Loading...
Sabtu Legi, 15 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Cerpen
Home
›Cerpen

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Editor-Cerpen
9 November 2025
Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase
Klik untuk perbesar
Ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Oleh Hasbunallah Haris

Samudra Hindia, 1934

Madame Susan, pada perjumpaan pertama, kami sama-sama berada di atas dek. Beberapa hari setelah saya hanya mengurung diri di kabin karena perpisahan ternyata telah merenggut sebagian jiwa saya. Saya harus menjadi orang lain dan menyesuaikan diri dengan kondisi baru ini. Saya terlahir kembali sebagai seorang asing yang kebingungan dan kadang ... tengah malam buta, saya bertanya siapa saya sebenarnya dan apakah Tuhan hanya menjadikan saya seperti ini? Seperti ini saja?

Kadang, saya juga merenung sambil menatap percikan air laut yang tampak dari kaca bundar kabin. Datang ke tanah nun jauh di sana mungkin terdengar menjanjikan. Saya tidak tahu bagaimana mendefinisikannya, tetapi sejak terakhir kali melihat pelabuhan Berlin, setengah jiwa saya seolah tertinggal di sana. Bukankah lebih baik saya bertempur di garis depan bersama Fuhrer? Bukankah sebaiknya saya ikut dalam rombongan yang akan berperang itu?

Saat makan malam, saya begitu cepat menghabiskan santapan dan naik ke atas dek, mencari kesendirian dan meredakan amukan yang bergejolak dalam diri. Pada saat-saat seperti ini, hanya buku-buku Cicero dan Emile Zola menjadi teman seperjalanan yang saya miliki. Mereka menyebut sastra adalah pilar lain yang mesti dibangun sekokoh Arc de Triomphe, itulah yang saya suka dari semangat mereka. Surat-surat kabar secara konsisten juga memberitakan perkembangan puisi dan kisah-kisah heroik. Saya tak pernah meninggalkannya selama masih berada di kamp pelatihan Fuhrer.

Susan yang pertama kali menghampiri saya. Mungkin karena dia melihat buku Emile Zola yang sedang saya genggam, jadi dia bertanya apakah saya fasih berbahasa Prancis? Apakah saya berasal dari Prancis? Segera saya angguki untuk pertanyaan pertama, dan saya jawab, ”Saya bukan dari Prancis. Saya berasal dari Leiden, anggota Federasi Kesehatan Belanda.” Susan meski tidak lagi muda, tetapi gurat-gurat kecantikannya masih tersisa dan siapa saja dapat menduga dengan penuh keyakinan semasa mudanya wanita ini pasti menjadi primadona.

Susan bertanya beberapa pertanyaan pada saya, seperti apakah saya tahu Hotel des Princes et de la Paix atau apakah saya pernah makan di Cafe de Bordeaux? Saya kembali mengangguk, dan mengatakan waktu remaja saya dihabiskan banyak di Leiden dan saya tak begitu punya kenangan manis tentang Prancis. Mungkin Susan senang punya kenalan baru seperti saya. Orang-orang paruh baya ke atas memang gemar bercerita dan membagikan pengalaman mereka, dan itulah yang terdengar dari mulut Susan beberapa menit kemudian.

Baca Juga

Keluarga Tercinta

Dia mengisahkan masa mudanya yang gemilang di Rotterdam, menyaksikan para budak dari Timur Jauh diangkut dengan keterampilan mereka serta mau bekerja keras. Beberapa budak yang beruntung kadang boleh memiliki rumah sendiri di belakang rumah tuan mereka, tetapi tetap melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Susan mengisahkan ayahnya dulu pemilik lima budak, semuanya dari Jawa, mereka orang-orang yang tekun dan pekerja keras, tidak mengeluh sedikit pun apa yang diperintahkan pada mereka.

Susan juga bicara mengenai adat orang-orang Timur Jauh yang baginya sangat luhur dan polos. Begitu dia memulai kisah tentang toko-toko antik dan barang-barang yang menjual perlengkapan menuju tanah koloni yang bertebaran di Rotterdam, suaminya datang menghampiri kami. Saya dikenalkan dengan Meneer Jeremy Holder, seorang pria berkebangsaan Belanda-Inggris yang mudah senyum dan terlihat romantis. Lelaki itu segera menggandeng lengan Susan dan mengatakan harus segera kembali ke kabin karena waktu makan obat mereka telah tiba. Susan berpamitan setelah bertanya nomor kabin saya dan mengundang datang ke kabinnya untuk minum teh –setelah menyebut ini adalah pelayaran pertama saya menuju Timur Jauh. Dia besar di sana dan sudah berkali-kali bolak-balik, dan dia senang mewariskan pengetahuan itu pada saya. Akhirnya saya berjanji akan berkunjung lusa pukul delapan malam.

