Loading...
Sabtu Legi, 15 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Cerpen
Home
›Cerpen

Emas Simpang

Editor-Cerpen
26 Oktober 2025
Emas Simpang
Klik untuk perbesar
Ilustrasi BUDIONO/Jawa Pos

Oleh Dukut Imam Widodo

Hari sudah larut malam ketika pulang dari kuliah, Kunthi melihat sesosok pria yang tengah berdiri di atas pagar Jembatan Tower yang membentang di atas Sungai Thames, London.

Kunthi segera menghentikan mobilnya dan menghampiri lelaki itu. Suasana di sekitar jembatan itu sepi, tak ada satu pun mobil yang lewat. Angin malam berembus dingin. Kunthi merapatkan jaketnya.

”Tuan mau bunuh diri? Silakan, saya tunggu,” kata Kunthi acuh tak acuh.

LELAKI itu menengok ke arahnya. Ia seorang pria tua. Dari pancaran sinar lampu jembatan tampak kerut-merut di wajahnya. Ia kelihatan begitu menderita dan putus asa. Dipandanginya Kunthi dengan sorot mata memelas.

”Kenapa ragu-ragu?! Loncat saja ke Sungai Thames, Tuan mati, habis perkara!” Orang tua itu terkesima mendengar ucapan Kunthi.

”Atau Tuan takut menderita ketika tenggelam?!”

Kali ini pria itu memandang Kunthi cukup lama.

”Daripada berani mati secara pengecut, lebih baik berani hidup secara kesatria.”

Kunthi mengulurkan tangannya dan lelaki itu pun menyambut uluran tangan itu, lantas turun dari pagar jembatan. Sesaat kemudian Kunthi membimbingnya masuk ke dalam mobil.

”Terima kasih, ucapanmu tadi telah membuatku tersadar…”

”Saya sekadar mengingatkan saja. Selanjutnya Tuanlah yang mengambil keputusan,” Kunthi merendah.

Suasana mencair begitu saja. Keduanya seakan telah melupakan peristiwa dramatis yang baru saja terjadi.

”Sebaiknya Tuan saya antarkan pulang,” kata Kunthi dan lelaki tua itu pun menurut. Ia menyebutkan sebuah alamat, yang kira-kira setengah jam perjalanan dari jembatan ini. Kunthi tidak keberatan, apalagi satu arah dengan apartemen tempat tinggalnya.

”Siapa namamu gadis cantik?” tanya lelaki tua itu setelah beberapa saat duduk di sampingnya.

”Kunthi.”

”Kau berasal dari mana?”

”Indonesia.”

”Tepatnya dari kota mana?”

”Surabaya.”

”Nama saya Smith, saya veteran tentara sekutu dalam Perang Dunia II. Saya dulu juga pernah berperang di Surabaya.”

Seketika Kunthi tertarik mendengar pengakuannya.

”Pasukan sekutu mendapat mandat untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Namun rakyat Surabaya terlebih dulu merampas persenjataan itu. Sebagai pasukan sekutu yang telah berhasil mengalahkan tentara Jepang, tentu saja kami tidak sudi untuk tunduk pada rakyat Surabaya. Apalagi komandan kami Brigjen Mallaby tewas terbunuh. Maka terjadilah pertempuran antara kami dengan rakyat Surabaya.”

Baca Juga

Berenang di Kandang Sapi

”Ayah saya juga bertempur melawan kalian. Kala itu dia masih sekolah dan usianya baru menginjak 17 tahun.”

”Dalam pertempuran di Darmo Boulevard, aku mengalami peristiwa yang tak akan pernah kulupakan. Waktu itu usiaku juga baru 18 tahun. Tempat pertahanan kami di depan Rumah Sakit Darmo dikepung oleh Tentara Pelajar. Pemimpin mereka seorang pemuda yang fasih berbahasa Inggris. Ketika mengepung tempat pertahanan kami, berkali-kali dia memerintahkan agar kami menyerah! Teriakannya kami balas pula dengan teriakan bahwa kami tidak sudi menyerah pada gerombolan ekstremis!”

