Loading...
Sabtu Legi, 15 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Cerpen
Home
›Cerpen

Keluarga Tercinta

Editor-Cerpen
4 November 2025
Ilustrasi Budiono/Jawa Pos
Klik untuk perbesar

Ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Oleh Anton Kurnia

Panggil aku Ismail.

Saat itu aku terdesak kebutuhan hidup yang tak mau menunggu, sementara dompetku kering kerontang seperti kemarau panjang tanpa setitik pun gerimis yang datang. Aku bapak dua anak yang menganggur tanpa kerja selain berkeliaran di jalanan mengais recehan, tak punya penghasilan tetap untuk menafkahi anak bini.

Bukannya aku tak berusaha. Sebelumnya aku menjadi sopir angkot, tapi dipecat akibat menunggak setoran. Aku sudah berupaya sekuatnya mencari kerja meski tanpa hasil. Juga pernah berjualan baju bekas di pinggir jalan depan pasar. Tapi apes, daganganku dirazia petugas tibum karena dianggap mengganggu ketertiban. Padahal, apa salah rakyat kecil yang berjuang mencari penghidupan?

Pada sore yang gerah itu aku bertemu kenalan lama di depan kakus Terminal Cicaheum. Dia menawariku menjadi cucunguk. Cucunguk alias kecoak ialah sebutan bagi mata-mata yang bertugas memberi informasi kepada polisi atau aparat negara lainnya untuk menangkap buruan mereka –entah penjahat kriminal ataupun orang politik.

”Ismail, kesempatan ini tak bakal datang dua kali,” kata Kang Bahar, intel yang kerap menyamar jadi pengamen. ”Kamu mau, kan?”

Menjadi cucunguk tentu saja memalukan, bahkan menjijikkan, tetapi setidaknya itu bisa membuat anak istriku tak kelaparan. Apa boleh buat. Orang kepepet macam aku tak punya banyak pilihan. Meskipun agak ragu, akhirnya kuterima tawaran tak disangka-sangka itu.

Tersebab pekerjaan sebagai cucunguk itulah aku kemudian bertemu dengan Kapten Wahab. Sosoknya menyeramkan. Kumisnya baplang. Di pipi kirinya ada codet; bekas luka memanjang yang meninggalkan cacat seumur hidup. Kaki kirinya pincang. Dia tentara yang pernah bertugas di Timor Timur. Konon dia jago tembak yang telah membunuh banyak pemberontak.

Kapten Wahab memilihku sebagai cucunguk karena nasib menggariskan aku terlahir sebagai anak bapakku. Bagaimana bisa begitu? Sabar dulu. Biar kuceritakan pelan-pelan.

Bapakku Haji Ibrahim, bandar ikan tersohor di Pasar Cicadas. Aku anak pertama. Terlahir dari istri kedua. Ibuku bekas babu di rumah bapakku. Dia lalu dikawini bapakku yang bertahun-tahun tak kunjung punya keturunan.

Baca Juga

Berenang di Kandang Sapi

Tak lama setelah bapakku mengawini ibuku, dia mengandung janinku. Itu tentu membuat bapakku senang luar biasa, sekaligus membikin istri pertamanya, Hajah Maesaroh, masygul dan cemburu. Anehnya, tak lama setelah aku lahir Hajah Maesaroh juga hamil. Anaknya lelaki. Diberi nama Ishak Ahmad Sidik.

Sejak mula bapakku memang tidak adil terhadapku dan adik tiriku. Aku hanya diberi satu nama: Ismail. Sementara, dia diberi sekaligus tiga nama. Kenapa aku tidak diberi setidaknya dua nama? Misalnya Ismail Marzuki, atau apalah.

Waktu aku berumur tiga tahun ibuku meninggal gara-gara kanker payudara. Setahun berselang Hajah Maesaroh mati akibat serangan jantung. Aku dan Ishak jadi anak piatu.