***

Meneer Jeremy-lah yang membukakan saya pintu, dan begitu lelaki itu mengatakan saya datang, Susan dengan riang segera muncul dari dalam kamar mereka yang bersih dan tertata. Saya disilakan duduk di kursi rotan yang diberi alas berupa kapas dengan sulaman berwarna hitam dengan pola-pola burung dan teratai. Susan bertanya bagaimana hari yang saya jalani, kemudian perempuan itu mengambil sebuah album foto yang dia sembunyikan di dalam koper belakang lemari kecil di dekat jendela kabin. Dia menunjukkan foto itu pada saya bersama Meneer Jeremy, meski saya tahu lelaki itu tidak begitu berminat karena ingin sekali pergi ke ruang merokok di lantai bawah. Jika dia mau bisa saja merokok di hadapan kami, tapi orang-orang Belanda berdarah campuran kadang punya sopan santun berlebih.

Baca Juga

Emas Simpang

Akhirnya lelaki itu menyerah setelah lima belas menit membicarakan tanaman tropis dan iklim apa saja yang ada di Timur Jauh. Meneer Jeremy menjelaskan bagaimana pantai-pantai mereka yang indah, pulau-pulau yang berdekatan, benteng-benteng Belanda yang kokoh, dan tak lupa dia menjelaskan tentang Batavia sebagai kota maju wilayah Timur. Dari sanalah Timur bangkit menjadi sebuah negara koloni yang bermartabat dan berbudaya Eropa, gedung-gedung pertunjukan, societeit, dan pacuan kuda sangat digandrungi di sana, dan lelaki itu mengenang seluruhnya dalam waktu singkat. Dia kemudian pamit ingin merokok, menyebut bibirnya kelu oleh udara yang kian gerah.

Setelah hanya tinggal saya dan Susan, kami membuka album foto lama itu dan dia menunjukkan perkebunan-perkebunan yang luas, tuan tanah dengan topi bundarnya dan jas putih gading yang kelihatan sedang memeriksa kebun, deretan orang-orang yang sedang memetik hasil panen yang ... sebagian besar tanpa pakaian, dan peternakan maju di daerah Bogor. Dari Susan-lah saya tahu ada jiplakan Prancis di Jawa, namanya Bandung, kota itu disulap menjadi kota mode dengan budaya Eropa yang maju, bergengsi, dan jemawa. Bioskop dan pertunjukan sering digelar di sana, bahkan juga beberapa pertunjukan sirkus dan sulap. Susan menunjukkan fotonya saat berusia tiga puluhan, dibalut mantel perak dengan gelang tangan yang sangat banyak serta rambut yang dijalin ke belakang. Dia memakai topi bonnet kecil miring di atas kepala, dengan sarung tangan putih dan sedang berpose di sebelah gereja yang cukup megah.

Dia menjelaskan pada saya Timur Jauh yang dia tunjukkan hanyalah kulit luarnya saja dari sebuah penderitaan panjang kaum pribumi. Perempuan itu bangkit dan mengunci pintu depan dari dalam, lalu menggenggam tangan saya dan menatap lekat-lekat. Dia berkata jangan pernah tertipu dengan kemegahan Belanda, itu semua adalah hasil rampokan yang mereka lakukan di Timur Jauh. Mereka membangun koloni besar, mendirikan kongsi dagang, dan memonopoli apa saja yang dapat mereka gasak suka atau tidak. Susan merendahkan suara saat membicarakan itu, tetapi saya tahu amarahnya sedang meledak-ledak.

Baca Juga

Konsep Manajer dan Story Telling Dispatch Direspons Positif

”... Ini temanku Ernest Douwes Dekker, dia punya pandangan yang sama denganku tentang negara koloni, menentang penindasan dan imperialisme. Mulanya dia bekerja di perkebunan kopi di Malang setelah menamatkan Gymnasium Koning Willem III School dan sering bentrok dengan manajernya karena membela pribumi. Dia kemudian mulai aktif menuliskan kritik-kritiknya terhadap Belanda. Bila aku berkunjung, kami sering membicarakan masa depan Timur Jauh di rumahnya di Semarang. Ernest ini orang yang sederhana, tetapi punya pikiran tajam. Tulisan-tulisannya yang penuh tuntutan juga disertai dengan pikiran-pikiran yang terbuka, menandakan dia bukan seorang amatir. Kau tahu, Catherine, pluralisme di Timur Jauh sangat banyak dan pada satu titik, kelak Belanda akan sulit mengendalikan mereka.”

