Loading...
Sabtu Legi, 15 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Halte
Home
›Halte

Primbon Politik

Editor-Halte
9 November 2025
Primbon Politik
Klik untuk perbesar
Ilustrasi Nina/Jawa Pos

Oleh: Muhidin M. Dahlan

Di hari terakhir Festival Sastra Yogyakarta, saya hanya memasuki satu-satunyaboot di ruang terbuka Taman Budaya Yogyakarta. Sraddha Sala. Di waktu surup itu –menit-menit genting dan melankoli jelang gelap tanah– saat banyak orang menyerbu rupa-rupa kuliner, saya mendaftarkan diri sebagai pasien dari apa yang mereka sebut ”klinik klenik”.

Lebih kurang 10 menit saya menerima serangkaian penjelasan bagaimana saya mesti menjalani hidup yang bersandar pada siklus waktu dalam kalender Jawa. Terutama, dari 30 nama, terindeks wuku saya apa beserta tafsirnya.

Dan, mereka bukan dukun dari Surakarta (Sala). Mereka anak-anak muda terpelajar yang menggunakan studi filologi memasuki dunia batin Jawa. Anak-anak muda yang dipimpin filolog muda Rendra Agusta ini menghidupkan naskah-naskah kuno Mataram dengan cara-cara aktual; dengan menumpangi cemas-ragu manusia terkini menapis jejak hidupnya.

Di tengah kepungan anak-anak muda kekinian yang ingin melihat penulis Dewi Lestari menyanyi di puncak acara, Sraddha hadir memberikan jeda.

Kehadiran Sraddha Sala itu sesungguhnya bukan sebuah anomali. Ia sudah tumbuh dalam kultur jurnalistik kita. Jika koran dan majalah adalah representasi jiwa zaman, ”klinik klenik” itu sudah hadir dan akrab dengan sukma pembaca pada masa yang sangat jauh. Para pemangku jurnalistik itu sadar betul media bersandar pada ruang realitas dan sekaligus waktu kronikal yang berputar dengan pola.

Tumbukan dari ruang realitas dan waktu harian/mingguan itu terpresentasikan dalam rupa-rupa nama.

Koran ini, Jawa Pos, misalnya, hadir pada edisi Minggu dengan nama ”Ramalan Bintang”. Mengapa hadir setiap mingguan? Ya, karena mengikuti pengertian wuku yang berarti sepekan atau tujuh hari. Dalam wuku itu ada weton yang diisi kalender Masehi yang mengenal angka 7 hari (Senin–Minggu) dan 5 hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon).

Secara random, saya membuka koleksi Jawa Pos Minggu dan menemukan ”Ramalan Bintang” edisi 8 Juli 2012 terbit di halaman 8. Di halaman ini, ”Ramalan Bintang” berbagi ruang dengan esai wayang durangpo yang diisi secara rutin Sujiwo Tejo dan teka-teki silang (TTS).

Baca Juga

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Sejumlah nama pesohor disebutkan di ”Ramalan Bintang” yang pada kalender terbit bertepatan dengan bintang Cancer; dari aktor Tom Hanks sampai raja podcast Wimar Witoelar.

Di edisi khusus, ”Ramalan Bintang” tak hanya tampil dalam satu kolom kecil seperti biasanya, melainkan mengokupasi satu halaman penuh dengan lima kolom. Itulah yang terjadi pada ”Edisi Khusus Millenium” yang terbit pada Sabtu Legi, 1 Januari Tahun 2000. Jawa Pos menghadirkan empat suhu peramal untuk melakukan apa yang termaktub dalam judul besarnya: ”Prediksi di Tahun 2000”. (h. 21)

Di majalah hiburan seperti Selecta, peruntungan nasib dinamakan ”Apa jg menantikan anda tiap hari?”. Pada edisi 3 Agustus 1970 atau tepat bintang Leo, Selecta tampil dengan esai utama ”Apa Kata Orang2 Desa Tempat Kelahiran Pak Harto?”. Selecta menulis, ”Harto ketcil senang main disawah, pendiam, tapi penuh humor” (h. 4, 5, 42); ”Sabtu, lakukanlah trip pendek, disana mungkin terdjadi romance baru” (h. 40).