Bapakku lalu kawin lagi dengan seorang janda beranak satu –anak perempuannya dua tahun lebih muda dariku. Dari perkawinan ini bapakku menghasilkan dua anak perempuan. Aku dan Ishak yang lebih sering dipanggil Sidik tumbuh dalam asuhan ibu tiri di rumah kami di Gang Asep Berlian yang padat di antara tiga saudara perempuan –dua sebapak, satu beda ibu-bapak.

Itulah sejarah silsilah keluarga kami yang rumit.

Tiga bulan sebelum aku lulus STM, bapakku gantung diri akibat putus asa terjerat utang yang menumpuk dan berbunga tinggi. Saat itu usahanya merosot sehingga dia terpaksa berpaling ke rentenir.

Sepeninggal bapakku, keluarga kami berantakan. Kiosnya di pasar disita untuk penebus utang. Begitu juga dengan barang-barang berharga di rumah kami. Rumah itu pun nyaris tergadai. Ibu tiriku jadi sakit-sakitan dan putri sulungnya –adikku yang tak sedarah– terpaksa menjadi bondon demi menyambung hidup. Bondon ialah sebutan untuk wanita yang menyewakan tubuhnya untuk lelaki mana pun yang sanggup membayar.

Suatu kali aku mencegatnya di depan rumah saat dia baru pulang menjajakan diri. Malam sunyi hanya ditingkahi bunyi jangkrik. Dalam temaram lampu neon kujambak rambutnya, lalu aku berkata kalem tapi tegas, ”Lilis, kamu adikku. Berhentilah jual diri. Aku yang akan cari duit.”

Dia tidak membantah. Hanya mengangguk, lalu terguguk. Dia kupeluk, lalu kubawa masuk.

Baca Juga

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Aku berhenti sekolah dan bekerja serabutan untuk menghidupi adik-adikku –apa saja, dari kuli bangunan hingga sopir bemo cabutan.

Setahun kemudian, berkat pengorbananku Ishak berhasil menamatkan SMA. Supaya bisa sekolah gratis dijamin negara, dia ikut ujian sekolah polisi. Tetapi gagal, sebab kami tak sanggup membayar uang pelicin. Mungkin karena frustrasi, dia minggat dari rumah. Entah ke mana. Terserahlah. Setidaknya berkurang satu mulut yang harus diberi makan.

Setelah dua tahun menghilang, sekonyong-konyong dia pulang. Saat itu ibu tiriku sudah tiada. Lilis pergi ke Jakarta. Mungkin jadi bondon di sana. Adikku Dewi Komariah kawin muda dan pindah ke kampung suaminya di Cibatu. Tinggal tersisa aku dan si bungsu Siti Kusmini yang masih sekolah.

Nyaris tak kukenali lagi adikku yang kini dipanggil orang Mat Sidik. Rambutnya jabrik, tubuhnya kekar, dan sorotnya matanya ganjil. Seperti mata binatang terluka yang menyiratkan kemarahan dan kenekatan. Di lengan kirinya ada rajah harimau.

Malam itu dia tak datang sendirian. Di belakangnya mengintil seorang perempuan pendiam yang tampak pemalu. Umurnya mungkin baru delapan belas. Sosoknya ramping, kulitnya terang. Rambut panjangnya diikat ekor kuda dengan karet gelang. Sepasang matanya yang bening menyimpan misteri. Aku terpikat pada mata bening itu sejak pertama kali melihatnya.

Mat Sidik memperkenalkannya sebagai Asih. Dia tidak bilang perempuan itu pacarnya atau istrinya. Tapi dia bilang Asih akan tinggal di rumah kami. Mat Sidik pulang membawa banyak uang. Malam itu kami berempat berpesta sate kambing. Sudah lama aku tak makan sate kambing Hadori kesukaan almarhum bapak kami.

Mat Sidik telah dikenal sebagai jeger –jagoan yang ditakuti. Dia kerap meminta uang keamanan kepada pemilik toko di sekitar Cibadak. Terkadang dia menjambret, menodong, atau merampok. Dia jago berkelahi dan licin menghindar dari kejaran polisi. Konon dia punya ilmu kebal. Entah belajar dari mana. Dengar-dengar dia punya jimat sakti.

