Loading...
Minggu Wage, 23 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Halte
Home
›Halte

Dalam Semesta Sastra: Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2025

Editor-Halte
22 November 2025
Dalam Semesta Sastra: Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2025
Klik untuk perbesar
Ilustrasi Nina/Jawa Pos

Oleh: Kukuh Yudha Karnanta

Mengusung temaAham Brahmasmi atau I am the Universe (Aku Adalah Semesta), UWRF 2025 menghamparkan ragam karya artistik, di antaranya sastra, film, musik, hingga wayang. Pertanyaannya, apa/siapakah ”aku” dalam semesta yang dimaksud? Semesta apa dan bagaimanakah ”aku” terjelma dalam ”semesta” di festival yang digelar sejak 2004 itu?

Helatan pada 29 Oktober–2 November 2025 itu menghadirkan lebih dari 150 pembicara dari berbagai negara, mulai peraih International Booker Prize hingga yang masih disebut Emerging Writers. Ratusan peserta datang dari beragam latar profesi: penulis, penerbit, jurnalis, peneliti, dari dalam dan luar negeri. Semua dapat bertukar gagasan dalam sesi-sesi diskusi yang tampak terkurasi rapi.

Audiens dapat menyimak Deconstructing Colonialism, sementara di sesi berikutnya terdapat diskusi soal Writing in the Coloniser’s Tongue. Setelah membayangkan kondisi Gaza dalam sesi Israel and Palestine: Pathways to Peace, audiens dapat menyimak keelokan lanskap Bali di sesi Timeless Bali. Terkesan paradoks, mungkin. Namun, bukankah kadang demikian semesta menjelma?

Subjek

Justru dalam kondisi kebertentangan semesta itulah sang ”aku” benar-benar diuji dan ditempa kesadarannya sebagai subjek: diam, beradaptasi, melawan, atau bahkan menciptakan ruang-ruang alternatif. Panel Young and Bright: Queerness in Adolescent Fiction, misalnya, membincang betapa perubahan identitas gender dan orientasi seksual adalah pilihan sadar sekaligus proses menantang dan penuh risiko –setidaknya dalam konteks masyarakat heteronormatif. Sementara itu, karya sastra dapat menjadi ruang/medium ekspresi yang merekam dinamika proses serta pandangan penulisnya.

Siapakah aku –sang subjek, boleh jadi tak hanya merujuk pada manusia, melainkan juga melekat dalam karakter-karakter antropomorfik. Pada sesi peluncuran buku Ajengan Anjing, Ridwan Malik, sang penulis buku, membabarkan proses kreatif saat menulis novel yang lantas diganjar penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikdasmen 2025. Dalam novel berlatar masyarakat sarat nilai-nilai Islami, penulis asal Garut itu mendefinisikan kembali makna kesucian, kesetiaan, keberkahan, justru melalui perspektif seekor anjing.

”…orang-orang juga mengingat Mama Aleh sebagai seorang ajengan yang nyentrik. Itu karena, ketika banyak dari para ajengan memilih untuk cenderung tidak berurusan dengan anjing, beliau malah berlaku sebaliknya. Mama Aleh malah memelihara seekor anjing...”

Baca Juga

Kopi Pangku: Dedominasi Maskulinitas dan Kepahlawanan Ibu

Pemilihan karakter seekor anjing, baik sebagai protagonis maupun narator dalam novel ini, adalah pilihan menggelitik dan berani. Bagaimanakah nasib anjing-anjing itu dalam semesta kultur ajengan, pada pertanyaan itulah pandangan dunia penulisnya –yang juga seorang santri– menarik dicermati.

