RIZKI Nur Fadhilah kerap disiksa tiap kali gagal memenuhi target. Bahkan, untuk bisa sekadar mengirim kabar ke keluarga, pemuda 18 tahun asal Kabupaten Bandung itu kudu melakukannya secara sembunyi-sembunyi dari kamar mandi.
Beberapa bulan lalu, keluarganya di Sukabumi juga menceritakan bagaimana Muhammad Bagas Saputra juga rutin diikat tambang, dicambuk, dan disetrum. Untuk alasan yang sama: gagal mencapai sasaran.
Keduanya korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kamboja. Sindikat yang menipu Rizki dan Bagus menyekap dan memaksa mereka melakukan penipuan secara daring. Yang mengerikan, ada ratusan warga Indonesia yang bernasib serupa di negeri yang beribu kota di Phnom Penh tersebut.
Oktober lalu, Kementerian Luar Negeri menyatakan ada 110 warga Indonesia yang terdata. Mayoritas diklaim sudah dipulangkan. Tapi, benarkah jumlah tersebut sudah mencakup semuanya?
Persoalan yang lebih besar lagi, kenapa ini bisa terus terjadi? Kenapa sindikat TPPO bisa demikian gampang beroperasi dan mencari mangsa?
Rizki yang seorang pesepak bola, misalnya, diiming-imingi untuk ikut seleksi sebuah klub. Keluarga tahunya dia ke Medan. Tapi, komunikasi kemudian terputus dan tahu-tahu dia sudah dipekerjakan paksa sebagai operator penipuan di Kamboja.
Sudah ada Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, tapi kenapa masih saja banyak yang menjadi korban perbudakan modern. Ini Kamboja lho, tetangga kita di Asia Tenggara. Ini Kamboja lho, bukan superpower ekonomi atau militer. Hanya sebuah noktah di peta Asia Tenggara.
Apa saja yang telah dilakukan kementerian baru tersebut, juga pemangku kepentingan lainnya? Kenapa tidak tegas saja diumumkan secara terbuka: jangan menerima tawaran pekerjaan apa pun dari Kamboja. Sembari Jakarta juga mengirim nota diplomatik keras ke Phnom Penh. Bila perlu, ada pemanggilan duta besarnya.
Sembari tentunya memperbaiki kinerja pengawasan di dalam negeri. Menindak tegas agen-agen yang terbukti terlibat dalam pengiriman ratusan pekerja yang telah menjadi korban. Begitu pula pihak-pihak yang memungkinkan sindikat bisa leluasa hilir mudik mengurus administrasi perjalanan dan melintasi perbatasan.
Tiongkok yang tersinggung hanya gara-gara pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi saja, tanpa ada warganya yang menjadi korban, langsung mengeluarkan travel warning. Dan, Negeri Matahari Terbit seketika kelimpungan.
Baca Juga
Redenominasi Rupiah
Bergerak cepat, bertindak tegas. Tak cuma gebrak-gebrak meja tiap pidato sambil berkoar, ’’Kita ini negara besaaar…’’ (ttg)