Susan menjelaskan dengan penuh semangat. Saya melihat potret lelaki berkumis melintang itu seperti melihat orang-orang Jermanik yang tangguh dan rebel. Susan juga menjelaskan bagaimana budak-budak diperlakukan dan pada satu kali mereka dibawa ke Belanda hanya untuk dipertontonkan seperti binatang sirkus dengan label ”Pemakan Manusia” di bagian atas kurungan mereka. Mereka seperti Indian yang dipertontonkan kepada Spanyol. Belanda juga mempraktikkan hal serupa terhadap kaum pribumi yang masih lugu dan terbelakang. Namanya Colonial Tentoonstelling.

Meski membenci hal-hal seperti itu, Susan jauh lebih membenci Indo yang merasa berkuasa atas tanah jajahan dan malah menentang kaum mereka sendiri. Dia bilang sering mendebatkan ini dengan sang suami yang lebih beraliran kapitalis-sosialis. Enggan mau tahu dengan perkembangan kaum papa yang secara nyata membutuhkan pertolongan dari segala kekejian yang dilakukan bangsa mereka. Dia membocorkan pekerjaan Meneer Jeremy di surat kabar De Locomotief beberapa tahun lalu sebelum pindah menjadi pengurus asuransi, dan tak sekali pun meloloskan tulisan bernuansa perlawanan terhadap kapitalisme dan imperialisme. Kini saya tahu mengapa Susan bicara dengan nada rendah dan mengunci pintu dari dalam selepas sang suami hengkang.

Saya begitu takjub dengan penuturan perempuan ini. Mata cemerlangnya seakan bercahaya dengan gurat-gurat halus yang mulai kendur. Saya menyaksikan beberapa foto lagi sambil tetap mendengarkan penuturan Susan tentang perkebunan dan tambang. Meski totok, Susan tampaknya lebih banyak dipengaruhi pikiran-pikiran liberal yang lebih bermartabat dan tak mau tunduk pada eksploitasi yang dikerjakan orang-orang Belanda lain beraliran kapitalis. Kala saya membalik halaman terakhir dari sampul album itu, barulah saya tahu mengapa dia menjadi orang seterbuka itu. Saya melihat foto Susan muda berpose duduk menyilangkan kaki di atas sebuah kursi lipat dengan jurk mengembang. Foto itu diambil di depan sebuah gedung putih bergaya kolonial. Keterangan di bawah foto ditulis dalam bahasa Belanda –tulisan tangan– De Witte Roos Loge 165, dan itulah yang membuat jantung saya berdesir hebat.

Baca Juga

Menyelami Karya Seni Keramik dan Patung di Main Bentuk, Main Warna, Medium Sama

Malam yang penuh berkah itu akhirnya kami tutup dengan secangkir teh yang saya minum dengan canggung. Susan ingin saya sering-sering berkunjung, tetapi saya hanya tersenyum dan beralasan tidak ingin terlalu merepotkan. Seluruh rasa penasaran saya terhadap tanah Timur Jauh sudah terpuaskan dan barangkali saya tidak akan terlalu terkejut jika sudah berlabuh di sana. Melayu, Cina, Prancis, Belanda, Jerman, mereka banyak sekali berada di Timur Jauh dan membentuk klan-klan mereka sendiri, termasuk orang-orang seperti Susan, orang-orang dengan pemikiran Masonik. (*)

Catatan:

De Witte Roos Loge 165 disinyalir sebagai nomor loji milik Freemason yang berada di Batavia. Kaum Mason atau tarekat Mason Bebas mulai masuk ke Hindia Belanda sejak 1700-an awal. Mereka mendirikan (baca: juga bisa menyewa) loji-loji di Batavia, Semarang, Makassar, Padang, Bandung, dan daerah strategis lainnya demi kelangsungan organisasi. Mereka juga menguasai jalur pedagangan, memiliki gudang rempah, dan membuat bank tersendiri (di antaranya Padangsche Spaarbank) dan sering mengumpulkan donasi.