Mat Sidik disegani karena selain digdaya, dia senang membagikan uang kepada orang-orang miskin. Dia mengambil dari yang kaya dan memberikan sebagian untuk yang papa. Dia maling budiman; bukan penjahat sembarangan. Di dunia hitam, dia dijuluki si Bajing Hideung.

Baca Juga

Emas Simpang

Hanya sebentar dia pulang. Pada malam ketiga, dia pergi. Dia sempat berpesan, ”Kalau aku tak kembali, ambillah Asih sebagai istrimu. Dia perempuan baik-baik.”

Ternyata Asih sedang hamil muda. Aku tak berani bertanya siapa bapaknya. Tapi aku makin hanyut dalam bening matanya.

Tiga hari kemudian, kudengar Mat Sidik ditangkap polisi saat mabuk-mabukan di Saritem. Seminggu berselang, aku melamar Asih. Dia tidak menjawab, hanya diam dan menunduk. Esoknya kami menikah di hadapan Pak Lebe.

Delapan bulan setelah menjadi istriku, Asih melahirkan bayi lelaki. Kunamai dia Jango. Seperti nama jagoan di film koboi yang pernah kutonton bersama Asih di bioskop misbar depan pasar. Lengkapnya Jango Ismail. Setidaknya dia punya dua nama. Tidak cuma satu sepertiku. Tapi orang-orang memanggil dia Ujang.

Waktu Jango yang sering dipanggil Ujang menjelang genap setahun, Mat Sidik tiba-tiba muncul di tengah malam. Dia tampak jauh lebih tua. Rajah di tubuhnya bertambah. Kini ada gambar hati yang berdarah. Dia tak banyak bicara. Diciumnya Jango dengan gemas. Asih menangis tersedu-sedu. Aku hanya diam membisu.

Hanya semalam dia mampir. Menjelang pagi dia lenyap, meninggalkan setumpuk uang dan kalung emas untuk Asih. Tiga minggu kemudian, pagi-pagi kulihat Asih muntah-muntah. Rupanya dia hamil lagi.

Nama Mat Sidik kian tersohor sebagai penjahat yang ditakuti. Konon dia merampok sebuah toko emas besar di Kosambi. Ada kabar dia menembak polisi. Tapi dia bagai belut yang susah ditangkap.

Itu sebabnya Kapten Wahab memilihku menjadi cucunguk. Dia pikir, sebagai kakaknya, aku bisa membantunya menangkap Mat Sidik.

Mat Sidik memang adikku –walau beda ibu. Tapi terkadang kita harus memilih. Hidup anak biniku wajib diperjuangkan. Lagi pula dia bukannya tak punya salah kepadaku. Sejak kecil bapakku lebih sayang kepadanya. Membuatku kerap sakit hati. Yang lebih sialan, aku tahu sesungguhnya Asih mencintai Mat Sidik. Aku pun tahu kedua anakku bukan benihku sendiri. Tapi aku tak sanggup kehilangan mata bening itu.

Di koran-koran diberitakan banyak penjahat bertato ditemukan tewas dalam karung dengan luka tembak. Tidak jelas siapa yang membunuh. Tetapi desas-desus mengatakan yang melakukannya aparat khusus. Salah satunya pasukan siluman yang dipimpin Kapten Wahab.

Baca Juga

”Mata” yang Melihat Tidak Selalu Sama dengan ”Suara” yang Berbicara

Mat Sidik incaran mereka yang sudah lama dibidik. Bagi Kapten Wahab, perburuan Mat Sidik juga soal dendam pribadi. Dialah yang telah membuat kakinya pincang.

Sebulan setelah bergerilya sebagai cucunguk, titik terang kutemukan. Dari informasi yang berhasil kukumpulkan, Mat Sidik yang telah berbulan-bulan menghilang bagai hantu ternyata bersembunyi di rumah seorang janda di lorong kumuh di tepi sungai kawasan Maleer.

”Kamu yakin?” tanya Kapten Wahab malam itu saat aku melapor di sebuah warung remang-remang depan Stasiun Kiaracondong. Matanya melotot sangar.