”Kami Tentara Pelajar dan bukan gerombolan pengacau liar!” kata Smith menirukan ucapannya.

”Sekali lagi saya peringatkan, menyerahlah!” Smith masih menirukan ucapan pemuda itu.

”Dan benar saja, sesaat kemudian tempat pertahanan kami dihujani tembakan mortir dan mitraliur. Kami pun membalas tembakan itu, namun tidak sampai 15 menit kemudian seluruh anggota pasukan kami tewas.”

”Nyatanya Tuan masih hidup?” sela Kunthi.

”Begini, aku pura-pura mati, lagi pula tubuhku tertindih mayat teman-temanku.”

”Karena itu Tuan dikira juga sudah mati?”

”Tidak juga. Pemuda ganteng yang memimpin penyerbuan itu memeriksa satu per satu mayat pasukan kami dengan cara menusukkan bayonetnya ke tubuh mayat-mayat itu. Tiba giliranku, ia mengurungkan niatnya untuk menusuk tubuhku karena dia tahu bahwa aku masih hidup.”

”Hay Smith, I am so sorry if we killed all of your friend, kata pemuda itu sopan.”

”Bagaimana dia tahu nama Tuan?” tanya Kunthi.

”Bukankah di baju seragamku tertulis namaku?”

Kunthi tersenyum masam mendengar jawaban itu.

”Aku bertanya padanya, mengapa dia tidak membunuhku? Dia menjawab bahwa itu bukan wataknya, menghabisi nyawa musuhnya yang sudah tidak berdaya. Aku begitu terharu mendengarkan jawaban itu.” Lelaki tua itu berhenti sesaat sebelum melanjutkan lagi kisahnya.

”Pemuda itu mengatakan bahwa anak buahnya akan mengawalku hingga ujung Jalan Tunjungan, sebab di jalan itu sudah ada pertahanan pasukan sekutu. Aku pun mengucapkan terima kasih padanya. Namun sebelum pergi, aku bertanya padanya: What’s your name? Dia menjawab: Widodo, but call me Dody.”

Baca Juga

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Mendadak Kunthi mengerem mobilnya. Smith terpekik kaget.

”What’s wrong?!” tanyanya pada Kunthi.

”Pemuda yang kau ceritakan itu ayahku!” kata Kunthi. Bibirnya mengulas senyum dan matanya berkaca-kaca.

”Ayahku pernah bercerita bahwa dalam penyerbuan ke pertahanan sekutu yang ada di depan Rumah Sakit Darmo, ia telah membebaskan seorang serdadu Inggris.”

Kini Tuan Smith yang termangu-mangu. Kunthi segera menepikan mobilnya.

”Kau yakin dia ayahmu?” tanya Smith. Tanpa ragu Kunthi mengangguk.

”Bagaimana aku tidak yakin. Tuan dan juga ayahku menceritakan hal yang sama tentang penyerbuan di depan Rumah Sakit Darmo. Apalagi Tuan juga telah menyebut nama ayahku Widodo dengan nama panggilan Dody!”

”Kunthi, aku ingin memelukmu,” kata Smith. Kunthi menatapnya penuh arti. Terakhir ia dipeluk ayahnya setahun yang lalu ketika pulang ke Surabaya.

”Peluklah.”

Tuan Smith memeluk Kunthi serta mengecup keningnya. Sejurus kemudian Kunthi menjalankan mobilnya kembali menembus kegelapan malam.

”Malam ini kita telah dipertemukan oleh Tuhan,” ujar Smith memecah keheningan di antara mereka berdua.

”Tuan percaya adanya Tuhan?”

”Seumur hidup aku tidak pernah pergi ke gereja. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya berdoa. Namun sejak saat ini rasanya aku harus percaya bahwa Tuhan itu memang ada.” Ucapan Smith itu terdengar begitu tulus.

”Sebenarnya masih ada satu cerita lagi yang ingin kusampaikan padamu. Namun sebelumnya kau harus bersumpah untuk tidak menceritakannya pada orang lain,” kata Tuan Smith. Kunthi pun langsung menukas:

”Mengapa harus demikian?”