Hasbunallah Haris

Dilahirkan di Pakan Selasa, Sumatera Barat. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Juli 2023, naskahnya yang berjudul Leiden (2020-1920) menyabet juara II dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen

Berita Terbaru

Keluarga Tercinta

Keluarga Tercinta

Cerpen•4 November 2025
Emas Simpang

Emas Simpang

Cerpen•26 Oktober 2025
Home
›Cerpen
›Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase
Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase
Cerpen

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Editor-9 November 2025
Klik untuk perbesar

Ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Bagikan artikel ini

Oleh Hasbunallah Haris

Samudra Hindia, 1934

Madame Susan, pada perjumpaan pertama, kami sama-sama berada di atas dek. Beberapa hari setelah saya hanya mengurung diri di kabin karena perpisahan ternyata telah merenggut sebagian jiwa saya. Saya harus menjadi orang lain dan menyesuaikan diri dengan kondisi baru ini. Saya terlahir kembali sebagai seorang asing yang kebingungan dan kadang ... tengah malam buta, saya bertanya siapa saya sebenarnya dan apakah Tuhan hanya menjadikan saya seperti ini? Seperti ini saja?

Kadang, saya juga merenung sambil menatap percikan air laut yang tampak dari kaca bundar kabin. Datang ke tanah nun jauh di sana mungkin terdengar menjanjikan. Saya tidak tahu bagaimana mendefinisikannya, tetapi sejak terakhir kali melihat pelabuhan Berlin, setengah jiwa saya seolah tertinggal di sana. Bukankah lebih baik saya bertempur di garis depan bersama Fuhrer? Bukankah sebaiknya saya ikut dalam rombongan yang akan berperang itu?

Saat makan malam, saya begitu cepat menghabiskan santapan dan naik ke atas dek, mencari kesendirian dan meredakan amukan yang bergejolak dalam diri. Pada saat-saat seperti ini, hanya buku-buku Cicero dan Emile Zola menjadi teman seperjalanan yang saya miliki. Mereka menyebut sastra adalah pilar lain yang mesti dibangun sekokoh Arc de Triomphe, itulah yang saya suka dari semangat mereka. Surat-surat kabar secara konsisten juga memberitakan perkembangan puisi dan kisah-kisah heroik. Saya tak pernah meninggalkannya selama masih berada di kamp pelatihan Fuhrer.

Susan yang pertama kali menghampiri saya. Mungkin karena dia melihat buku Emile Zola yang sedang saya genggam, jadi dia bertanya apakah saya fasih berbahasa Prancis? Apakah saya berasal dari Prancis? Segera saya angguki untuk pertanyaan pertama, dan saya jawab, ”Saya bukan dari Prancis. Saya berasal dari Leiden, anggota Federasi Kesehatan Belanda.” Susan meski tidak lagi muda, tetapi gurat-gurat kecantikannya masih tersisa dan siapa saja dapat menduga dengan penuh keyakinan semasa mudanya wanita ini pasti menjadi primadona.

Susan bertanya beberapa pertanyaan pada saya, seperti apakah saya tahu Hotel des Princes et de la Paix atau apakah saya pernah makan di Cafe de Bordeaux? Saya kembali mengangguk, dan mengatakan waktu remaja saya dihabiskan banyak di Leiden dan saya tak begitu punya kenangan manis tentang Prancis. Mungkin Susan senang punya kenalan baru seperti saya. Orang-orang paruh baya ke atas memang gemar bercerita dan membagikan pengalaman mereka, dan itulah yang terdengar dari mulut Susan beberapa menit kemudian.

Baca Juga

Keluarga Tercinta

Dia mengisahkan masa mudanya yang gemilang di Rotterdam, menyaksikan para budak dari Timur Jauh diangkut dengan keterampilan mereka serta mau bekerja keras. Beberapa budak yang beruntung kadang boleh memiliki rumah sendiri di belakang rumah tuan mereka, tetapi tetap melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Susan mengisahkan ayahnya dulu pemilik lima budak, semuanya dari Jawa, mereka orang-orang yang tekun dan pekerja keras, tidak mengeluh sedikit pun apa yang diperintahkan pada mereka.

