Gelar pahlawan nasional untuk Soeharto mengingatkan saya pada Thomas Stamford Raffles.
Selama lebih dari 200 tahun, Raffles dianggap sebagai pahlawan di tanah jajahannya, Singapura. Patungnya berdiri di jantung kota, kedatangannya di Singapura menjadi penanda ditemukannya sebuah wilayah –mengabaikan fakta bahwa jauh sebelum kedatangan Raffles, pulau itu sudah berpenghuni dan sudah memiliki tatanan.
Raffles memimpin penjajahan di bumi Temasek. Membangun sebuah kota di bawah pemerintahannya, hingga mendapat julukan pendiri Singapura. Meski tidak secara resmi mendapat gelar ”pahlawan nasional”, nama Raffles sebagai sosok pahlawan diabadikan dalam teks sejarah, tercetak dalam buku-buku, diajarkan di ruang kelas dari generasi ke generasi. Hingga kini, nama Raffles diabadikan sebagai nama gedung, sekolah, hingga rumah sakit.
Di tengah narasi sejarah yang mengagungkan Raffles itu, Syed Hussein Alatas, seorang ilmuwan sosial, bekerja membalik sejarah dengan membongkar mitos-mitos seputar Raffles.
Dalam bukunya Thomas Stamford Raffles: Schemer or Reformer? yang terbit tahun 1971, Syed Hussein Alatas menunjukkan bahwa citra Raffles sebagai ”pembawa peradaban” hanyalah konstruksi kolonial yang bertahan karena diwariskan melalui sistem pendidikan dan wacana akademik yang tunduk pada pandangan penjajah.
Raffles, kata Alatas, bukanlah reformis seperti yang digambarkan, melainkan bagian dari mesin kolonial yang menindas. Ia berperan aktif dalam eksploitasi ekonomi, pengambilalihan tanah, dan pembentukan sistem kekuasaan yang menyingkirkan penduduk asli dari ruang sosial dan politik mereka. Ia menulis, menafsirkan, dan menilai masyarakat pribumi dengan lensa orientalis yang menganggap pribumi malas, tidak rasional, dan inferior, sementara menempatkan dirinya dan bangsanya sebagai pembawa kemajuan dan moralitas.
Alatas menelusuri bagaimana mitos Raffles dibangun: lewat tulisan-tulisannya sendiri, lewat arsip-arsip resmi kolonial yang ia kuasai, dan lewat para intelektual Eropa yang melanjutkan narasinya tanpa pernah memeriksa kebenaran di lapangan. Inilah yang disebut Alatas sebagai the myth of the colonial hero –mitos tentang pahlawan penjajah yang menghapus jejak kekerasan dan menjelma menjadi tokoh berperadaban.
Bagi Alatas, pembongkaran mitos Raffles bukan sekadar koreksi sejarah, tapi juga bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dalam bentuknya yang paling halus: kolonialisme pengetahuan. Sebab, selama narasi sejarah masih menempatkan penjajah sebagai pahlawan, kemerdekaan sejati belum pernah benar-benar terjadi.
Baca Juga
Setelah Pidato Usai
Soeharto Bukan Pahlawan
Apa yang dilakukan Raffles pada abad ke-19 di tanah jajahannya dilakukan Soeharto pada abad ke-20 di tanah airnya sendiri.
Jika Raffles menulis sejarah untuk membenarkan penjajahan, Soeharto menulis ulang sejarah untuk membenarkan kekuasaannya. Ia menyingkirkan para lawan politik, membungkam suara-suara berbeda, lalu memproduksi narasi tunggal tentang masa lalu bangsa. Sejarah pun dipangkas, diseleksi, dan disucikan agar hanya ada satu kebenaran: kebenaran versi penguasa.
Selama lebih dari tiga dasawarsa, Soeharto membangun mitos kepahlawanan atas dirinya sendiri. Ia disebut Bapak Pembangunan, penyelamat bangsa dari kekacauan, pemulih ekonomi, penjamin stabilitas. Sementara di balik mitos itu tersembunyi kekerasan, pembunuhan massal, perampasan tanah, korupsi, dan penggusuran. Jutaan orang menjadi korban, mulai peristiwa pembunuhan massal 1965, penjajahan Timor Timur, peristiwa Tanjung Priok, pembunuhan misterius awal tahun 1980-an, hingga berbagai kasus pelanggaran HAM lainnya.
Seperti mitos Raffles yang dikritik Syed Hussein Alatas, mitos Soeharto juga bertahan karena disebarkan lewat lembaga pendidikan, media, dan upacara kenegaraan. Ia menancap dalam ingatan kolektif bangsa sebagai kebenaran. Maka, ketika pada 10 November 2025 pemerintahan Prabowo memberi Soeharto gelar pahlawan nasional, sesungguhnya negara sedang meresmikan dan melanggengkan mitos itu.
Narasi Alternatif
Gelar pahlawan nasional telah resmi disematkan pada nama Soeharto. Pemerintah menutup telinga pada penolakan, tapi bukan berarti tak ada lagi yang bisa kita upayakan.
Sebagaimana Alatas membongkar mitos Raffles, publik harus terus memenuhi ruang publik dengan berbagai arsip, laporan pelanggaran HAM, dan kesaksian korban sepanjang 1965–1998. Ketika semakin banyak buzzer dikerahkan untuk mendukung gelar pahlawan nasional Soeharto, di situlah semakin dibutuhkan narasi alternatif yang berakar dari kebenaran sejarah.
Rencana Kementerian Kebudayaan untuk segera menerbitkan buku Sejarah Nasional juga merupakan cara negara untuk memproduksi mitos dan narasi tentang kepahlawanan Soeharto. Di titik ini kita pun sadar, mengharapkan negara untuk mengoreksi gelar Soeharto secara sukarela adalah kemustahilan. Koreksi gelar dan koreksi narasi sejarah adalah satu paket agenda perlawanan publik di masa ini.
Baca Juga
Primbon Politik
Secara independen, masyarakat sipil harus membentuk Komisi Evaluasi Gelar Pahlawan Nasional. Sebuah lembaga ad hoc yang terdiri atas sejarawan, ahli hukum, aktivis HAM, akademisi, dan perwakilan korban Orde Baru. Tugasnya meninjau kembali tokoh-tokoh yang telah diberi gelar, khususnya mereka yang memiliki rekam jejak kekerasan negara, pelanggaran HAM, atau korupsi struktural. Komisi ini bekerja secara transparan dan membuka ruang partisipasi publik, karena kepahlawanan adalah urusan moral bangsa, bukan keputusan elitis.
Saat ini, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tidak mengatur mekanisme pencabutan. Undang-undang ini harus diubah. Sama seperti gelar akademik yang bisa dibatalkan jika ditemukan pemalsuan, gelar kepahlawanan pun harus tunduk pada prinsip kebenaran dan keadilan.
Dengan segala skenario yang sedang dirancang negara untuk membangun narasi sejarah baru, hanya masyarakat sipil –intelektual, sastrawan, seniman, pembuat konten– yang bisa diharapkan bekerja untuk mencabut gelar itu, bukan dari lembar keputusan negara, tetapi dari kesadaran bangsa. (*)
Okky Madasari
Sastrawan dan sosiolog