Seperti Selecta, seperti itu juga majalah kriminal Detektip & Romantika yang kemudian pada Reformasi menjadi majalah politik kritis dengan jenama D&R. Pada no. 024 bertarikh Juli 1969, media kriminal ini menamakan dunia pernasiban manusia dengan ”Tjinta & Perkawinan Menurut Bintang”. Bagi Detektip & Romantika, cinta/kawin jika tidak diurus dengan baik dengan melibatkan sukma kosmologi bisa berakhir dengan petaka.

Detektip membuka edisinya dengan halaman dan rubrik sangar, semacam editorial, ”Diburu: Tokoh2 Gestapu PKI”. Isinya ringkas: nama, foto, dan biodata satu paragraf. Kebetulan, edisi 24 ini yang dibahas adalah pasangan Leo dan Libra. Di tengah perburuan yang intensif terhadap sisa-sisa orang kiri yang tidak tersapu dalam pembantaian massal (massacre), pasangan Leo+Libra ini oleh ”Bung Deer” disebut ”perkawinan Anda sekarang ini banjak mempunjai kemungkinan untuk berhasil dan berbahagia”.

Majalah musik legendaris seperti Aktuil pun menghadirkan dunia kebatinan ini dengan gaya yang jauh dari klenik yang mistik, seperti kecenderungan majalah Misteri. Bukalah Aktuil bersampul foto bassis God Bless Donny Fatah yang sedang memeluk gitar akustik.

Baca Juga

Sanggarbambu: Menolak Lekang oleh Waktu

Begini Aktuil edisi 10 April 1978 menarasikan si kau yang berbintang Taurus dengan bahasa anak-tongkrongan dalam ”aktuilscope”: ”Boleh bolehlah kalau memang kau punya ambisi ke arah sana. Tapi jangan seakan akan kau bersikap over hanya karena kau berhasil membonceng posisi orang lain. Mawas diri donk mau tidak mau kau kan orang luar. Pelajaran tekuni lagi kalau bisa. Kesehatan perlu banyak berolahraga. Keuangan masih tipis. Asmara cukup mendebarkan.”

Demi Waktu

Dari beberapa cuplikan contoh yang disebutkan, kita jadi mengerti betapa waktu-kini dan kecemasan pada kehidupan waktu-depan begitu mengganggu. Terutama, pada ranah yang sangat personal.

Yang diperlukan untuk mengatasi dilema itu adalah memahami hakikat waktu. Dari media harian hingga mingguan, dari media bertopik umum hingga khusus (kriminal dan musik), hakikat waktu itu diberi nama bermacam-macam; mulai dari diksi ”bintang” (Varia, Nevo, Liberty, Minggu Pagi, Jawa Pos) hingga dengan kata ”astrologi” (Djaja, Nova), ”horoskop” (Humor, Aktuil), dan ”tarot” (Media Indonesia).

Kita diingatkan bahwa dalam semesta, kita bukanlah siapa-siapa. Karena itu, sistem waktu, terutama dalam kalender Jawa dan Bali, bersandar pada benda-benda langit, pada sesuatu yang lebih tinggi, tetapi tidak pasif. Bulan, bintang, matahari, dan sistem gerak semesta ini menjadi acuan dalam pembacaan almanak, pengintegrasian vademecum, dan penempatan diri.

Maka, sikap-sikap manusia yang agresif, eksploitatif terhadap kehidupan semesta menjadi anakronisme di sini. Antroposen berkebalikan dari hayat hidup yang berusaha memahami, guyub, dan adaptif terhadap gerakan alkimia ekologi.

Kontradiksi dan dialektika inilah yang selalu kita dapatkan saat membaca paragraf-paragraf tafsir atas waktu di kartu tarot, di bintang-bintang atau horoskop yang berlogo rupa-rupa hewan itu.

Primbon Politik

Dengan mengerti pertanda dan sasmita individu di halaman-halaman yang menampilkan bagaimana ”waktu-bekerja” dalam nasib, kita juga diminta/dipaksa membaca realitas berupa utas realitas yang keras dan beringas yang tampil di halaman-halaman lain: ekonomi, politik, lingkungan, sosial, pendidikan, hukum, kriminal, dan sebagainya.

Sukarno memberi nama kesadaran dialektis itu dengan ”primbon politik”.

Baca Juga

Asal Usul Seni

Di majalah Fikiran Ra’jat nomor 25 bertanggal 16 Desember 1932, halaman 18, sebuah surat pembaca dari Bengkulu atas nama ”M.Z.K.” bertanya dalam empat poin. Pada poin ke-3, ”M.Z.K.” yang mendaku sebagai marhaenis itu menulis atau tepatnya bertanya: ”3. Apakah artinja, dan bagaimanakah maksoednja, Primbon-Politiek?”