Susan juga bicara mengenai adat orang-orang Timur Jauh yang baginya sangat luhur dan polos. Begitu dia memulai kisah tentang toko-toko antik dan barang-barang yang menjual perlengkapan menuju tanah koloni yang bertebaran di Rotterdam, suaminya datang menghampiri kami. Saya dikenalkan dengan Meneer Jeremy Holder, seorang pria berkebangsaan Belanda-Inggris yang mudah senyum dan terlihat romantis. Lelaki itu segera menggandeng lengan Susan dan mengatakan harus segera kembali ke kabin karena waktu makan obat mereka telah tiba. Susan berpamitan setelah bertanya nomor kabin saya dan mengundang datang ke kabinnya untuk minum teh –setelah menyebut ini adalah pelayaran pertama saya menuju Timur Jauh. Dia besar di sana dan sudah berkali-kali bolak-balik, dan dia senang mewariskan pengetahuan itu pada saya. Akhirnya saya berjanji akan berkunjung lusa pukul delapan malam.

***

Meneer Jeremy-lah yang membukakan saya pintu, dan begitu lelaki itu mengatakan saya datang, Susan dengan riang segera muncul dari dalam kamar mereka yang bersih dan tertata. Saya disilakan duduk di kursi rotan yang diberi alas berupa kapas dengan sulaman berwarna hitam dengan pola-pola burung dan teratai. Susan bertanya bagaimana hari yang saya jalani, kemudian perempuan itu mengambil sebuah album foto yang dia sembunyikan di dalam koper belakang lemari kecil di dekat jendela kabin. Dia menunjukkan foto itu pada saya bersama Meneer Jeremy, meski saya tahu lelaki itu tidak begitu berminat karena ingin sekali pergi ke ruang merokok di lantai bawah. Jika dia mau bisa saja merokok di hadapan kami, tapi orang-orang Belanda berdarah campuran kadang punya sopan santun berlebih.

Baca Juga

Emas Simpang

Akhirnya lelaki itu menyerah setelah lima belas menit membicarakan tanaman tropis dan iklim apa saja yang ada di Timur Jauh. Meneer Jeremy menjelaskan bagaimana pantai-pantai mereka yang indah, pulau-pulau yang berdekatan, benteng-benteng Belanda yang kokoh, dan tak lupa dia menjelaskan tentang Batavia sebagai kota maju wilayah Timur. Dari sanalah Timur bangkit menjadi sebuah negara koloni yang bermartabat dan berbudaya Eropa, gedung-gedung pertunjukan, societeit, dan pacuan kuda sangat digandrungi di sana, dan lelaki itu mengenang seluruhnya dalam waktu singkat. Dia kemudian pamit ingin merokok, menyebut bibirnya kelu oleh udara yang kian gerah.

Setelah hanya tinggal saya dan Susan, kami membuka album foto lama itu dan dia menunjukkan perkebunan-perkebunan yang luas, tuan tanah dengan topi bundarnya dan jas putih gading yang kelihatan sedang memeriksa kebun, deretan orang-orang yang sedang memetik hasil panen yang ... sebagian besar tanpa pakaian, dan peternakan maju di daerah Bogor. Dari Susan-lah saya tahu ada jiplakan Prancis di Jawa, namanya Bandung, kota itu disulap menjadi kota mode dengan budaya Eropa yang maju, bergengsi, dan jemawa. Bioskop dan pertunjukan sering digelar di sana, bahkan juga beberapa pertunjukan sirkus dan sulap. Susan menunjukkan fotonya saat berusia tiga puluhan, dibalut mantel perak dengan gelang tangan yang sangat banyak serta rambut yang dijalin ke belakang. Dia memakai topi bonnet kecil miring di atas kepala, dengan sarung tangan putih dan sedang berpose di sebelah gereja yang cukup megah.

Dia menjelaskan pada saya Timur Jauh yang dia tunjukkan hanyalah kulit luarnya saja dari sebuah penderitaan panjang kaum pribumi. Perempuan itu bangkit dan mengunci pintu depan dari dalam, lalu menggenggam tangan saya dan menatap lekat-lekat. Dia berkata jangan pernah tertipu dengan kemegahan Belanda, itu semua adalah hasil rampokan yang mereka lakukan di Timur Jauh. Mereka membangun koloni besar, mendirikan kongsi dagang, dan memonopoli apa saja yang dapat mereka gasak suka atau tidak. Susan merendahkan suara saat membicarakan itu, tetapi saya tahu amarahnya sedang meledak-ledak.

