Loading...
Sabtu Legi, 15 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Cerpen
Home
›Cerpen

Berenang di Kandang Sapi

Editor-Cerpen
15 November 2025
Berenang di Kandang Sapi
Klik untuk perbesar
Ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Oleh Arianto Adipurwanto

Hingga pagi tiba, Sudar Gana masih tetap berenang di kandang sapi itu. Kedua lengannya yang semula terus bergantian menyibak air telah terkulai.

Saat ayam-ayam mulai turun dari dahan-dahan tempat mereka tidur dan mulai berjalan-jalan di halaman rumah yang dibasahi embun, Geluduk Gelumpeng keluar dari rumahnya. Geluduk Gelumpeng terhenti sebentar di halaman sebelum melengking kepada istrinya: ”Tangkap ayam satu. Gorok. Masak kuning!” Derit lasah menjawab lengkingannya dari dalam rumah. Lalu, ia menambahkan: ”Tambahin racikan daun kedondong!”

Rumah mereka bertengger di punggung bukit yang menjulang di sebelah barat Sungai Keditan. Rumah kecil berdinding bambu, dengan sebuah berugaq dan kandang sapi kecil persis di ujung utara. Kandang itu terbuka; dua ekor sapi gemuk –bahkan teramat gemuk dibandingkan pemiliknya yang kurus– dapat melihat dengan leluasa daun-daun pisang yang kerap terayun-ayun di sekitar, atau ujung-ujung rumput gelagah yang dihinggapi burung-burung kecil tak jauh dari jebak. Juga, dapat mencuri dengar setiap tawa dan ledakan-ledakan amarah di berugaq yang berdiri miring di depan mereka.

Dua ekor sapi di kandang itu tak lagi diperlakukan semata sebagai dua ekor sapi. Geluduk Gelumpeng kerap menawari mereka makan dan kemudian dijawab sendiri olehnya, ”Ah, ini bukan makanan kalian.” Ia lalu melanjutkan menyuapi dirinya sendiri, dan istrinya terkadang menertawakan apa yang ia lakukan, tak jarang segala keanehan itu membuat amarah perempuan itu tersulut.

Keduanya pasangan tua. Geluduk Gelumpeng sedikit bungkuk, tetapi ia gemar menyebut dirinya telah bungkuk bagai lengkungan parang yang selalu ia bawa ke kebun. ”Sebentar lagi saya akan patah,” katanya. Ia telah tua, tetapi ia dipercaya jauh lebih tua daripada yang terlihat. Orang-orang seusia dirinya telah mati mendahuluinya. Istrinya yang jauh lebih muda dibanding dirinya pun telah keriput dan sedikit bungkuk seperti dirinya. Istrinya berusia jauh lebih muda, sebab ia tangkap begitu saja saat perempuan itu masih anak-anak dan sedang sibuk menggosok pahanya dengan sebongkah batu kecil di sebuah sungai; jauh di bagian hilir Sungai Keditan. Anak perempuan itu menjerit sebentar saat dipaksa ke rumah Geluduk Gelumpeng muda, tetapi besoknya ia telah bangun pagi-pagi menyapu halaman kemudian memasak air hangat dan menyeduhkan kopi untuk Geluduk Gelumpeng yang menunggu bak raja di atas berugaq.

Baca Juga

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Selanjutnya selama bertahun-tahun, sampai tubuh mereka berdua membungkuk, perempuan itu tetap melakukan hal yang sama seakan-akan itulah tujuan ia dilahirkan ke dunia. Ia akan bangun pagi-pagi menyapu halaman, lalu menyalakan api di tungku dan membuat kopi, sebelum berjalan ke kebun dan pulang membawa aneka macam hal untuk mengisi perut mereka hari itu. Dari sekian waktu, jarang sekali Geluduk Gelumpeng yang akan terbangun terlebih dahulu. Hari itu, ia telah tahu apa yang telah terjadi, dan ia sengaja berteriak membangunkan istrinya untuk menangkap ayam dan membuat masakan paling lezat yang tak pernah mereka buat kecuali pada hari-hari istimewa.

”Tunggu Lebaran beriq,” jawab Nurnep. ”Kamu dirasuki setan? Pagi-pagi sudah minta ayam!” tambahnya.