”Sebab cerita yang akan kusampaikan ini benar-benar sangat rahasia, dan hanya kau saja yang kuberi tahu.”

Kunthi hanya diam saja.

”Widodo, ayahmu, telah menyelamatkan nyawaku. Dan tadi, kau juga telah menyelamatkan nyawaku. Jika tidak ada kau, barangkali tubuhku sudah mengapung di Sungai Thames.”

”Aaah, sudahlah Sir. Sekarang ceritakan saja kisahmu itu, dan aku tidak akan membocorkan kisahmu itu pada siapa pun. I swear!” kata Kunthi bersungguh-sungguh.

Orang tua itu menghela napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk menuturkan kisahnya.

”Ada satu lagi tugas yang harus dilaksanakan oleh pasukanku, namun tugas ini tergolong sangat…sangat rahasia.” Kunthi sempat menoleh, namun sejurus kemudian ia memusatkan perhatiannya pada jalanan sepi yang ada di hadapannya.

Baca Juga

Keluarga Tercinta

”Kami harus bisa mengambil Emas Simpang dan membawanya pulang ke Inggris.”

”Apa itu Emas Simpang?” Kunthi memang baru kali ini mendengar nama itu.

”Kau orang Surabaya, bagaimana mungkin tidak tahu tentang Emas Simpang,” sahut Smith keheranan.

”Saya memang tidak tahu.”

Smith ragu-ragu, namun sejurus kemudian ia pun mulai bertutur.

”Emas Simpang itu semula berupa batangan-batangan emas seberat hampir dua ton. Pemiliknya adalah Raja Jawa yang kemudian mempersembahkan kepada Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles sebagai wakil Inggris ketika menguasai negerimu. Kemudian emas tersebut dilebur, dijadikan patung lambang Kota Surabaya berupa ikan hiu dan buaya. Kami merasa bahwa Emas Simpang itu adalah milik kami karena dulu pernah dimiliki Raffles.”

Setelah agak lama terdiam, Smith melanjutkan ceritanya lagi.

”Ketika pertempuran masih seru-serunya, diam-diam aku dan pasukanku meninggalkan Surabaya sambil membawa Emas Simpang ke pelabuhan dan kami naikkan ke dalam kapal perang.”

Smith menghentikan ceritanya sejenak, lalu katanya pula:

”Kami kemudian kembali ke Inggris. Namun mendekati perairan dekat negeri kami, tiba-tiba kapal yang kami tumpangi menabrak ranjau Jerman. Kapal tenggelam dan seluruh pasukan tewas, hanya akulah satu-satunya yang selamat. Ketika keadaan sudah kembali normal, aku berhasil mengangkat kembali harta karun itu dan membawanya ke Swiss. Sampai sekarang patung Emas Simpang itu masih tersimpan di Schweizerissche Bank, Swiss. Tinggal akulah satu-satunya tentara sekutu yang mengetahui keberadaan Emas Simpang.”

”Tuan Smith, Anda tidak sedang mabuk kan?”

”Kau pikir aku mengigau?! Di dalam tas kecilku ini kusimpan seluruh dokumen harta karun itu!” Rupanya Smith tersinggung dengan pertanyaan Kunthi.

”Hingga kini aku seorang miliarder. Dari penyimpanan Emas Simpang itu, tiap bulan aku menerima royalti yang tak terkirakan jumlahnya.”

Kunthi tak berkomentar. Ia menunggu kelanjutan cerita Smith.

”Akan tetapi, sesungguhnya hidupku merana. Satu per satu anak-anakku dan juga cucu-cucuku meninggal dengan cara menyedihkan. Dan yang terakhir adalah istriku. Ia bunuh diri. Emas Simpang itu telah menimpakan kutukan bagiku dan keluargaku.

