Loading...
Jumat Kliwon, 14 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Halte
Primbon Politik

Primbon Politik

Halte•5 hari yang lalu

Update

Yang Menatap dari Cermin

Yang Menatap dari Cermin

Halte•26 Oktober 2025

Most Read

1

Primbon Politik

Halte
2

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte

Most Read

1

Primbon Politik

Halte
2

Sejarah Filsafat dan Status Quo

Halte
Primbon Politik
Ilustrasi Nina/Jawa Pos
Halte

Primbon Politik

Di hari terakhir Festival Sastra Yogyakarta, saya hanya memasuki satu-satunya boot di ruang terbuka Taman Budaya Yogyakarta. Sraddha Sala. Di waktu surup itu –menit-menit genting dan melankoli jelang gelap tanah– saat banyak orang menyerbu rupa-rupa kuliner, saya mendaftarkan diri sebagai pasien dari apa yang mereka sebut ”klinik klenik”. Lebih kurang 10 menit saya menerima serangkaian penjelasan bagaimana saya mesti menjalani hidup yang bersandar pada siklus waktu dalam kalender Jawa. Terutama, dari 30 nama, terindeks wuku saya apa beserta tafsirnya. Dan, mereka bukan dukun dari Surakarta (Sala). Mereka anak-anak muda terpelajar yang menggunakan studi filologi memasuki dunia batin Jawa. Anak-anak muda yang dipimpin filolog muda Rendra Agusta ini menghidupkan naskah-naskah kuno Mataram dengan cara-cara aktual; dengan menumpangi cemas-ragu manusia terkini menapis jejak hidupnya. Di tengah kepungan anak-anak muda kekinian yang ingin melihat penulis Dewi Lestari menyanyi di puncak acara, Sraddha hadir memberikan jeda. Kehadiran Sraddha Sala itu sesungguhnya bukan sebuah anomali. Ia sudah tumbuh dalam kultur jurnalistik kita. Jika koran dan majalah adalah representasi jiwa zaman, ”klinik klenik” itu sudah hadir dan akrab dengan sukma pembaca pada masa yang sangat jauh. Para pemangku jurnalistik itu sadar betul media bersandar pada ruang realitas dan sekaligus waktu kronikal yang berputar dengan pola. Tumbukan...

5 hari yang lalu

Update

Yang Menatap dari Cermin
Ilustrasi Nina/Jawa Pos
Halte

Yang Menatap dari Cermin

Sebuah retakan di cermin mestinya sudah cukup mengisyaratkan pertanda buruk. Namun, Lorraine Warren tak beranjak. Ia terpaku di hadapan bayangannya sendiri. Di balik kilau kaca tua itu, sesuatu menatap balik. Bukan dirinya, melainkan sesuatu yang menyerupai dia dengan seringai jahat. Bukankah sepotong adegan film The Conjuring: Last Rites itu terasa familier? Lebih-lebih pada masa kini. Tatkala dunia menuntut kesempurnaan, pantulan diri di muka cermin –atau layar gawai– terlihat menyeramkan. Sampai-sampai, ponsel dan platform digital kekinian wajib dibekali fitur filter kamera. Akan tetapi, keengganan manusia menatap dirinya sendiri boleh jadi bukan lantaran disharmoni antara tampilan fisik dan standar belaka. Orang Barat punya ungkapan populer yang acap muncul dalam lirik lagu mereka: save me from myself. Ada sesuatu dalam diri yang membuat kita ngeri, yang berasal dari sudut kelam sukma: iblis. Personifikasi iblis dalam bentuk refleksi si pelihat kerap muncul dalam budaya pop. Dalam film If Cats Disappeared from the World, misalnya, sang entitas jahat muncul sebagai kembaran gaib si tukang pos. Norman Osborn, sang vilain dalam sekuel pertama Spider-Man, sering dihantui bayangannya sendiri sebelum ia menjelma Green Goblin dan mengacaukan kota. Gambaran macam itu tentu mengingatkan kita pada pemikiran Carl Jung perihal bayang-bayang. #### Dua Wajah Manusia Dalam psikologi analitik, manusia...

26 Oktober 2025

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001