”… kalau aku ikut ujian | lalu ditanya tentang pahlawan | namamu ibu | yang kusebut paling dahulu | lantaran aku tahu | engkau ibu dan aku anakmu …”
Nukilan puisi ”Ibu” karya sastrawan D. Zawawi Imron terasa tepat menggambarkan pesan film Pangku yang rilis awal November 2025. Karya debut Reza Rahardian sebagai sutradara ini begitu memesona. Film ini mengangkat latar fenomena usaha warung kopi pangku yang bertebaran di jalur pantai utara (pantura) Pulau Jawa. Secara sederhana, bisnis ini menyediakan layanan penjualan kopi (dan aneka penganan lain) dengan layanan tambahan memangku dan jasa ”plus-plus” lainnya kepada pelanggan yang mayoritas (untuk tidak mengatakan seluruhnya) adalah kaum laki-laki.
Secara stereotipe, bisnis warung kopi pangku diidentikkan dengan eksploitasi tubuh perempuan untuk menarik minat kaum adam mampir. Pangsa pasar atau konsumen utama yang disasar kedai kopi pangku adalah sopir angkutan antarkota yang melintas. Sopir yang kerap dipanjangkan menjadi ”ngaso mampir” akan berhenti sejenak untuk sekadar merehatkan badan. Secara ekonomi, bisnis ini lahir karena permintaan dan pasar (demand) yang melahirkan penawaran (supply) model bisnis yang demikian. Para sopir ini tidak hanya disuguhi kopi dan makanan, tapi juga layanan berbau seksualitas dari para perempuan.
Sebagaimana jasa layanan seksualitas, tubuh perempuan adalah objek yang dapat dibeli kaum lelaki secara transaksional. Pierre Bourdieu (2010) pernah mengatakan bahwa ada dominasi maskulinitas yang kental yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Dominasi maskulinitas dalam konteks sosial budaya telah mengakar begitu lama. Hal ini, menurut Bourdieu, terjadi karena suatu proses reproduksi yang berlangsung terus-menerus dan dianggap menjadi suatu kebenaran (doxa).
Hasil penelitian Eko Setiawan (2022) pada warung kopi pangku di Gresik (termasuk jalur pantura) menegaskan tengara bahwa ada doxa yang terus direproduksi terhadap keberlangsungkan model bisnis ini. Pola interaksi warung kopi pangku yang menggunakan simbol prostitusi terselubung menunjukkan kuasa pelanggan (lelaki) atas nama kebutuhan ekonomi keluarga yang harus dipenuhi penjual kopi pangku (perempuan).
Pada kuasa patriarkal maskulin, perempuan tak ubahnya seonggok barang produksi/jasa sebagai penyaluran syahwat kebinatangan lelaki. Pada kasus warung kopi pangku, realitas yang menyembul adalah praktik jasa seksualitas yang menyasar ceruk pasar kalangan ekonomi menengah ke bawah. Transaksi berada pada harga yang relatif murah. Kedua pihak pun biasanya mencerminkan kemampuan ekonomi yang rendah dengan layanan fasilitas seadanya. Ini berbeda dengan layanan pekerja seks komersial yang bermain di kelas atas dengan harga selangit dan fasilitas yang lebih representatif.
Sudut Penceritaan Lain
Alih-alih mengesplorasi sisi sensualitas dan nafsu patriarkal dalam konstruksi dominasi maskulinitas, film Pangku mengambil sudut penceritaan lain yang menghangatkan jiwa kemanusiaan kita. Narasi sinema berdurasi dua jam ini berporos pada sosok Sartika, penjual kopi pangku yang ”terpaksa” menjalani usaha ini demi memperjuangkan hidup diri dan anak-anaknya. Dikisahkan, Sartika yang tengah berbadan dua pergi dari kampungnya dengan menumpang truk. Dalam pikirannya, Sartika hanya tahu bahwa ia harus pergi ke kota dan mencari pekerjaan apa saja untuk persiapan persalinan anak pertamanya. Tanpa dinyana, sopir truk menurunkannya di tengah jalan di sekitar jalur pantura. Di sinilah babak baru hidupnya bermula. Sartika ditampung Bu Maya (seperti selalu, diperankan dengan epik oleh Christine Hakim), seorang nenek tua pemilik warung kopi. Selain bekerja, Sartika diajak tinggal bersama Bu Maya dan suaminya yang juga sepuh di rumah sederhananya.