Geluduk Gelumpeng memandang kandang sapinya dan bertingkah seperti tak ada apa-apa yang terjadi. ”Nyenyak tidurmu?” tanyanya. Kedua sapinya tak menjawab, hanya sebentar kemudian terdengar suara keroncong. ”Makan lalat-lalat sapi itu!” perintahnya. Ia lalu ke jebak di utara, menghadiahi barisan pohon jarak dengan cairan hangat yang muncrat dari kemaluan tuanya. Ia menggelinjahkan tubuhnya sebentar, berjalan ke utara; hanya suaranya terbatuk-batuk terdengar dari arah kebun kopi.

Semua hari berlangsung seperti itu. Ia akan bangun pagi dan berjalan ke sungai untuk membuang kotoran. Ia kembali ke rumah setelah merendam tubuhnya di Sungai Keditan beberapa saat; pulang membawa beberapa biji kelapa yang selalu berhasil ia temukan; kelapa yang jatuh semalam. Istrinya menyambutnya di rumah dengan segelas kopi yang masih mengepulkan uap, saling melontarkan lelucon saat hidup mereka baik-baik saja, tak saling berbicara saat semalam mereka bertengkar tentang tiadanya kehadiran anak antara mereka, dan selebihnya berbicara tentang hal-hal remeh saat semalam tak terjadi apa-apa antara mereka.

Obrolan pagi itu adalah obrolan yang berbeda. Baru pertama kali Geluduk Gelumpeng sendiri meminta menyembelih ayam yang telah ia pelihara dengan sepenuh hati dan yang selalu ia ajak bicara setiap hari seperti berbicara dengan anaknya sendiri.

”Kamu mimpi apa semalam?” tanya istrinya.

Baca Juga

Keluarga Tercinta

”Ada tamu kita ini.”

Suara sapi melenguh di kandang membuat obrolan mereka terjeda. ”Suara apa itu?” tanya istrinya lagi. Ia mendengar suara tanah terkais-kais dan lenguhan kecil, lenguhan kelelahan, yang jelas bukan suara sapi-sapinya.

”Ada anak anjing di kandang itu,” katanya.

”Tangkap saja ayam itu,” potong Geluduk Gelumpeng.

Sapi itu adalah alasan mereka hidup dengan tenang. Mereka tak punya anak, tetapi mereka punya dua sapi; satu untuk diri mereka masing-masing; dua sapi untuk mempersiapkan kematian mereka sendiri. Sapi yang begitu gemuk-gemuk dan menurut mereka telah lebih dari cukup untuk sekadar membuat penuh perut penghuni Lelenggo.

Beberapa kali pembeli sapi datang ke rumah mereka, tetapi Geluduk Gelumpeng dengan sangat tegas berkata: ”Ketimbang saya jual sapi itu, lebih baik saya jual diri saya!”

Pembeli sapi yang berasal dari desa yang juga setua dirinya akan menjawab: ”Buat apa saya badanmu yang kurus itu. Buat lauk sepiring nasi saja ndak cukup!”

”Ya, sekadar untuk sedaq sebotol tuak kamu ndak perlu susah!” balas Geluduk Gelumpeng sambil tertawa kecil karena terhibur oleh kata-katanya sendiri.

Telah cukup lama sejak pembeli sapi datang terakhir kali. Sejak itu, dua ekor sapi milik Geluduk Gelumpeng semakin gemuk dan sehat. Bulu-bulu kemerahan sapi itu terlihat berkilau saat keduanya merumput di kebun sebelah barat, tempat tanah yang lebih tinggi. Geluduk dan istrinya akan mengamati kedua sapinya yang tengah merumput dan obrolan mereka menjadi tenang begitu melihat kedua sapi itu hidup dengan, menurut mereka, sangat bahagia.

Geluduk Gelumpeng duduk persis di sudut selatan berugaq, tempat ia biasa memandang sapinya merumput, tetapi seorang diri, karena pagi masih sangat pagi. Ia mendengar istrinya terus membujuknya untuk melihat kandang, dan melihat anak anjing yang barangkali saja saat mereka tidur tadi malam telah pulang ke tempat itu. Geluduk Gelumpeng bukan tak mendengar lenguhan itu. Ia bahkan mengetahui semuanya.

Ia telah yakin, suatu hari akan datang tamu tak diundang yang meminati dua ekor sapi miliknya. Sore sebelumnya, ia semakin yakin dengan dugaan itu karena ia bertemu dengan empat orang pengangkut kayu di sungai saat ia menggosok perut sapinya dengan sepotong serabut kelapa. ”Ndak akan lama sapi itu kalau epe ndak cepat jual,” kata salah seorang pengangkut kayu. ”Di desa, kami ronda setiap malam!”