”Siap, Dan. Yakin pisan,” sahutku gemetar.

”Awas kalau informasi kamu salah,” desisnya mengancam. Aku hanya terdiam.

Esoknya kudengar kabar penyergapan mereka gagal. Mat Sidik memang bersembunyi di rumah itu. Tapi dia lolos. Dia bahkan membuat Kapten Wahab kehilangan mata kiri akibat sabetan belati. Dalam hujan peluru, Mat Sidik nekat terjun ke sungai.

Larut malam itu aku duduk merokok di teras rumah sambil menatap bulan. Di dalam kamar, Asih terlelap mengeloni kedua bocah. Siti Kusmini sudah lama tak tinggal dengan kami. Dia ikut Lilis merantau ke Jakarta.

Sudah beberapa minggu kami cukup makan dari upahku menjadi cucunguk. Betapa nikmat mengembuskan asap tembakau saat perut kenyang. Bulan yang bopeng jadi kelihatan indah. Apakah di bulan ada orang?

Namun, kenikmatan sederhana itu mendadak dikejutkan gerakan kilat di sampingku. Sebuah lengan bertato memiting leherku. Kudengar suara yang kukenal berbisik, ”Cucunguk harus mati!”

Sesuatu yang tajam kurasakan menggorok leherku. Sungguh perih. Napasku sesak. Sebelum semuanya menjadi gelap gulita, sempat kulihat bulan yang telanjang seperti tersenyum mengejek. (*)

Anton Kurnia

Menulis cerpen, novel, esai, dan travelog. Dia pemenang Piala H.B. Jassin 2023 untuk esai terbaik. Buku cerpennya, Nostalgia: Kisah-Kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta, menjadi salah satu buku sastra pilihan Tempo 2023. Cerpen-cerpennya telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Arab dan Spanyol di Mesir dan Kolombia.

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen
2

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen

Berita Terbaru

Berenang di Kandang Sapi

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen•6 jam yang lalu
Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen•6 hari yang lalu
Home
›Cerpen
›Keluarga Tercinta
Ilustrasi Budiono/Jawa Pos
Cerpen

Keluarga Tercinta

Editor-4 November 2025
Klik untuk perbesar

Ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Bagikan artikel ini

Oleh Anton Kurnia

Panggil aku Ismail.

Saat itu aku terdesak kebutuhan hidup yang tak mau menunggu, sementara dompetku kering kerontang seperti kemarau panjang tanpa setitik pun gerimis yang datang. Aku bapak dua anak yang menganggur tanpa kerja selain berkeliaran di jalanan mengais recehan, tak punya penghasilan tetap untuk menafkahi anak bini.

Bukannya aku tak berusaha. Sebelumnya aku menjadi sopir angkot, tapi dipecat akibat menunggak setoran. Aku sudah berupaya sekuatnya mencari kerja meski tanpa hasil. Juga pernah berjualan baju bekas di pinggir jalan depan pasar. Tapi apes, daganganku dirazia petugas tibum karena dianggap mengganggu ketertiban. Padahal, apa salah rakyat kecil yang berjuang mencari penghidupan?

Pada sore yang gerah itu aku bertemu kenalan lama di depan kakus Terminal Cicaheum. Dia menawariku menjadi cucunguk. Cucunguk alias kecoak ialah sebutan bagi mata-mata yang bertugas memberi informasi kepada polisi atau aparat negara lainnya untuk menangkap buruan mereka –entah penjahat kriminal ataupun orang politik.

”Ismail, kesempatan ini tak bakal datang dua kali,” kata Kang Bahar, intel yang kerap menyamar jadi pengamen. ”Kamu mau, kan?”

Menjadi cucunguk tentu saja memalukan, bahkan menjijikkan, tetapi setidaknya itu bisa membuat anak istriku tak kelaparan. Apa boleh buat. Orang kepepet macam aku tak punya banyak pilihan. Meskipun agak ragu, akhirnya kuterima tawaran tak disangka-sangka itu.