Lebih jauh, di saat menghangatnya pro dan kontra pengusulan Soeharto sebagai pahlawan, terdapat sesi Fajar Merah: Remembering Widji Thukul. Memori tentang Widji Thukul dihadirkan oleh sang putra, Fajar Merah, dalam lagu-lagu yang diadaptasi dari puisi-puisi ayahnya. Demikian juga dalam sesi 100 Years of Pramoedya, Aditya Ananta Toer mengenangkan pengalamannya berikut keluarga dalam menyandang nama Toer. Ide menghadirkan dua tokoh tersebut patut diapresiasi. Audiens dapat mengetahui suasana batin maupun suara-suara yang sebelumnya mungkin sayup terdengar, langsung dari sang ”aku” –subjek yang puluhan tahun mengalami sendiri perasaan sebagai anak Thukul atau cucu Pramoedya.

Semesta

UWRF menghadirkan sastra sebagai ajaran tentang kehidupan semesta alam. Tentu saja karya sastra seperti puisi, cerpen, dan novel menjadi bagiannya. Namun, spektrumnya meluas. Ajaran tentang keselarasan manusia dan alam dapat terjelma dalam arsitektur, seperti didiskusikan dalam Reclaiming Architecture as Sacred Code dan The Living Universe: Ritual, Nature, and Art in Balinese Cosmology.

Potret hubungan antarmanusia terjelma juga dalam pemutaran karya-karya film. Misalnya, Samsara (Garin Nugroho) dengan ciri khas perpaduan tari dan sinematografi yang apik serta cerita yang sarat filosofi siklus kehidupan. Ada juga film Gayatri: The Majapahit Trilogy (Mhyajo) yang terinspirasi dari kakawin Nagarakretagama. Di sesi masterclass, Ratih Kumala, penulis novel sekaligus film seri Gadis Kretek, turut berbagi proses kreatif penulisan di ranah sastra dan sinema. Bahkan, perihal makhluk astral berbasis sastra lisan turut dipentaskan dalam The Wayang Women: Wewe Gombel, yang bermuatan isu lingkungan dan kekuatan perempuan.

Ya, UWRF tampak sebagai pertemuan beragam arus, suara, dan ekspresi artistik yang dibawa oleh atau terinspirasi dari sastra.

Namun, ada satu hal yang kiranya dapat lebih tergarap dalam UWRF mendatang: kritik sastra. Akan lengkap, misalnya, membincang antologi Stories from the Islands karya para Emerging Writers UWRF sembari membaca-dekat adakah pergeseran/perkembangan tema lokalitas, baik sudut pandang maupun cara penghadirannya dalam teks, dibandingkan karya-karya fiksi dari dasawarsa sebelumnya. Atau, sejauh mana penggunaan artificial intelligence (AI) dalam proses kreatif berpengaruh atau tidak pada cara para penulis sastra mengeksplorasi invensi atau improvisasi artistik dalam karya-karyanya. Dengan penyajian tertentu sesuai karakteristik acara, kritik sastra dapat semakin menajamkan kedalaman konten festival tahunan ini.

Baca Juga

Setelah Pidato Usai

Pada akhirnya, tema I am the Universe seakan pernyataan bahwa UWRF sedang menebalkan namanya sebagai ajang festival sastra prestisius bertaraf dunia. Dan memang, lebih dari sekadar perayaan, UWRF adalah upaya penjelajahan terhadap miniatur semesta sastra dunia dalam lima malam. (*)

Kukuh Yudha Karnanta

Dosen Bahasa dan Sastra Inggris FIB Unair; 10 Emerging Writers UWRF 2025

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Membatalkan Gelar

Halte
2

Setelah Pidato Usai

Halte
3

Kopi Pangku: Dedominasi Maskulinitas dan Kepahlawanan Ibu

Halte
4

Dalam Semesta Sastra: Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2025

Halte

Berita Terbaru

Kopi Pangku: Dedominasi Maskulinitas dan Kepahlawanan Ibu

Kopi Pangku: Dedominasi Maskulinitas dan Kepahlawanan Ibu

Halte•16 jam yang lalu
Setelah Pidato Usai

Setelah Pidato Usai

Halte•7 hari yang lalu
Home
›Halte
›Dalam Semesta Sastra: Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2025
Dalam Semesta Sastra: Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2025
Halte