Baca Juga

Emas Simpang

”Kasih tahu maling itu suruh ke Lelenggo,” jawabnya.

”Ya, nanti kalau kami ketemu sama mereka,” balas salah seorang, sebelum mereka melanjutkan perjalanan; perjalanan meletihkan karena balok-balok kayu itu menindih bahu mereka dan membuat tubuh mereka membengkok seperti sabit.

Geluduk Gelumpeng berbicara dengan sapinya. Bergantian. Memberi mereka nasihat. ”Kalau ada yang mau ambil kalian teriak ya, jangan diam-diam.” Ia yakin sekali nasihatnya telah didengar karena kedua sapinya menggerak-gerakkan kepala mengerti.

Obrolan itu ia ceritakan dengan sangat keras kepada istrinya. Ia bahkan melebih-lebihkan ceritanya, menceritakan bagaimana ia sangat ketakutan ketika mengetahui akan ada maling yang datang ke Lelenggo dan mengambil sapi-sapi mereka. Istrinya yang ketakutan segera meninggalkan dapur dan memeriksa kandang sapinya sendiri, memastikan dua ekor sapinya masih ada di situ.

Ia memekik begitu keras begitu melihat, persis di kubangan tahi sapinya, begitu dekat dari kaki-kaki sapinya, seorang laki-laki penuh dengan kotoran sapi yang telah encer karena telah bercampur juga dengan kencing. Geluduk Gelumpeng tetap di berugaq, seakan-akan tak terjadi apa-apa.

”Ada orang selaq,” pekik istrinya.

Geluduk Gelumpeng cepat turun dan menuju kandang yang terletak hanya beberapa langkah dari tempatnya. Ia berpura-pura kaget melihat laki-laki yang tengah terbaring telungkup dan menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti tengah berenang di depannya.

”Kamu ngapain di sini?” tanya Geluduk Gelumpeng.

Tak ada jawaban.

Laki-laki itu telah megap-megap; belepotan kotoran sapi. Kedua matanya sayu. Setiap beberapa saat ia memejamkan mata; begitu dalam, seakan-akan ia tak akan pernah membuka matanya kembali.

”Kamu berenang?” tanya Geluduk Gelumpeng lagi.

Istrinya berdiri di belakangnya, dan menambahkan: ”Berenang di tahi sapi?”

”Cepat tangkap ayam itu!” perintah Geluduk Gelumpeng.

Laki-laki di depan mereka mengangguk lemah.

Matahari telah beranjak cukup tinggi. Tak begitu lama kemudian aroma ayam kuning daun kedondong menguar dari dapur; aroma yang sangat didambakan dan disenangi Geluduk Gelumpeng. Laki-laki bertubuh jangkung duduk di sampingnya, kotoran sapi perlahan mengering di badannya. Tak sepatah kata pun berhasil terlontar dari mulutnya; kedua matanya menyiratkan ketakutan yang teramat sangat. Geluduk Gelumpeng bersiul-siul kecil seperti memanggil burung dan baru setelah itu, ada kata-kata keluar; meski sangat pelan.

Baca Juga

”Mata” yang Melihat Tidak Selalu Sama dengan ”Suara” yang Berbicara

”Saya hampir mati. Laut itu luas sekali!” kata laki-laki itu.

”Laut apa?” Geluduk Gelumpeng memasang muka keheranan.

”Laut..laut. Saya dikelilingi laut.” Ia memandang sekeliling, seakan-akan laut masih mengelilinginya.

”Di sini memang lautan semua,” balas istri Geluduk dari dapur. Ia cepat mendekat, membawa bakul nasi yang masih mengepulkan uap, kembali lagi dan membawa dua piring ayam kuning. Daun kedondong yang telah diracik kecil-kecil terlihat bergenang di permukaan kuah, menempel juga di potongan-potongan ayam yang berwarna putih empuk.

”Lihat. Daun kedondong ini saja berenang terus,” kata istri Geluduk begitu meletakkan ayam kuning itu di lasah.

Geluduk Gelumpeng tertawa keras. Tawa penuh kemenangan. (*)

Arianto Adipurwanto

Lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk lima besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa 2019. Buku keduanya, Iblis Tanah Suci (Diva Press, 2024), masuk daftar pendek kategori kumpulan cerpen Kusala Sastra Khatulistiwa 2025. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB, dan seorang guru di MTsN 1 Kota Bima.