Tersebab pekerjaan sebagai cucunguk itulah aku kemudian bertemu dengan Kapten Wahab. Sosoknya menyeramkan. Kumisnya baplang. Di pipi kirinya ada codet; bekas luka memanjang yang meninggalkan cacat seumur hidup. Kaki kirinya pincang. Dia tentara yang pernah bertugas di Timor Timur. Konon dia jago tembak yang telah membunuh banyak pemberontak.

Kapten Wahab memilihku sebagai cucunguk karena nasib menggariskan aku terlahir sebagai anak bapakku. Bagaimana bisa begitu? Sabar dulu. Biar kuceritakan pelan-pelan.

Bapakku Haji Ibrahim, bandar ikan tersohor di Pasar Cicadas. Aku anak pertama. Terlahir dari istri kedua. Ibuku bekas babu di rumah bapakku. Dia lalu dikawini bapakku yang bertahun-tahun tak kunjung punya keturunan.

Baca Juga

Berenang di Kandang Sapi

Tak lama setelah bapakku mengawini ibuku, dia mengandung janinku. Itu tentu membuat bapakku senang luar biasa, sekaligus membikin istri pertamanya, Hajah Maesaroh, masygul dan cemburu. Anehnya, tak lama setelah aku lahir Hajah Maesaroh juga hamil. Anaknya lelaki. Diberi nama Ishak Ahmad Sidik.

Sejak mula bapakku memang tidak adil terhadapku dan adik tiriku. Aku hanya diberi satu nama: Ismail. Sementara, dia diberi sekaligus tiga nama. Kenapa aku tidak diberi setidaknya dua nama? Misalnya Ismail Marzuki, atau apalah.

Waktu aku berumur tiga tahun ibuku meninggal gara-gara kanker payudara. Setahun berselang Hajah Maesaroh mati akibat serangan jantung. Aku dan Ishak jadi anak piatu.

Bapakku lalu kawin lagi dengan seorang janda beranak satu –anak perempuannya dua tahun lebih muda dariku. Dari perkawinan ini bapakku menghasilkan dua anak perempuan. Aku dan Ishak yang lebih sering dipanggil Sidik tumbuh dalam asuhan ibu tiri di rumah kami di Gang Asep Berlian yang padat di antara tiga saudara perempuan –dua sebapak, satu beda ibu-bapak.

Itulah sejarah silsilah keluarga kami yang rumit.

Tiga bulan sebelum aku lulus STM, bapakku gantung diri akibat putus asa terjerat utang yang menumpuk dan berbunga tinggi. Saat itu usahanya merosot sehingga dia terpaksa berpaling ke rentenir.

Sepeninggal bapakku, keluarga kami berantakan. Kiosnya di pasar disita untuk penebus utang. Begitu juga dengan barang-barang berharga di rumah kami. Rumah itu pun nyaris tergadai. Ibu tiriku jadi sakit-sakitan dan putri sulungnya –adikku yang tak sedarah– terpaksa menjadi bondon demi menyambung hidup. Bondon ialah sebutan untuk wanita yang menyewakan tubuhnya untuk lelaki mana pun yang sanggup membayar.

Suatu kali aku mencegatnya di depan rumah saat dia baru pulang menjajakan diri. Malam sunyi hanya ditingkahi bunyi jangkrik. Dalam temaram lampu neon kujambak rambutnya, lalu aku berkata kalem tapi tegas, ”Lilis, kamu adikku. Berhentilah jual diri. Aku yang akan cari duit.”

Dia tidak membantah. Hanya mengangguk, lalu terguguk. Dia kupeluk, lalu kubawa masuk.

Baca Juga

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Aku berhenti sekolah dan bekerja serabutan untuk menghidupi adik-adikku –apa saja, dari kuli bangunan hingga sopir bemo cabutan.

Setahun kemudian, berkat pengorbananku Ishak berhasil menamatkan SMA. Supaya bisa sekolah gratis dijamin negara, dia ikut ujian sekolah polisi. Tetapi gagal, sebab kami tak sanggup membayar uang pelicin. Mungkin karena frustrasi, dia minggat dari rumah. Entah ke mana. Terserahlah. Setidaknya berkurang satu mulut yang harus diberi makan.