Munculnya pertanyaan itu disebabkan sejak majalah dengan moto ”Kaoem Marhaen! Inilah madjallah kamoe! Soekarno” ini terbit pada medio 1932, terdapat rubrik tanya-jawab politik bernama ”Primbon-Politiek”.

Secara bahasa, ”primbon” dipandang sebagai antologi pengetahuan tradisional Jawa dengan fungsi kompas kehidupan. Metodenya adalah perhitungan dan ramalan.

Kata yang berasal dari ”Pari-imbun” ini didefinisikan ulang Sukarno sebagai penanggung jawab ”Primbon-Politiek” di halaman pamungkas Fikiran Ra’jat: ”Primbon jaitoe jang berisi matjam-matjam ilmoe. Bahasa Belandanja Vademecum. Primbon Politik berarti: tempat menanjakan segala hal politik jang pembatja ingin tahoe terang”.

Dari definisi Sukarno ini, kita menjadi tahu mengapa di semua media massa, baik yang terbit harian maupun mingguan bahkan bulanan, menyediakan halaman ”surat pembaca”. Halaman ”surat pembaca” itu adalah primbon sosial sekaligus politik. ”Primbon politik” adalah ruang yang disediakan untuk mencari inti dari gebyar realitas di mana ”pembatja ingin tahoe terang” bisa mencarinya di sana. Umumnya, halaman ”primbon politik” itu, dalam tata kelola isu di media, dimampatkan dengan esai editorial dan opini/artikel.

Dalam konteks ”Primbon-Politiek” Fikiran Ra’jat, Sukarno sendiri yang turun tangan menanganinya lantaran fungsinya selain sebagai dialektika antara pembaca dan realitas, juga tuntutan agar soal yang diajukan berujung pada terang.

Dari sini kita menjadi insaf bila lembar bintang/horoskop/astrologi/tarot membawa misi tertangkapnya terang-budi, pada primbon politik yang muncul adalah terang-politik.

Artinya, primbon politik adalah menyingkap, bukan menutupi. Mendialektikan urusan warga, bukan mengurusnya di bawah meja persekongkolan.

Sebab, bukan hanya muda-mudi saja yang galau dan diamuk rasa takut remuk-nasib di horison sejarah dan percaya pada –meminjam istilah Jawa Pos di hari pertama milenium– nasib dan keberuntungan. Elite politik juga percaya pada peruntungan nasib dan angka.

Baca Juga

Martin Aleida dan Sastra Berpihak

Inilah yang ditangkap para jurnalis istana ketika meliput serangkaian pengocokan ulang kabinet. Presiden Prabowo Subianto yang identik dengan peruntungan angka ”8” ini melakukan perombakan sebanyak tiga kali di tahun ini: 19 Februari, 8 September, 17 September (9-1, 8, 1+7).

”Saya menjadi Presiden ke-8 Republik Indonesia di tahun 8. Dan, hari ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia berdiri di sini pada ulang tahun ke-17. 1+7=8,” lisan Presiden Prabowo Subianto pada ulang tahun Partai Gerindra tahun ini.

Serangkaian peristiwa ”klenik” itu diturunkan Kompas dalam laporan berjudul ”Angka dan Kalender Jawa di Panggung Politik Istana” (21 September, h. 2) dan ”Prabowo dan Angka Keramat 8 Saat ’Reshuffle’”(18 September, h. 1).

Para ahli nasib dan peruntungan, mari berhitung dengan angka 8 ini. Selamat ulang tahun, Tuan Presiden. Maaf, terlambat. Salam 17 Oktober dari ”Melitsus Bintang Anda” ala majalah HumOr: ”LIBRA: Siapa suruh buka baju, yang diperiksa cuma jempol kaki Anda yang akhir-akhir ini sering semutan. Tanyakan pada tetangga sebelah kiri rumah, apa yang bikin Anda selalu jadi perhatian anak-anak kampung. Heh! Jangan melongo!”