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen
2

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen

Berita Terbaru

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen•6 hari yang lalu
Keluarga Tercinta

Keluarga Tercinta

Cerpen•4 November 2025
Home
›Cerpen
›Berenang di Kandang Sapi
Berenang di Kandang Sapi
Cerpen

Berenang di Kandang Sapi

Editor-15 November 2025
Klik untuk perbesar

Ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Bagikan artikel ini

Oleh Arianto Adipurwanto

Hingga pagi tiba, Sudar Gana masih tetap berenang di kandang sapi itu. Kedua lengannya yang semula terus bergantian menyibak air telah terkulai.

Saat ayam-ayam mulai turun dari dahan-dahan tempat mereka tidur dan mulai berjalan-jalan di halaman rumah yang dibasahi embun, Geluduk Gelumpeng keluar dari rumahnya. Geluduk Gelumpeng terhenti sebentar di halaman sebelum melengking kepada istrinya: ”Tangkap ayam satu. Gorok. Masak kuning!” Derit lasah menjawab lengkingannya dari dalam rumah. Lalu, ia menambahkan: ”Tambahin racikan daun kedondong!”

Rumah mereka bertengger di punggung bukit yang menjulang di sebelah barat Sungai Keditan. Rumah kecil berdinding bambu, dengan sebuah berugaq dan kandang sapi kecil persis di ujung utara. Kandang itu terbuka; dua ekor sapi gemuk –bahkan teramat gemuk dibandingkan pemiliknya yang kurus– dapat melihat dengan leluasa daun-daun pisang yang kerap terayun-ayun di sekitar, atau ujung-ujung rumput gelagah yang dihinggapi burung-burung kecil tak jauh dari jebak. Juga, dapat mencuri dengar setiap tawa dan ledakan-ledakan amarah di berugaq yang berdiri miring di depan mereka.

Dua ekor sapi di kandang itu tak lagi diperlakukan semata sebagai dua ekor sapi. Geluduk Gelumpeng kerap menawari mereka makan dan kemudian dijawab sendiri olehnya, ”Ah, ini bukan makanan kalian.” Ia lalu melanjutkan menyuapi dirinya sendiri, dan istrinya terkadang menertawakan apa yang ia lakukan, tak jarang segala keanehan itu membuat amarah perempuan itu tersulut.

Keduanya pasangan tua. Geluduk Gelumpeng sedikit bungkuk, tetapi ia gemar menyebut dirinya telah bungkuk bagai lengkungan parang yang selalu ia bawa ke kebun. ”Sebentar lagi saya akan patah,” katanya. Ia telah tua, tetapi ia dipercaya jauh lebih tua daripada yang terlihat. Orang-orang seusia dirinya telah mati mendahuluinya. Istrinya yang jauh lebih muda dibanding dirinya pun telah keriput dan sedikit bungkuk seperti dirinya. Istrinya berusia jauh lebih muda, sebab ia tangkap begitu saja saat perempuan itu masih anak-anak dan sedang sibuk menggosok pahanya dengan sebongkah batu kecil di sebuah sungai; jauh di bagian hilir Sungai Keditan. Anak perempuan itu menjerit sebentar saat dipaksa ke rumah Geluduk Gelumpeng muda, tetapi besoknya ia telah bangun pagi-pagi menyapu halaman kemudian memasak air hangat dan menyeduhkan kopi untuk Geluduk Gelumpeng yang menunggu bak raja di atas berugaq.

Baca Juga

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Selanjutnya selama bertahun-tahun, sampai tubuh mereka berdua membungkuk, perempuan itu tetap melakukan hal yang sama seakan-akan itulah tujuan ia dilahirkan ke dunia. Ia akan bangun pagi-pagi menyapu halaman, lalu menyalakan api di tungku dan membuat kopi, sebelum berjalan ke kebun dan pulang membawa aneka macam hal untuk mengisi perut mereka hari itu. Dari sekian waktu, jarang sekali Geluduk Gelumpeng yang akan terbangun terlebih dahulu. Hari itu, ia telah tahu apa yang telah terjadi, dan ia sengaja berteriak membangunkan istrinya untuk menangkap ayam dan membuat masakan paling lezat yang tak pernah mereka buat kecuali pada hari-hari istimewa.

”Tunggu Lebaran beriq,” jawab Nurnep. ”Kamu dirasuki setan? Pagi-pagi sudah minta ayam!” tambahnya.