Setelah dua tahun menghilang, sekonyong-konyong dia pulang. Saat itu ibu tiriku sudah tiada. Lilis pergi ke Jakarta. Mungkin jadi bondon di sana. Adikku Dewi Komariah kawin muda dan pindah ke kampung suaminya di Cibatu. Tinggal tersisa aku dan si bungsu Siti Kusmini yang masih sekolah.

Nyaris tak kukenali lagi adikku yang kini dipanggil orang Mat Sidik. Rambutnya jabrik, tubuhnya kekar, dan sorotnya matanya ganjil. Seperti mata binatang terluka yang menyiratkan kemarahan dan kenekatan. Di lengan kirinya ada rajah harimau.

Malam itu dia tak datang sendirian. Di belakangnya mengintil seorang perempuan pendiam yang tampak pemalu. Umurnya mungkin baru delapan belas. Sosoknya ramping, kulitnya terang. Rambut panjangnya diikat ekor kuda dengan karet gelang. Sepasang matanya yang bening menyimpan misteri. Aku terpikat pada mata bening itu sejak pertama kali melihatnya.

Mat Sidik memperkenalkannya sebagai Asih. Dia tidak bilang perempuan itu pacarnya atau istrinya. Tapi dia bilang Asih akan tinggal di rumah kami. Mat Sidik pulang membawa banyak uang. Malam itu kami berempat berpesta sate kambing. Sudah lama aku tak makan sate kambing Hadori kesukaan almarhum bapak kami.

Mat Sidik telah dikenal sebagai jeger –jagoan yang ditakuti. Dia kerap meminta uang keamanan kepada pemilik toko di sekitar Cibadak. Terkadang dia menjambret, menodong, atau merampok. Dia jago berkelahi dan licin menghindar dari kejaran polisi. Konon dia punya ilmu kebal. Entah belajar dari mana. Dengar-dengar dia punya jimat sakti.

Mat Sidik disegani karena selain digdaya, dia senang membagikan uang kepada orang-orang miskin. Dia mengambil dari yang kaya dan memberikan sebagian untuk yang papa. Dia maling budiman; bukan penjahat sembarangan. Di dunia hitam, dia dijuluki si Bajing Hideung.

Baca Juga

Emas Simpang

Hanya sebentar dia pulang. Pada malam ketiga, dia pergi. Dia sempat berpesan, ”Kalau aku tak kembali, ambillah Asih sebagai istrimu. Dia perempuan baik-baik.”

Ternyata Asih sedang hamil muda. Aku tak berani bertanya siapa bapaknya. Tapi aku makin hanyut dalam bening matanya.

Tiga hari kemudian, kudengar Mat Sidik ditangkap polisi saat mabuk-mabukan di Saritem. Seminggu berselang, aku melamar Asih. Dia tidak menjawab, hanya diam dan menunduk. Esoknya kami menikah di hadapan Pak Lebe.

Delapan bulan setelah menjadi istriku, Asih melahirkan bayi lelaki. Kunamai dia Jango. Seperti nama jagoan di film koboi yang pernah kutonton bersama Asih di bioskop misbar depan pasar. Lengkapnya Jango Ismail. Setidaknya dia punya dua nama. Tidak cuma satu sepertiku. Tapi orang-orang memanggil dia Ujang.

Waktu Jango yang sering dipanggil Ujang menjelang genap setahun, Mat Sidik tiba-tiba muncul di tengah malam. Dia tampak jauh lebih tua. Rajah di tubuhnya bertambah. Kini ada gambar hati yang berdarah. Dia tak banyak bicara. Diciumnya Jango dengan gemas. Asih menangis tersedu-sedu. Aku hanya diam membisu.

Hanya semalam dia mampir. Menjelang pagi dia lenyap, meninggalkan setumpuk uang dan kalung emas untuk Asih. Tiga minggu kemudian, pagi-pagi kulihat Asih muntah-muntah. Rupanya dia hamil lagi.