Itu. (*)

Muhidin M. Dahlan

Dokumentator partikelir dan tukang kliping amatir di Indonesia, tinggal di Jogjakarta

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Primbon Politik

Halte
2

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte

Berita Terbaru

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte•6 hari yang lalu
Sanggarbambu: Menolak Lekang oleh Waktu

Sanggarbambu: Menolak Lekang oleh Waktu

Halte•4 November 2025
Home
›Halte
›Primbon Politik
Primbon Politik
Halte

Primbon Politik

Editor-9 November 2025
Klik untuk perbesar

Ilustrasi Nina/Jawa Pos

Bagikan artikel ini

Oleh: Muhidin M. Dahlan

Di hari terakhir Festival Sastra Yogyakarta, saya hanya memasuki satu-satunyaboot di ruang terbuka Taman Budaya Yogyakarta. Sraddha Sala. Di waktu surup itu –menit-menit genting dan melankoli jelang gelap tanah– saat banyak orang menyerbu rupa-rupa kuliner, saya mendaftarkan diri sebagai pasien dari apa yang mereka sebut ”klinik klenik”.

Lebih kurang 10 menit saya menerima serangkaian penjelasan bagaimana saya mesti menjalani hidup yang bersandar pada siklus waktu dalam kalender Jawa. Terutama, dari 30 nama, terindeks wuku saya apa beserta tafsirnya.

Dan, mereka bukan dukun dari Surakarta (Sala). Mereka anak-anak muda terpelajar yang menggunakan studi filologi memasuki dunia batin Jawa. Anak-anak muda yang dipimpin filolog muda Rendra Agusta ini menghidupkan naskah-naskah kuno Mataram dengan cara-cara aktual; dengan menumpangi cemas-ragu manusia terkini menapis jejak hidupnya.

Di tengah kepungan anak-anak muda kekinian yang ingin melihat penulis Dewi Lestari menyanyi di puncak acara, Sraddha hadir memberikan jeda.

Kehadiran Sraddha Sala itu sesungguhnya bukan sebuah anomali. Ia sudah tumbuh dalam kultur jurnalistik kita. Jika koran dan majalah adalah representasi jiwa zaman, ”klinik klenik” itu sudah hadir dan akrab dengan sukma pembaca pada masa yang sangat jauh. Para pemangku jurnalistik itu sadar betul media bersandar pada ruang realitas dan sekaligus waktu kronikal yang berputar dengan pola.

Tumbukan dari ruang realitas dan waktu harian/mingguan itu terpresentasikan dalam rupa-rupa nama.

Koran ini, Jawa Pos, misalnya, hadir pada edisi Minggu dengan nama ”Ramalan Bintang”. Mengapa hadir setiap mingguan? Ya, karena mengikuti pengertian wuku yang berarti sepekan atau tujuh hari. Dalam wuku itu ada weton yang diisi kalender Masehi yang mengenal angka 7 hari (Senin–Minggu) dan 5 hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon).

Secara random, saya membuka koleksi Jawa Pos Minggu dan menemukan ”Ramalan Bintang” edisi 8 Juli 2012 terbit di halaman 8. Di halaman ini, ”Ramalan Bintang” berbagi ruang dengan esai wayang durangpo yang diisi secara rutin Sujiwo Tejo dan teka-teki silang (TTS).

Baca Juga

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Sejumlah nama pesohor disebutkan di ”Ramalan Bintang” yang pada kalender terbit bertepatan dengan bintang Cancer; dari aktor Tom Hanks sampai raja podcast Wimar Witoelar.

Di edisi khusus, ”Ramalan Bintang” tak hanya tampil dalam satu kolom kecil seperti biasanya, melainkan mengokupasi satu halaman penuh dengan lima kolom. Itulah yang terjadi pada ”Edisi Khusus Millenium” yang terbit pada Sabtu Legi, 1 Januari Tahun 2000. Jawa Pos menghadirkan empat suhu peramal untuk melakukan apa yang termaktub dalam judul besarnya: ”Prediksi di Tahun 2000”. (h. 21)

Di majalah hiburan seperti Selecta, peruntungan nasib dinamakan ”Apa jg menantikan anda tiap hari?”. Pada edisi 3 Agustus 1970 atau tepat bintang Leo, Selecta tampil dengan esai utama ”Apa Kata Orang2 Desa Tempat Kelahiran Pak Harto?”. Selecta menulis, ”Harto ketcil senang main disawah, pendiam, tapi penuh humor” (h. 4, 5, 42); ”Sabtu, lakukanlah trip pendek, disana mungkin terdjadi romance baru” (h. 40).

Seperti Selecta, seperti itu juga majalah kriminal Detektip & Romantika yang kemudian pada Reformasi menjadi majalah politik kritis dengan jenama D&R. Pada no. 024 bertarikh Juli 1969, media kriminal ini menamakan dunia pernasiban manusia dengan ”Tjinta & Perkawinan Menurut Bintang”. Bagi Detektip & Romantika, cinta/kawin jika tidak diurus dengan baik dengan melibatkan sukma kosmologi bisa berakhir dengan petaka.

