkan adalah keberanian menghadapinya.

Baca Juga

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Seperti yang akhirnya dilakukan keluarga Warren. Sang iblis jahat yang tak kunjung menyerah kendati sudah dibacai ayat-ayat kitab suci menyadarkan Lorraine akan apa yang mesti mereka perbuat: menatap langsung sang iblis tepat di matanya, tanpa rasa takut. ”Jangan lari,” kata Lorraine kepada putrinya.

Keberanian menghadapi sisi gelap diri tak ubahnya eksorsisme. Namun, berbeda dengan roh jahat, iblis dalam diri tak bisa diusir—ia cuma perlu disadari keberadaannya sehingga kita bisa berdamai dengan diri sendiri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Oleh karena itu, alih-alih memalingkan wajah, tatap bayanganmu dengan keberanian. Sebab, musuh terberat selalu datang dari dalam diri. (*)

Asief Abdi, penulis adalah seorang naturalis

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Primbon Politik

Halte
2

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte

Berita Terbaru

Primbon Politik

Primbon Politik

Halte•6 hari yang lalu
Sejarah Filsafat dan Status Quo

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte•6 hari yang lalu
Home
›Halte
›Yang Menatap dari Cermin
Yang Menatap dari Cermin
Halte

Yang Menatap dari Cermin

Editor-26 Oktober 2025
Klik untuk perbesar

Ilustrasi Nina/Jawa Pos

Bagikan artikel ini

Oleh Asief Abdi

Sebuah retakan di cermin mestinya sudah cukup mengisyaratkan pertanda buruk. Namun, Lorraine Warren tak beranjak. Ia terpaku di hadapan bayangannya sendiri. Di balik kilau kaca tua itu, sesuatu menatap balik. Bukan dirinya, melainkan sesuatu yang menyerupai dia dengan seringai jahat.

Bukankah sepotong adegan film The Conjuring: Last Rites itu terasa familier? Lebih-lebih pada masa kini. Tatkala dunia menuntut kesempurnaan, pantulan diri di muka cermin –atau layar gawai– terlihat menyeramkan. Sampai-sampai, ponsel dan platform digital kekinian wajib dibekali fitur filter kamera.

Akan tetapi, keengganan manusia menatap dirinya sendiri boleh jadi bukan lantaran disharmoni antara tampilan fisik dan standar belaka. Orang Barat punya ungkapan populer yang acap muncul dalam lirik lagu mereka: save me from myself. Ada sesuatu dalam diri yang membuat kita ngeri, yang berasal dari sudut kelam sukma: iblis.

Personifikasi iblis dalam bentuk refleksi si pelihat kerap muncul dalam budaya pop. Dalam film If Cats Disappeared from the World, misalnya, sang entitas jahat muncul sebagai kembaran gaib si tukang pos. Norman Osborn, sang vilain dalam sekuel pertama Spider-Man, sering dihantui bayangannya sendiri sebelum ia menjelma Green Goblin dan mengacaukan kota. Gambaran macam itu tentu mengingatkan kita pada pemikiran Carl Jung perihal bayang-bayang.

Dua Wajah Manusia

Dalam psikologi analitik, manusia punya dua wajah: satu ia tunjukkan ke dunia (persona), sedangkan lainnya ia sembunyikan (shadow). Yang terakhir, yang gelap dan tersembunyi, ialah bagian diri yang direpresi –kadang berwujud naluri buruk, kadang justru potensi yang kita ingkari. Secara simbolik, ia bisa muncul sebagai iblis.

Demi diterima dalam sebuah komunitas, mau tak mau kita mesti mengenakan ”topeng” untuk menutup sisi gelap diri. Akan tetapi, bayang-bayang tetap di sana, meringkuk di relung batin, menanti saat yang tepat untuk merayap ke permukaan. Dalam film Snow White, misalnya, refleksi dari cermin ajaib yang membuat sang Ratu Jahat murka barangkali adalah kedengkiannya sendiri. Maka, sosok yang menatap balik dari cermin bisa dibaca bukan sebagai makhluk gaib, melainkan bagian diri yang selama ini tidak diakui. Alih-alih menghadapinya, banyak orang memilih lari. Akan tetapi, kabur sama sekali bukan ide bagus.