Baca Juga

”Mata” yang Melihat Tidak Selalu Sama dengan ”Suara” yang Berbicara

Aku ingin mengembalikan Emas Simpang ini ke Surabaya karena aku telah mencurinya dari kota itu. Sekarang aku hanya ingin hidup tenteram dan damai saja menjelang akhir hayatku. Apalagi aku sekarang hidup sebatang kara.”

Kunthi tidak menanggapi.

”Oleh karena itu aku minta agar kau mau menolongku. Terimalah Emas Simpang itu. Terserah kau, apakah patung ikan hiu dan buaya itu akan kau bawa kembali ke Surabaya? Namun hal itu penuh dengan risiko. Atau kau biarkan saja Emas Simpang ini tetap berada di Schweizerissche Bank?”

Smith menatap Kunthi, namun gadis itu masih acuh tak acuh.

”Dokumen harta karun ini akan kuserahkan padamu. Tentang tata cara pengambilan royaltinya sangat mudah. Kau tinggal menyebut kata kuncinya Emas Simpang, dan sebutkan nomor identitasnya (Tuan Smith menyebutkan angkanya: 101119…sekian…sekian).”

Kunthi mengangguk.

”Sekarang turunkan aku di belokan kedua setelah perempatan itu.”

Lagi-lagi Kunthi mengangguk.

Kunthi tidak berbicara apa-apa. Smith meninggalkan tas lusuhnya, turun dari mobil, dan kemudian menghilang di sebuah tikungan yang gelap.

”Dasar orang tua halu,” gumam Kunthi.

Tiba di halaman apartemennya Kunthi memarkir mobilnya dan langsung masuk ke dalam kamar, sedangkan tasnya Smith ia tinggalkan di dalam mobil.

Keesokan harinya ketika akan berangkat kuliah, Kunthi membuka tas itu. Satu per satu dokumen itu dia baca dengan saksama. Matanya terbelalak kaget!

Hari itu juga ia memutuskan untuk terbang ke Swiss!

Di hadapan Tuan Gustaf, CEO Schweizerissche Bank, Kunthi menyebutkan kata kunci dan nomor identitas Emas Simpang. Kunthi diminta untuk menunggu. Beberapa saat kemudian pejabat itu menghampirinya.

”Emas Simpang itu masih tersimpan di bank kami,” ujar Tuan Gustaf.

”Bolehkah saya mengambil gambarnya?” tanya Kunthi. Tanpa ragu pejabat itu pun menjawab.

”Sure (tentu).”

Kunthi diajak masuk ke sebuah ruangan khusus di bawah tanah. Begitu pintu ruangan itu terbuka, mata Kunthi terbelalak. Di hadapannya berdiri patung Sura dan Baya setinggi tiga meter. Kunthi segera memotret kedua patung itu dari beberapa sudut.

Baca Juga

Setelah Pidato Usai

”Benar-benar terbuat dari emas murni,” gumamnya setelah meraba patung Sura dan Baya itu.

Beberapa saat kemudian:

”Nona, tulislah berapa banyak royalti yang Anda inginkan dan dalam bentuk mata uang apa?” tanya Tuan Gustaf.

”Tidak, terima kasih. Selamat siang.” Kunthi meninggalkan Schweizerissche Bank diikuti pandangan mata keheranan dari CEO Schweizerissche Bank itu.

Hari itu juga Kunthi kembali ke Inggris.

Setibanya di apartemen, melalui e-mail, Kunthi menulis surat yang ditujukan kepada seluruh pemimpin redaksi koran yang terbit di Surabaya. Ia sertakan pula foto-foto dari patung Emas Simpang.

Kunthi telah melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak menceritakan pada siapa pun tentang kisah Emas Simpang sesuai pesan Tuan Smith.