Detektip membuka edisinya dengan halaman dan rubrik sangar, semacam editorial, ”Diburu: Tokoh2 Gestapu PKI”. Isinya ringkas: nama, foto, dan biodata satu paragraf. Kebetulan, edisi 24 ini yang dibahas adalah pasangan Leo dan Libra. Di tengah perburuan yang intensif terhadap sisa-sisa orang kiri yang tidak tersapu dalam pembantaian massal (massacre), pasangan Leo+Libra ini oleh ”Bung Deer” disebut ”perkawinan Anda sekarang ini banjak mempunjai kemungkinan untuk berhasil dan berbahagia”.

Majalah musik legendaris seperti Aktuil pun menghadirkan dunia kebatinan ini dengan gaya yang jauh dari klenik yang mistik, seperti kecenderungan majalah Misteri. Bukalah Aktuil bersampul foto bassis God Bless Donny Fatah yang sedang memeluk gitar akustik.

Baca Juga

Sanggarbambu: Menolak Lekang oleh Waktu

Begini Aktuil edisi 10 April 1978 menarasikan si kau yang berbintang Taurus dengan bahasa anak-tongkrongan dalam ”aktuilscope”: ”Boleh bolehlah kalau memang kau punya ambisi ke arah sana. Tapi jangan seakan akan kau bersikap over hanya karena kau berhasil membonceng posisi orang lain. Mawas diri donk mau tidak mau kau kan orang luar. Pelajaran tekuni lagi kalau bisa. Kesehatan perlu banyak berolahraga. Keuangan masih tipis. Asmara cukup mendebarkan.”

Demi Waktu

Dari beberapa cuplikan contoh yang disebutkan, kita jadi mengerti betapa waktu-kini dan kecemasan pada kehidupan waktu-depan begitu mengganggu. Terutama, pada ranah yang sangat personal.

Yang diperlukan untuk mengatasi dilema itu adalah memahami hakikat waktu. Dari media harian hingga mingguan, dari media bertopik umum hingga khusus (kriminal dan musik), hakikat waktu itu diberi nama bermacam-macam; mulai dari diksi ”bintang” (Varia, Nevo, Liberty, Minggu Pagi, Jawa Pos) hingga dengan kata ”astrologi” (Djaja, Nova), ”horoskop” (Humor, Aktuil), dan ”tarot” (Media Indonesia).

Kita diingatkan bahwa dalam semesta, kita bukanlah siapa-siapa. Karena itu, sistem waktu, terutama dalam kalender Jawa dan Bali, bersandar pada benda-benda langit, pada sesuatu yang lebih tinggi, tetapi tidak pasif. Bulan, bintang, matahari, dan sistem gerak semesta ini menjadi acuan dalam pembacaan almanak, pengintegrasian vademecum, dan penempatan diri.

Maka, sikap-sikap manusia yang agresif, eksploitatif terhadap kehidupan semesta menjadi anakronisme di sini. Antroposen berkebalikan dari hayat hidup yang berusaha memahami, guyub, dan adaptif terhadap gerakan alkimia ekologi.

Kontradiksi dan dialektika inilah yang selalu kita dapatkan saat membaca paragraf-paragraf tafsir atas waktu di kartu tarot, di bintang-bintang atau horoskop yang berlogo rupa-rupa hewan itu.

Primbon Politik

Dengan mengerti pertanda dan sasmita individu di halaman-halaman yang menampilkan bagaimana ”waktu-bekerja” dalam nasib, kita juga diminta/dipaksa membaca realitas berupa utas realitas yang keras dan beringas yang tampil di halaman-halaman lain: ekonomi, politik, lingkungan, sosial, pendidikan, hukum, kriminal, dan sebagainya.

Sukarno memberi nama kesadaran dialektis itu dengan ”primbon politik”.

Baca Juga

Asal Usul Seni

Di majalah Fikiran Ra’jat nomor 25 bertanggal 16 Desember 1932, halaman 18, sebuah surat pembaca dari Bengkulu atas nama ”M.Z.K.” bertanya dalam empat poin. Pada poin ke-3, ”M.Z.K.” yang mendaku sebagai marhaenis itu menulis atau tepatnya bertanya: ”3. Apakah artinja, dan bagaimanakah maksoednja, Primbon-Politiek?”