Nama Mat Sidik kian tersohor sebagai penjahat yang ditakuti. Konon dia merampok sebuah toko emas besar di Kosambi. Ada kabar dia menembak polisi. Tapi dia bagai belut yang susah ditangkap.

Itu sebabnya Kapten Wahab memilihku menjadi cucunguk. Dia pikir, sebagai kakaknya, aku bisa membantunya menangkap Mat Sidik.

Mat Sidik memang adikku –walau beda ibu. Tapi terkadang kita harus memilih. Hidup anak biniku wajib diperjuangkan. Lagi pula dia bukannya tak punya salah kepadaku. Sejak kecil bapakku lebih sayang kepadanya. Membuatku kerap sakit hati. Yang lebih sialan, aku tahu sesungguhnya Asih mencintai Mat Sidik. Aku pun tahu kedua anakku bukan benihku sendiri. Tapi aku tak sanggup kehilangan mata bening itu.

Di koran-koran diberitakan banyak penjahat bertato ditemukan tewas dalam karung dengan luka tembak. Tidak jelas siapa yang membunuh. Tetapi desas-desus mengatakan yang melakukannya aparat khusus. Salah satunya pasukan siluman yang dipimpin Kapten Wahab.

Baca Juga

”Mata” yang Melihat Tidak Selalu Sama dengan ”Suara” yang Berbicara

Mat Sidik incaran mereka yang sudah lama dibidik. Bagi Kapten Wahab, perburuan Mat Sidik juga soal dendam pribadi. Dialah yang telah membuat kakinya pincang.

Sebulan setelah bergerilya sebagai cucunguk, titik terang kutemukan. Dari informasi yang berhasil kukumpulkan, Mat Sidik yang telah berbulan-bulan menghilang bagai hantu ternyata bersembunyi di rumah seorang janda di lorong kumuh di tepi sungai kawasan Maleer.

”Kamu yakin?” tanya Kapten Wahab malam itu saat aku melapor di sebuah warung remang-remang depan Stasiun Kiaracondong. Matanya melotot sangar.

”Siap, Dan. Yakin pisan,” sahutku gemetar.

”Awas kalau informasi kamu salah,” desisnya mengancam. Aku hanya terdiam.

Esoknya kudengar kabar penyergapan mereka gagal. Mat Sidik memang bersembunyi di rumah itu. Tapi dia lolos. Dia bahkan membuat Kapten Wahab kehilangan mata kiri akibat sabetan belati. Dalam hujan peluru, Mat Sidik nekat terjun ke sungai.

Larut malam itu aku duduk merokok di teras rumah sambil menatap bulan. Di dalam kamar, Asih terlelap mengeloni kedua bocah. Siti Kusmini sudah lama tak tinggal dengan kami. Dia ikut Lilis merantau ke Jakarta.

Sudah beberapa minggu kami cukup makan dari upahku menjadi cucunguk. Betapa nikmat mengembuskan asap tembakau saat perut kenyang. Bulan yang bopeng jadi kelihatan indah. Apakah di bulan ada orang?

Namun, kenikmatan sederhana itu mendadak dikejutkan gerakan kilat di sampingku. Sebuah lengan bertato memiting leherku. Kudengar suara yang kukenal berbisik, ”Cucunguk harus mati!”

Sesuatu yang tajam kurasakan menggorok leherku. Sungguh perih. Napasku sesak. Sebelum semuanya menjadi gelap gulita, sempat kulihat bulan yang telanjang seperti tersenyum mengejek. (*)

Anton Kurnia

Menulis cerpen, novel, esai, dan travelog. Dia pemenang Piala H.B. Jassin 2023 untuk esai terbaik. Buku cerpennya, Nostalgia: Kisah-Kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta, menjadi salah satu buku sastra pilihan Tempo 2023. Cerpen-cerpennya telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Arab dan Spanyol di Mesir dan Kolombia.

Most Read

1

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen
2

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen

Berita Terbaru

Berenang di Kandang Sapi

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen•6 jam yang lalu
Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen•6 hari yang lalu

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001