Royalti Emas Simpang itu bukan haknya Tuan Smith dan juga bukan hakku, katanya dalam hati penuh percaya diri. (*)

Dukut Imam Widodo, penulis buku Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, Soerabaia In The Olden Days, Kampung Suroboyo, Prejengane Warkop Suroboyo, dan lain-lain

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen
2

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen

Berita Terbaru

Berenang di Kandang Sapi

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen•6 jam yang lalu
Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen•6 hari yang lalu
Home
›Cerpen
›Emas Simpang
Emas Simpang
Cerpen

Emas Simpang

Editor-26 Oktober 2025
Klik untuk perbesar

Ilustrasi BUDIONO/Jawa Pos

Bagikan artikel ini

Oleh Dukut Imam Widodo

Hari sudah larut malam ketika pulang dari kuliah, Kunthi melihat sesosok pria yang tengah berdiri di atas pagar Jembatan Tower yang membentang di atas Sungai Thames, London.

Kunthi segera menghentikan mobilnya dan menghampiri lelaki itu. Suasana di sekitar jembatan itu sepi, tak ada satu pun mobil yang lewat. Angin malam berembus dingin. Kunthi merapatkan jaketnya.

”Tuan mau bunuh diri? Silakan, saya tunggu,” kata Kunthi acuh tak acuh.

LELAKI itu menengok ke arahnya. Ia seorang pria tua. Dari pancaran sinar lampu jembatan tampak kerut-merut di wajahnya. Ia kelihatan begitu menderita dan putus asa. Dipandanginya Kunthi dengan sorot mata memelas.

”Kenapa ragu-ragu?! Loncat saja ke Sungai Thames, Tuan mati, habis perkara!” Orang tua itu terkesima mendengar ucapan Kunthi.

”Atau Tuan takut menderita ketika tenggelam?!”

Kali ini pria itu memandang Kunthi cukup lama.

”Daripada berani mati secara pengecut, lebih baik berani hidup secara kesatria.”

Kunthi mengulurkan tangannya dan lelaki itu pun menyambut uluran tangan itu, lantas turun dari pagar jembatan. Sesaat kemudian Kunthi membimbingnya masuk ke dalam mobil.

”Terima kasih, ucapanmu tadi telah membuatku tersadar…”

”Saya sekadar mengingatkan saja. Selanjutnya Tuanlah yang mengambil keputusan,” Kunthi merendah.

Suasana mencair begitu saja. Keduanya seakan telah melupakan peristiwa dramatis yang baru saja terjadi.

”Sebaiknya Tuan saya antarkan pulang,” kata Kunthi dan lelaki tua itu pun menurut. Ia menyebutkan sebuah alamat, yang kira-kira setengah jam perjalanan dari jembatan ini. Kunthi tidak keberatan, apalagi satu arah dengan apartemen tempat tinggalnya.

”Siapa namamu gadis cantik?” tanya lelaki tua itu setelah beberapa saat duduk di sampingnya.

”Kunthi.”

”Kau berasal dari mana?”

”Indonesia.”

”Tepatnya dari kota mana?”

”Surabaya.”

”Nama saya Smith, saya veteran tentara sekutu dalam Perang Dunia II. Saya dulu juga pernah berperang di Surabaya.”

Seketika Kunthi tertarik mendengar pengakuannya.

”Pasukan sekutu mendapat mandat untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Namun rakyat Surabaya terlebih dulu merampas persenjataan itu. Sebagai pasukan sekutu yang telah berhasil mengalahkan tentara Jepang, tentu saja kami tidak sudi untuk tunduk pada rakyat Surabaya. Apalagi komandan kami Brigjen Mallaby tewas terbunuh. Maka terjadilah pertempuran antara kami dengan rakyat Surabaya.”

Baca Juga

Berenang di Kandang Sapi

”Ayah saya juga bertempur melawan kalian. Kala itu dia masih sekolah dan usianya baru menginjak 17 tahun.”

”Dalam pertempuran di Darmo Boulevard, aku mengalami peristiwa yang tak akan pernah kulupakan. Waktu itu usiaku juga baru 18 tahun. Tempat pertahanan kami di depan Rumah Sakit Darmo dikepung oleh Tentara Pelajar. Pemimpin mereka seorang pemuda yang fasih berbahasa Inggris. Ketika mengepung tempat pertahanan kami, berkali-kali dia memerintahkan agar kami menyerah! Teriakannya kami balas pula dengan teriakan bahwa kami tidak sudi menyerah pada gerombolan ekstremis!”