Dalam Semesta Sastra: Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2025

Editor-22 November 2025
Klik untuk perbesar

Ilustrasi Nina/Jawa Pos

Bagikan artikel ini

Oleh: Kukuh Yudha Karnanta

Mengusung temaAham Brahmasmi atau I am the Universe (Aku Adalah Semesta), UWRF 2025 menghamparkan ragam karya artistik, di antaranya sastra, film, musik, hingga wayang. Pertanyaannya, apa/siapakah ”aku” dalam semesta yang dimaksud? Semesta apa dan bagaimanakah ”aku” terjelma dalam ”semesta” di festival yang digelar sejak 2004 itu?

Helatan pada 29 Oktober–2 November 2025 itu menghadirkan lebih dari 150 pembicara dari berbagai negara, mulai peraih International Booker Prize hingga yang masih disebut Emerging Writers. Ratusan peserta datang dari beragam latar profesi: penulis, penerbit, jurnalis, peneliti, dari dalam dan luar negeri. Semua dapat bertukar gagasan dalam sesi-sesi diskusi yang tampak terkurasi rapi.

Audiens dapat menyimak Deconstructing Colonialism, sementara di sesi berikutnya terdapat diskusi soal Writing in the Coloniser’s Tongue. Setelah membayangkan kondisi Gaza dalam sesi Israel and Palestine: Pathways to Peace, audiens dapat menyimak keelokan lanskap Bali di sesi Timeless Bali. Terkesan paradoks, mungkin. Namun, bukankah kadang demikian semesta menjelma?

Subjek

Justru dalam kondisi kebertentangan semesta itulah sang ”aku” benar-benar diuji dan ditempa kesadarannya sebagai subjek: diam, beradaptasi, melawan, atau bahkan menciptakan ruang-ruang alternatif. Panel Young and Bright: Queerness in Adolescent Fiction, misalnya, membincang betapa perubahan identitas gender dan orientasi seksual adalah pilihan sadar sekaligus proses menantang dan penuh risiko –setidaknya dalam konteks masyarakat heteronormatif. Sementara itu, karya sastra dapat menjadi ruang/medium ekspresi yang merekam dinamika proses serta pandangan penulisnya.

Siapakah aku –sang subjek, boleh jadi tak hanya merujuk pada manusia, melainkan juga melekat dalam karakter-karakter antropomorfik. Pada sesi peluncuran buku Ajengan Anjing, Ridwan Malik, sang penulis buku, membabarkan proses kreatif saat menulis novel yang lantas diganjar penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikdasmen 2025. Dalam novel berlatar masyarakat sarat nilai-nilai Islami, penulis asal Garut itu mendefinisikan kembali makna kesucian, kesetiaan, keberkahan, justru melalui perspektif seekor anjing.

”…orang-orang juga mengingat Mama Aleh sebagai seorang ajengan yang nyentrik. Itu karena, ketika banyak dari para ajengan memilih untuk cenderung tidak berurusan dengan anjing, beliau malah berlaku sebaliknya. Mama Aleh malah memelihara seekor anjing...”

Baca Juga

Kopi Pangku: Dedominasi Maskulinitas dan Kepahlawanan Ibu

Pemilihan karakter seekor anjing, baik sebagai protagonis maupun narator dalam novel ini, adalah pilihan menggelitik dan berani. Bagaimanakah nasib anjing-anjing itu dalam semesta kultur ajengan, pada pertanyaan itulah pandangan dunia penulisnya –yang juga seorang santri– menarik dicermati.