Munculnya pertanyaan itu disebabkan sejak majalah dengan moto ”Kaoem Marhaen! Inilah madjallah kamoe! Soekarno” ini terbit pada medio 1932, terdapat rubrik tanya-jawab politik bernama ”Primbon-Politiek”.

Secara bahasa, ”primbon” dipandang sebagai antologi pengetahuan tradisional Jawa dengan fungsi kompas kehidupan. Metodenya adalah perhitungan dan ramalan.

Kata yang berasal dari ”Pari-imbun” ini didefinisikan ulang Sukarno sebagai penanggung jawab ”Primbon-Politiek” di halaman pamungkas Fikiran Ra’jat: ”Primbon jaitoe jang berisi matjam-matjam ilmoe. Bahasa Belandanja Vademecum. Primbon Politik berarti: tempat menanjakan segala hal politik jang pembatja ingin tahoe terang”.

Dari definisi Sukarno ini, kita menjadi tahu mengapa di semua media massa, baik yang terbit harian maupun mingguan bahkan bulanan, menyediakan halaman ”surat pembaca”. Halaman ”surat pembaca” itu adalah primbon sosial sekaligus politik. ”Primbon politik” adalah ruang yang disediakan untuk mencari inti dari gebyar realitas di mana ”pembatja ingin tahoe terang” bisa mencarinya di sana. Umumnya, halaman ”primbon politik” itu, dalam tata kelola isu di media, dimampatkan dengan esai editorial dan opini/artikel.

Dalam konteks ”Primbon-Politiek” Fikiran Ra’jat, Sukarno sendiri yang turun tangan menanganinya lantaran fungsinya selain sebagai dialektika antara pembaca dan realitas, juga tuntutan agar soal yang diajukan berujung pada terang.

Dari sini kita menjadi insaf bila lembar bintang/horoskop/astrologi/tarot membawa misi tertangkapnya terang-budi, pada primbon politik yang muncul adalah terang-politik.

Artinya, primbon politik adalah menyingkap, bukan menutupi. Mendialektikan urusan warga, bukan mengurusnya di bawah meja persekongkolan.

Sebab, bukan hanya muda-mudi saja yang galau dan diamuk rasa takut remuk-nasib di horison sejarah dan percaya pada –meminjam istilah Jawa Pos di hari pertama milenium– nasib dan keberuntungan. Elite politik juga percaya pada peruntungan nasib dan angka.

Baca Juga

Martin Aleida dan Sastra Berpihak

Inilah yang ditangkap para jurnalis istana ketika meliput serangkaian pengocokan ulang kabinet. Presiden Prabowo Subianto yang identik dengan peruntungan angka ”8” ini melakukan perombakan sebanyak tiga kali di tahun ini: 19 Februari, 8 September, 17 September (9-1, 8, 1+7).

”Saya menjadi Presiden ke-8 Republik Indonesia di tahun 8. Dan, hari ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia berdiri di sini pada ulang tahun ke-17. 1+7=8,” lisan Presiden Prabowo Subianto pada ulang tahun Partai Gerindra tahun ini.

Serangkaian peristiwa ”klenik” itu diturunkan Kompas dalam laporan berjudul ”Angka dan Kalender Jawa di Panggung Politik Istana” (21 September, h. 2) dan ”Prabowo dan Angka Keramat 8 Saat ’Reshuffle’”(18 September, h. 1).

Para ahli nasib dan peruntungan, mari berhitung dengan angka 8 ini. Selamat ulang tahun, Tuan Presiden. Maaf, terlambat. Salam 17 Oktober dari ”Melitsus Bintang Anda” ala majalah HumOr: ”LIBRA: Siapa suruh buka baju, yang diperiksa cuma jempol kaki Anda yang akhir-akhir ini sering semutan. Tanyakan pada tetangga sebelah kiri rumah, apa yang bikin Anda selalu jadi perhatian anak-anak kampung. Heh! Jangan melongo!”

Itu. (*)

Muhidin M. Dahlan

Dokumentator partikelir dan tukang kliping amatir di Indonesia, tinggal di Jogjakarta

Most Read

1

Primbon Politik

Halte
2

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte

Berita Terbaru

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte•6 hari yang lalu
Sanggarbambu: Menolak Lekang oleh Waktu

Sanggarbambu: Menolak Lekang oleh Waktu

Halte•4 November 2025

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001