”Kami Tentara Pelajar dan bukan gerombolan pengacau liar!” kata Smith menirukan ucapannya.

”Sekali lagi saya peringatkan, menyerahlah!” Smith masih menirukan ucapan pemuda itu.

”Dan benar saja, sesaat kemudian tempat pertahanan kami dihujani tembakan mortir dan mitraliur. Kami pun membalas tembakan itu, namun tidak sampai 15 menit kemudian seluruh anggota pasukan kami tewas.”

”Nyatanya Tuan masih hidup?” sela Kunthi.

”Begini, aku pura-pura mati, lagi pula tubuhku tertindih mayat teman-temanku.”

”Karena itu Tuan dikira juga sudah mati?”

”Tidak juga. Pemuda ganteng yang memimpin penyerbuan itu memeriksa satu per satu mayat pasukan kami dengan cara menusukkan bayonetnya ke tubuh mayat-mayat itu. Tiba giliranku, ia mengurungkan niatnya untuk menusuk tubuhku karena dia tahu bahwa aku masih hidup.”

”Hay Smith, I am so sorry if we killed all of your friend, kata pemuda itu sopan.”

”Bagaimana dia tahu nama Tuan?” tanya Kunthi.

”Bukankah di baju seragamku tertulis namaku?”

Kunthi tersenyum masam mendengar jawaban itu.

”Aku bertanya padanya, mengapa dia tidak membunuhku? Dia menjawab bahwa itu bukan wataknya, menghabisi nyawa musuhnya yang sudah tidak berdaya. Aku begitu terharu mendengarkan jawaban itu.” Lelaki tua itu berhenti sesaat sebelum melanjutkan lagi kisahnya.

”Pemuda itu mengatakan bahwa anak buahnya akan mengawalku hingga ujung Jalan Tunjungan, sebab di jalan itu sudah ada pertahanan pasukan sekutu. Aku pun mengucapkan terima kasih padanya. Namun sebelum pergi, aku bertanya padanya: What’s your name? Dia menjawab: Widodo, but call me Dody.”

Baca Juga

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Mendadak Kunthi mengerem mobilnya. Smith terpekik kaget.

”What’s wrong?!” tanyanya pada Kunthi.

”Pemuda yang kau ceritakan itu ayahku!” kata Kunthi. Bibirnya mengulas senyum dan matanya berkaca-kaca.

”Ayahku pernah bercerita bahwa dalam penyerbuan ke pertahanan sekutu yang ada di depan Rumah Sakit Darmo, ia telah membebaskan seorang serdadu Inggris.”

Kini Tuan Smith yang termangu-mangu. Kunthi segera menepikan mobilnya.

”Kau yakin dia ayahmu?” tanya Smith. Tanpa ragu Kunthi mengangguk.

”Bagaimana aku tidak yakin. Tuan dan juga ayahku menceritakan hal yang sama tentang penyerbuan di depan Rumah Sakit Darmo. Apalagi Tuan juga telah menyebut nama ayahku Widodo dengan nama panggilan Dody!”

”Kunthi, aku ingin memelukmu,” kata Smith. Kunthi menatapnya penuh arti. Terakhir ia dipeluk ayahnya setahun yang lalu ketika pulang ke Surabaya.

”Peluklah.”

Tuan Smith memeluk Kunthi serta mengecup keningnya. Sejurus kemudian Kunthi menjalankan mobilnya kembali menembus kegelapan malam.

”Malam ini kita telah dipertemukan oleh Tuhan,” ujar Smith memecah keheningan di antara mereka berdua.

”Tuan percaya adanya Tuhan?”

”Seumur hidup aku tidak pernah pergi ke gereja. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya berdoa. Namun sejak saat ini rasanya aku harus percaya bahwa Tuhan itu memang ada.” Ucapan Smith itu terdengar begitu tulus.

”Sebenarnya masih ada satu cerita lagi yang ingin kusampaikan padamu. Namun sebelumnya kau harus bersumpah untuk tidak menceritakannya pada orang lain,” kata Tuan Smith. Kunthi pun langsung menukas:

”Mengapa harus demikian?”