Baca Juga

Primbon Politik

Seperti suami istri Warren yang berusaha lari dari si makhluk jahat, upaya menjauhi bayang-bayang juga tak banyak berguna. ”Dia menemukan kita,” kata Lorraine begitu menyadari dirinya tak bisa lari. Dia pun tak punya pilihan lain selain menghadapinya.

Sejalan dengan keberanian Lorraine, manusia mesti menatap sisi gelap diri dan mengakuinya sebagai bagian dari keutuhan psike. Karena yang terang tak mungkin ada tanpa yang gelap. Keduanya bagai yin dan yang, berlawanan tapi tetap satu. Simbol kuno itu menegaskan bahwa keseimbangan batin manusia, sebagaimana alam semesta, lahir dari pengakuan atas dualitas. Maka, persona dan shadow bukan musuh, melainkan pasangan yang saling melengkapi.

Sayangnya, menatap sisi buruk diri tidaklah mudah. Ia bagai liang kelam yang terlalu menakutkan untuk dipandang lama-lama. Nietzsche mengingatkan bahwa menatap kegelapan terlalu lama bisa membuatnya balik menatap kita –sebuah peringatan kalau apa pun yang kita tolak dari diri sendiri akan mencari cara untuk kembali. Perasaan tak nyaman tatkala dikritik orang lain atas kekurangan kita, contohnya, merupakan wujud ingkaran akan bayang-bayang.

Penyangkalan macam itu dapat berujung pada egoisme dan sikap benar sendiri. Seseorang dapat menjadi antikritik lantaran tak mau mengakui sisi gelapnya. Tak heran jika kritik sosial, bukannya berujung pada introspeksi diri, malah kerap jadi sumber keributan. Kebanyakan orang terlalu menyukai topeng di wajah, sampai-sampai kita lupa melepas dan menengok bayangan di baliknya. Walau persona itu penting –topeng sosial memungkinkan individu berfungsi dalam masyarakat– ketika ia menelan wajah sejati, seseorang bisa hilang arah. Sialnya, teknologi seakan kian menjauhkan manusia masa kini dari kesejatian.

Bentuk Baru

Pada era digital, topeng sosial itu menjelma bentuk baru. Di jagat maya, persona menemukan medium sempurna untuk melekat erat. Sekarang siapa pun bisa dengan mudah mengedit penampilan mereka di internet. Fitur avatar memberi kesempatan seseorang untuk mendesain ulang citranya. Berbagai efek digital bisa membentuk ulang muka orang dengan gampang, sesuai standar yang beredar. Kita juga bisa mem-posting hal-hal baik saja demi pencitraan personal. Sang bayang-bayang, sang diri yang lain, terlampau menakutkan untuk ditatap. Padahal, yang kita butuhkan adalah keberanian menghadapinya.

Baca Juga

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Seperti yang akhirnya dilakukan keluarga Warren. Sang iblis jahat yang tak kunjung menyerah kendati sudah dibacai ayat-ayat kitab suci menyadarkan Lorraine akan apa yang mesti mereka perbuat: menatap langsung sang iblis tepat di matanya, tanpa rasa takut. ”Jangan lari,” kata Lorraine kepada putrinya.

Keberanian menghadapi sisi gelap diri tak ubahnya eksorsisme. Namun, berbeda dengan roh jahat, iblis dalam diri tak bisa diusir—ia cuma perlu disadari keberadaannya sehingga kita bisa berdamai dengan diri sendiri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Oleh karena itu, alih-alih memalingkan wajah, tatap bayanganmu dengan keberanian. Sebab, musuh terberat selalu datang dari dalam diri. (*)

Asief Abdi, penulis adalah seorang naturalis

Most Read

1

Primbon Politik

Halte
2

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte

Berita Terbaru

Primbon Politik

Primbon Politik

Halte•6 hari yang lalu
Sejarah Filsafat dan Status Quo

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte•6 hari yang lalu

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001