Geluduk Gelumpeng memandang kandang sapinya dan bertingkah seperti tak ada apa-apa yang terjadi. ”Nyenyak tidurmu?” tanyanya. Kedua sapinya tak menjawab, hanya sebentar kemudian terdengar suara keroncong. ”Makan lalat-lalat sapi itu!” perintahnya. Ia lalu ke jebak di utara, menghadiahi barisan pohon jarak dengan cairan hangat yang muncrat dari kemaluan tuanya. Ia menggelinjahkan tubuhnya sebentar, berjalan ke utara; hanya suaranya terbatuk-batuk terdengar dari arah kebun kopi.

Semua hari berlangsung seperti itu. Ia akan bangun pagi dan berjalan ke sungai untuk membuang kotoran. Ia kembali ke rumah setelah merendam tubuhnya di Sungai Keditan beberapa saat; pulang membawa beberapa biji kelapa yang selalu berhasil ia temukan; kelapa yang jatuh semalam. Istrinya menyambutnya di rumah dengan segelas kopi yang masih mengepulkan uap, saling melontarkan lelucon saat hidup mereka baik-baik saja, tak saling berbicara saat semalam mereka bertengkar tentang tiadanya kehadiran anak antara mereka, dan selebihnya berbicara tentang hal-hal remeh saat semalam tak terjadi apa-apa antara mereka.

Obrolan pagi itu adalah obrolan yang berbeda. Baru pertama kali Geluduk Gelumpeng sendiri meminta menyembelih ayam yang telah ia pelihara dengan sepenuh hati dan yang selalu ia ajak bicara setiap hari seperti berbicara dengan anaknya sendiri.

”Kamu mimpi apa semalam?” tanya istrinya.

Baca Juga

Keluarga Tercinta

”Ada tamu kita ini.”

Suara sapi melenguh di kandang membuat obrolan mereka terjeda. ”Suara apa itu?” tanya istrinya lagi. Ia mendengar suara tanah terkais-kais dan lenguhan kecil, lenguhan kelelahan, yang jelas bukan suara sapi-sapinya.

”Ada anak anjing di kandang itu,” katanya.

”Tangkap saja ayam itu,” potong Geluduk Gelumpeng.

Sapi itu adalah alasan mereka hidup dengan tenang. Mereka tak punya anak, tetapi mereka punya dua sapi; satu untuk diri mereka masing-masing; dua sapi untuk mempersiapkan kematian mereka sendiri. Sapi yang begitu gemuk-gemuk dan menurut mereka telah lebih dari cukup untuk sekadar membuat penuh perut penghuni Lelenggo.

Beberapa kali pembeli sapi datang ke rumah mereka, tetapi Geluduk Gelumpeng dengan sangat tegas berkata: ”Ketimbang saya jual sapi itu, lebih baik saya jual diri saya!”

Pembeli sapi yang berasal dari desa yang juga setua dirinya akan menjawab: ”Buat apa saya badanmu yang kurus itu. Buat lauk sepiring nasi saja ndak cukup!”

”Ya, sekadar untuk sedaq sebotol tuak kamu ndak perlu susah!” balas Geluduk Gelumpeng sambil tertawa kecil karena terhibur oleh kata-katanya sendiri.

Telah cukup lama sejak pembeli sapi datang terakhir kali. Sejak itu, dua ekor sapi milik Geluduk Gelumpeng semakin gemuk dan sehat. Bulu-bulu kemerahan sapi itu terlihat berkilau saat keduanya merumput di kebun sebelah barat, tempat tanah yang lebih tinggi. Geluduk dan istrinya akan mengamati kedua sapinya yang tengah merumput dan obrolan mereka menjadi tenang begitu melihat kedua sapi itu hidup dengan, menurut mereka, sangat bahagia.

Geluduk Gelumpeng duduk persis di sudut selatan berugaq, tempat ia biasa memandang sapinya merumput, tetapi seorang diri, karena pagi masih sangat pagi. Ia mendengar istrinya terus membujuknya untuk melihat kandang, dan melihat anak anjing yang barangkali saja saat mereka tidur tadi malam telah pulang ke tempat itu. Geluduk Gelumpeng bukan tak mendengar lenguhan itu. Ia bahkan mengetahui semuanya.

Ia telah yakin, suatu hari akan datang tamu tak diundang yang meminati dua ekor sapi miliknya. Sore sebelumnya, ia semakin yakin dengan dugaan itu karena ia bertemu dengan empat orang pengangkut kayu di sungai saat ia menggosok perut sapinya dengan sepotong serabut kelapa. ”Ndak akan lama sapi itu kalau epe ndak cepat jual,” kata salah seorang pengangkut kayu. ”Di desa, kami ronda setiap malam!”

Baca Juga

Emas Simpang

”Kasih tahu maling itu suruh ke Lelenggo,” jawabnya.