”Sebab cerita yang akan kusampaikan ini benar-benar sangat rahasia, dan hanya kau saja yang kuberi tahu.”

Kunthi hanya diam saja.

”Widodo, ayahmu, telah menyelamatkan nyawaku. Dan tadi, kau juga telah menyelamatkan nyawaku. Jika tidak ada kau, barangkali tubuhku sudah mengapung di Sungai Thames.”

”Aaah, sudahlah Sir. Sekarang ceritakan saja kisahmu itu, dan aku tidak akan membocorkan kisahmu itu pada siapa pun. I swear!” kata Kunthi bersungguh-sungguh.

Orang tua itu menghela napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk menuturkan kisahnya.

”Ada satu lagi tugas yang harus dilaksanakan oleh pasukanku, namun tugas ini tergolong sangat…sangat rahasia.” Kunthi sempat menoleh, namun sejurus kemudian ia memusatkan perhatiannya pada jalanan sepi yang ada di hadapannya.

Baca Juga

Keluarga Tercinta

”Kami harus bisa mengambil Emas Simpang dan membawanya pulang ke Inggris.”

”Apa itu Emas Simpang?” Kunthi memang baru kali ini mendengar nama itu.

”Kau orang Surabaya, bagaimana mungkin tidak tahu tentang Emas Simpang,” sahut Smith keheranan.

”Saya memang tidak tahu.”

Smith ragu-ragu, namun sejurus kemudian ia pun mulai bertutur.

”Emas Simpang itu semula berupa batangan-batangan emas seberat hampir dua ton. Pemiliknya adalah Raja Jawa yang kemudian mempersembahkan kepada Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles sebagai wakil Inggris ketika menguasai negerimu. Kemudian emas tersebut dilebur, dijadikan patung lambang Kota Surabaya berupa ikan hiu dan buaya. Kami merasa bahwa Emas Simpang itu adalah milik kami karena dulu pernah dimiliki Raffles.”

Setelah agak lama terdiam, Smith melanjutkan ceritanya lagi.

”Ketika pertempuran masih seru-serunya, diam-diam aku dan pasukanku meninggalkan Surabaya sambil membawa Emas Simpang ke pelabuhan dan kami naikkan ke dalam kapal perang.”

Smith menghentikan ceritanya sejenak, lalu katanya pula:

”Kami kemudian kembali ke Inggris. Namun mendekati perairan dekat negeri kami, tiba-tiba kapal yang kami tumpangi menabrak ranjau Jerman. Kapal tenggelam dan seluruh pasukan tewas, hanya akulah satu-satunya yang selamat. Ketika keadaan sudah kembali normal, aku berhasil mengangkat kembali harta karun itu dan membawanya ke Swiss. Sampai sekarang patung Emas Simpang itu masih tersimpan di Schweizerissche Bank, Swiss. Tinggal akulah satu-satunya tentara sekutu yang mengetahui keberadaan Emas Simpang.”

”Tuan Smith, Anda tidak sedang mabuk kan?”

”Kau pikir aku mengigau?! Di dalam tas kecilku ini kusimpan seluruh dokumen harta karun itu!” Rupanya Smith tersinggung dengan pertanyaan Kunthi.

”Hingga kini aku seorang miliarder. Dari penyimpanan Emas Simpang itu, tiap bulan aku menerima royalti yang tak terkirakan jumlahnya.”

Kunthi tak berkomentar. Ia menunggu kelanjutan cerita Smith.

”Akan tetapi, sesungguhnya hidupku merana. Satu per satu anak-anakku dan juga cucu-cucuku meninggal dengan cara menyedihkan. Dan yang terakhir adalah istriku. Ia bunuh diri. Emas Simpang itu telah menimpakan kutukan bagiku dan keluargaku.

Baca Juga

”Mata” yang Melihat Tidak Selalu Sama dengan ”Suara” yang Berbicara

Aku ingin mengembalikan Emas Simpang ini ke Surabaya karena aku telah mencurinya dari kota itu. Sekarang aku hanya ingin hidup tenteram dan damai saja menjelang akhir hayatku. Apalagi aku sekarang hidup sebatang kara.”