Lebih jauh, di saat menghangatnya pro dan kontra pengusulan Soeharto sebagai pahlawan, terdapat sesi Fajar Merah: Remembering Widji Thukul. Memori tentang Widji Thukul dihadirkan oleh sang putra, Fajar Merah, dalam lagu-lagu yang diadaptasi dari puisi-puisi ayahnya. Demikian juga dalam sesi 100 Years of Pramoedya, Aditya Ananta Toer mengenangkan pengalamannya berikut keluarga dalam menyandang nama Toer. Ide menghadirkan dua tokoh tersebut patut diapresiasi. Audiens dapat mengetahui suasana batin maupun suara-suara yang sebelumnya mungkin sayup terdengar, langsung dari sang ”aku” –subjek yang puluhan tahun mengalami sendiri perasaan sebagai anak Thukul atau cucu Pramoedya.

Semesta

UWRF menghadirkan sastra sebagai ajaran tentang kehidupan semesta alam. Tentu saja karya sastra seperti puisi, cerpen, dan novel menjadi bagiannya. Namun, spektrumnya meluas. Ajaran tentang keselarasan manusia dan alam dapat terjelma dalam arsitektur, seperti didiskusikan dalam Reclaiming Architecture as Sacred Code dan The Living Universe: Ritual, Nature, and Art in Balinese Cosmology.

Potret hubungan antarmanusia terjelma juga dalam pemutaran karya-karya film. Misalnya, Samsara (Garin Nugroho) dengan ciri khas perpaduan tari dan sinematografi yang apik serta cerita yang sarat filosofi siklus kehidupan. Ada juga film Gayatri: The Majapahit Trilogy (Mhyajo) yang terinspirasi dari kakawin Nagarakretagama. Di sesi masterclass, Ratih Kumala, penulis novel sekaligus film seri Gadis Kretek, turut berbagi proses kreatif penulisan di ranah sastra dan sinema. Bahkan, perihal makhluk astral berbasis sastra lisan turut dipentaskan dalam The Wayang Women: Wewe Gombel, yang bermuatan isu lingkungan dan kekuatan perempuan.

Ya, UWRF tampak sebagai pertemuan beragam arus, suara, dan ekspresi artistik yang dibawa oleh atau terinspirasi dari sastra.

Namun, ada satu hal yang kiranya dapat lebih tergarap dalam UWRF mendatang: kritik sastra. Akan lengkap, misalnya, membincang antologi Stories from the Islands karya para Emerging Writers UWRF sembari membaca-dekat adakah pergeseran/perkembangan tema lokalitas, baik sudut pandang maupun cara penghadirannya dalam teks, dibandingkan karya-karya fiksi dari dasawarsa sebelumnya. Atau, sejauh mana penggunaan artificial intelligence (AI) dalam proses kreatif berpengaruh atau tidak pada cara para penulis sastra mengeksplorasi invensi atau improvisasi artistik dalam karya-karyanya. Dengan penyajian tertentu sesuai karakteristik acara, kritik sastra dapat semakin menajamkan kedalaman konten festival tahunan ini.

Baca Juga

Setelah Pidato Usai

Pada akhirnya, tema I am the Universe seakan pernyataan bahwa UWRF sedang menebalkan namanya sebagai ajang festival sastra prestisius bertaraf dunia. Dan memang, lebih dari sekadar perayaan, UWRF adalah upaya penjelajahan terhadap miniatur semesta sastra dunia dalam lima malam. (*)

Kukuh Yudha Karnanta

Dosen Bahasa dan Sastra Inggris FIB Unair; 10 Emerging Writers UWRF 2025

Most Read

1

Membatalkan Gelar

Halte
2

Setelah Pidato Usai

Halte
3

Kopi Pangku: Dedominasi Maskulinitas dan Kepahlawanan Ibu

Halte
4

Dalam Semesta Sastra: Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2025

Halte

Berita Terbaru

Kopi Pangku: Dedominasi Maskulinitas dan Kepahlawanan Ibu

Kopi Pangku: Dedominasi Maskulinitas dan Kepahlawanan Ibu

Halte•16 jam yang lalu
Setelah Pidato Usai

Setelah Pidato Usai

Halte•7 hari yang lalu

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001