”Ya, nanti kalau kami ketemu sama mereka,” balas salah seorang, sebelum mereka melanjutkan perjalanan; perjalanan meletihkan karena balok-balok kayu itu menindih bahu mereka dan membuat tubuh mereka membengkok seperti sabit.

Geluduk Gelumpeng berbicara dengan sapinya. Bergantian. Memberi mereka nasihat. ”Kalau ada yang mau ambil kalian teriak ya, jangan diam-diam.” Ia yakin sekali nasihatnya telah didengar karena kedua sapinya menggerak-gerakkan kepala mengerti.

Obrolan itu ia ceritakan dengan sangat keras kepada istrinya. Ia bahkan melebih-lebihkan ceritanya, menceritakan bagaimana ia sangat ketakutan ketika mengetahui akan ada maling yang datang ke Lelenggo dan mengambil sapi-sapi mereka. Istrinya yang ketakutan segera meninggalkan dapur dan memeriksa kandang sapinya sendiri, memastikan dua ekor sapinya masih ada di situ.

Ia memekik begitu keras begitu melihat, persis di kubangan tahi sapinya, begitu dekat dari kaki-kaki sapinya, seorang laki-laki penuh dengan kotoran sapi yang telah encer karena telah bercampur juga dengan kencing. Geluduk Gelumpeng tetap di berugaq, seakan-akan tak terjadi apa-apa.

”Ada orang selaq,” pekik istrinya.

Geluduk Gelumpeng cepat turun dan menuju kandang yang terletak hanya beberapa langkah dari tempatnya. Ia berpura-pura kaget melihat laki-laki yang tengah terbaring telungkup dan menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti tengah berenang di depannya.

”Kamu ngapain di sini?” tanya Geluduk Gelumpeng.

Tak ada jawaban.

Laki-laki itu telah megap-megap; belepotan kotoran sapi. Kedua matanya sayu. Setiap beberapa saat ia memejamkan mata; begitu dalam, seakan-akan ia tak akan pernah membuka matanya kembali.

”Kamu berenang?” tanya Geluduk Gelumpeng lagi.

Istrinya berdiri di belakangnya, dan menambahkan: ”Berenang di tahi sapi?”

”Cepat tangkap ayam itu!” perintah Geluduk Gelumpeng.

Laki-laki di depan mereka mengangguk lemah.

Matahari telah beranjak cukup tinggi. Tak begitu lama kemudian aroma ayam kuning daun kedondong menguar dari dapur; aroma yang sangat didambakan dan disenangi Geluduk Gelumpeng. Laki-laki bertubuh jangkung duduk di sampingnya, kotoran sapi perlahan mengering di badannya. Tak sepatah kata pun berhasil terlontar dari mulutnya; kedua matanya menyiratkan ketakutan yang teramat sangat. Geluduk Gelumpeng bersiul-siul kecil seperti memanggil burung dan baru setelah itu, ada kata-kata keluar; meski sangat pelan.

Baca Juga

”Mata” yang Melihat Tidak Selalu Sama dengan ”Suara” yang Berbicara

”Saya hampir mati. Laut itu luas sekali!” kata laki-laki itu.

”Laut apa?” Geluduk Gelumpeng memasang muka keheranan.

”Laut..laut. Saya dikelilingi laut.” Ia memandang sekeliling, seakan-akan laut masih mengelilinginya.

”Di sini memang lautan semua,” balas istri Geluduk dari dapur. Ia cepat mendekat, membawa bakul nasi yang masih mengepulkan uap, kembali lagi dan membawa dua piring ayam kuning. Daun kedondong yang telah diracik kecil-kecil terlihat bergenang di permukaan kuah, menempel juga di potongan-potongan ayam yang berwarna putih empuk.

”Lihat. Daun kedondong ini saja berenang terus,” kata istri Geluduk begitu meletakkan ayam kuning itu di lasah.

Geluduk Gelumpeng tertawa keras. Tawa penuh kemenangan. (*)

Arianto Adipurwanto

Lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk lima besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa 2019. Buku keduanya, Iblis Tanah Suci (Diva Press, 2024), masuk daftar pendek kategori kumpulan cerpen Kusala Sastra Khatulistiwa 2025. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB, dan seorang guru di MTsN 1 Kota Bima.

Most Read

1

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen
2

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen

Berita Terbaru

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen•6 hari yang lalu
Keluarga Tercinta

Keluarga Tercinta

Cerpen•4 November 2025

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001