Kunthi tidak menanggapi.

”Oleh karena itu aku minta agar kau mau menolongku. Terimalah Emas Simpang itu. Terserah kau, apakah patung ikan hiu dan buaya itu akan kau bawa kembali ke Surabaya? Namun hal itu penuh dengan risiko. Atau kau biarkan saja Emas Simpang ini tetap berada di Schweizerissche Bank?”

Smith menatap Kunthi, namun gadis itu masih acuh tak acuh.

”Dokumen harta karun ini akan kuserahkan padamu. Tentang tata cara pengambilan royaltinya sangat mudah. Kau tinggal menyebut kata kuncinya Emas Simpang, dan sebutkan nomor identitasnya (Tuan Smith menyebutkan angkanya: 101119…sekian…sekian).”

Kunthi mengangguk.

”Sekarang turunkan aku di belokan kedua setelah perempatan itu.”

Lagi-lagi Kunthi mengangguk.

Kunthi tidak berbicara apa-apa. Smith meninggalkan tas lusuhnya, turun dari mobil, dan kemudian menghilang di sebuah tikungan yang gelap.

”Dasar orang tua halu,” gumam Kunthi.

Tiba di halaman apartemennya Kunthi memarkir mobilnya dan langsung masuk ke dalam kamar, sedangkan tasnya Smith ia tinggalkan di dalam mobil.

Keesokan harinya ketika akan berangkat kuliah, Kunthi membuka tas itu. Satu per satu dokumen itu dia baca dengan saksama. Matanya terbelalak kaget!

Hari itu juga ia memutuskan untuk terbang ke Swiss!

Di hadapan Tuan Gustaf, CEO Schweizerissche Bank, Kunthi menyebutkan kata kunci dan nomor identitas Emas Simpang. Kunthi diminta untuk menunggu. Beberapa saat kemudian pejabat itu menghampirinya.

”Emas Simpang itu masih tersimpan di bank kami,” ujar Tuan Gustaf.

”Bolehkah saya mengambil gambarnya?” tanya Kunthi. Tanpa ragu pejabat itu pun menjawab.

”Sure (tentu).”

Kunthi diajak masuk ke sebuah ruangan khusus di bawah tanah. Begitu pintu ruangan itu terbuka, mata Kunthi terbelalak. Di hadapannya berdiri patung Sura dan Baya setinggi tiga meter. Kunthi segera memotret kedua patung itu dari beberapa sudut.

Baca Juga

Setelah Pidato Usai

”Benar-benar terbuat dari emas murni,” gumamnya setelah meraba patung Sura dan Baya itu.

Beberapa saat kemudian:

”Nona, tulislah berapa banyak royalti yang Anda inginkan dan dalam bentuk mata uang apa?” tanya Tuan Gustaf.

”Tidak, terima kasih. Selamat siang.” Kunthi meninggalkan Schweizerissche Bank diikuti pandangan mata keheranan dari CEO Schweizerissche Bank itu.

Hari itu juga Kunthi kembali ke Inggris.

Setibanya di apartemen, melalui e-mail, Kunthi menulis surat yang ditujukan kepada seluruh pemimpin redaksi koran yang terbit di Surabaya. Ia sertakan pula foto-foto dari patung Emas Simpang.

Kunthi telah melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak menceritakan pada siapa pun tentang kisah Emas Simpang sesuai pesan Tuan Smith.

Royalti Emas Simpang itu bukan haknya Tuan Smith dan juga bukan hakku, katanya dalam hati penuh percaya diri. (*)

Dukut Imam Widodo, penulis buku Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, Soerabaia In The Olden Days, Kampung Suroboyo, Prejengane Warkop Suroboyo, dan lain-lain

Most Read

1

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen
2

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen

Berita Terbaru

Berenang di Kandang Sapi

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen•6 jam yang lalu
Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen•6 hari yang lalu

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001