Hubungan Sartika dan Maya mulanya serupa simbiosis mutualisme yang mekanistis. Sartika memerlukan pekerjaan dan Bu Maya mempekerjakannya. Secara faktual, paras cantik Sartika menjadikan warung kopi Bu Maya lebih ramai dan omzet penjualan melesat. Dalam perjalanannya, hubungan keduanya tidak lagi sekadar majikan dan pekerja, tapi laksana ibu dan anak. Terlebih setelah lahirnya anak pertama Sartika yang diberi nama Bayu Kesuma. Sartika membesarkan Bayu bersama Bu Maya dan suaminya di tengah pergulatan ekonomi nan keras masyarakat periferal kampung nelayan.
Bayu menyaksikan perjuangan ibundanya sebagai orang tua tunggal. Di malam-malam menggiriskan, ia menanamkan dalam bawah sadarnya bahwa ibunya bekerja keras menghidupinya di antara tatapan miring mayoritas publik terhadap penjual kopi pangku. Kehadiran Hadi, salah seorang pelanggan tetap, yang kesemsem dengan kepribadian Sartika, juga digambarkan sangat manusiawi. Hadi yang ditinggal istrinya bekerja di Arab Saudi menjadi sosok yang hadir tepat pada waktunya. Momen di kala Bayu memerlukan figur ayah dan Sartika yang mendambakan kasih sayang suami. Walau pada akhirnya hubungan asmara dan keluarga ini menjadi rumit, pada titik itulah tersembul pemaknaan bahwa psikologi sosial masyarakat bawah ini begitu rapuh.
Baca Juga
Setelah Pidato Usai
Realitas Apa Adanya
Film ini diikhtiarkan dekat realitas keseharian. Visualisasi gambar memotret realitas dengan apa adanya. Walau tidak bisa menghindarkan diri dari eksotika tubuh perempuan sebagai ”alat jualan” dalam konteks warung pangku, gambar yang disajikan tidak terkesan merendahkan perempuan. Dialog-dialog juga terasa minim di sepanjang film. Boleh jadi itu disengaja agar potret keseharian nan manusiawi itu yang lebih banyak bercerita. Dalam banyak adegan, lensa mendekat untuk menangkap aura kegelisahan, keresahan, dan kegamangan para pelaku dalam pusaran warung kopi pangku ini. Potret kaum marginal yang kerap berada dalam situasi dilematis tertangkap utuh.
Alur cerita juga didesain lambat walau tidak terasa membosankan. Konflik batin yang mengungkung Sartika mengajak pelibatan penonton secara intens di sepanjang cerita. Plot twist tentang Hadi yang datang, lalu tiba-tiba menghilang karena istrinya pulang kembali dari merantau, juga menampar kesadaran lain. Bahwa urusan hati, asmara, persoalan ekonomi, dan impian hidup lebih baik sejatinya begitu kompleks dan rumit pada kehidupan manusia-manusia termarginalkan ini. Jangan dulu bicara tentang dogma agama, norma sosial, kepantasan, dan seterusnya di hadapan situasi payah tentang perut yang harus terisi dan biaya sekolah anak yang menanti. Tidak ada yang mutlak hitam dan putih dalam persoalan kesadaran manusia kaum pinggiran. Ruang-ruang abu-abu itulah yang dieksplorasi kuat oleh sinema ini.
Di atas semuanya, penonton dapat menghayati bahwa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya terasa hidup. Sartika, seorang perempuan biasa dan harus bertahan hidup, adalah sosok yang bisa kita temui di mana saja. Perjuangan Sartika menghasilkan penghormatan besar di mata Bayu (dan nantinya juga sang adik, Sekar, buah cinta Sartika dan Hadi). Anak-anak yang dibesarkan dalam pandangan stereotyping masyarakat terhadap pekerjaan ibunya ini mampu tetap objektif menilai perjuangan orang tuanya. Kasih sayang penuh yang diberikan ibu menghidupkan nyala api cinta abadi di sanubari anak-anaknya. Pada akhirnya, lagu ”Ibu” karya Iwan Fals yang memungkasi film bersahaja ini mampu membasahi ruang-ruang kemanusiaan kita yang akan selalu terhubung kuat dengan kepahlawanan ibu yang dengan susah payah membesarkan kita:
Baca Juga
Membatalkan Gelar
”… ribuan kilo | jalan yang kau tempuh | lewati rintang | untuk aku anakmu | ibuku sayang | masih terus berjalan | walau tapak kaki | penuh darah penuh nanah | seperti udara | kasih yang engkau berikan | tak mampu ku membalas | ibu... ibu...”
Achdiar Redy Setiawan
Pengajar di Jurusan Akuntansi Universitas Trunojoyo Madura; pencinta sastra, seni, dan budaya