Baca Juga

Konsep Manajer dan Story Telling Dispatch Direspons Positif

”... Ini temanku Ernest Douwes Dekker, dia punya pandangan yang sama denganku tentang negara koloni, menentang penindasan dan imperialisme. Mulanya dia bekerja di perkebunan kopi di Malang setelah menamatkan Gymnasium Koning Willem III School dan sering bentrok dengan manajernya karena membela pribumi. Dia kemudian mulai aktif menuliskan kritik-kritiknya terhadap Belanda. Bila aku berkunjung, kami sering membicarakan masa depan Timur Jauh di rumahnya di Semarang. Ernest ini orang yang sederhana, tetapi punya pikiran tajam. Tulisan-tulisannya yang penuh tuntutan juga disertai dengan pikiran-pikiran yang terbuka, menandakan dia bukan seorang amatir. Kau tahu, Catherine, pluralisme di Timur Jauh sangat banyak dan pada satu titik, kelak Belanda akan sulit mengendalikan mereka.”

Susan menjelaskan dengan penuh semangat. Saya melihat potret lelaki berkumis melintang itu seperti melihat orang-orang Jermanik yang tangguh dan rebel. Susan juga menjelaskan bagaimana budak-budak diperlakukan dan pada satu kali mereka dibawa ke Belanda hanya untuk dipertontonkan seperti binatang sirkus dengan label ”Pemakan Manusia” di bagian atas kurungan mereka. Mereka seperti Indian yang dipertontonkan kepada Spanyol. Belanda juga mempraktikkan hal serupa terhadap kaum pribumi yang masih lugu dan terbelakang. Namanya Colonial Tentoonstelling.

Meski membenci hal-hal seperti itu, Susan jauh lebih membenci Indo yang merasa berkuasa atas tanah jajahan dan malah menentang kaum mereka sendiri. Dia bilang sering mendebatkan ini dengan sang suami yang lebih beraliran kapitalis-sosialis. Enggan mau tahu dengan perkembangan kaum papa yang secara nyata membutuhkan pertolongan dari segala kekejian yang dilakukan bangsa mereka. Dia membocorkan pekerjaan Meneer Jeremy di surat kabar De Locomotief beberapa tahun lalu sebelum pindah menjadi pengurus asuransi, dan tak sekali pun meloloskan tulisan bernuansa perlawanan terhadap kapitalisme dan imperialisme. Kini saya tahu mengapa Susan bicara dengan nada rendah dan mengunci pintu dari dalam selepas sang suami hengkang.

Saya begitu takjub dengan penuturan perempuan ini. Mata cemerlangnya seakan bercahaya dengan gurat-gurat halus yang mulai kendur. Saya menyaksikan beberapa foto lagi sambil tetap mendengarkan penuturan Susan tentang perkebunan dan tambang. Meski totok, Susan tampaknya lebih banyak dipengaruhi pikiran-pikiran liberal yang lebih bermartabat dan tak mau tunduk pada eksploitasi yang dikerjakan orang-orang Belanda lain beraliran kapitalis. Kala saya membalik halaman terakhir dari sampul album itu, barulah saya tahu mengapa dia menjadi orang seterbuka itu. Saya melihat foto Susan muda berpose duduk menyilangkan kaki di atas sebuah kursi lipat dengan jurk mengembang. Foto itu diambil di depan sebuah gedung putih bergaya kolonial. Keterangan di bawah foto ditulis dalam bahasa Belanda –tulisan tangan– De Witte Roos Loge 165, dan itulah yang membuat jantung saya berdesir hebat.

Baca Juga

Menyelami Karya Seni Keramik dan Patung di Main Bentuk, Main Warna, Medium Sama

Malam yang penuh berkah itu akhirnya kami tutup dengan secangkir teh yang saya minum dengan canggung. Susan ingin saya sering-sering berkunjung, tetapi saya hanya tersenyum dan beralasan tidak ingin terlalu merepotkan. Seluruh rasa penasaran saya terhadap tanah Timur Jauh sudah terpuaskan dan barangkali saya tidak akan terlalu terkejut jika sudah berlabuh di sana. Melayu, Cina, Prancis, Belanda, Jerman, mereka banyak sekali berada di Timur Jauh dan membentuk klan-klan mereka sendiri, termasuk orang-orang seperti Susan, orang-orang dengan pemikiran Masonik. (*)

Catatan:

De Witte Roos Loge 165 disinyalir sebagai nomor loji milik Freemason yang berada di Batavia. Kaum Mason atau tarekat Mason Bebas mulai masuk ke Hindia Belanda sejak 1700-an awal. Mereka mendirikan (baca: juga bisa menyewa) loji-loji di Batavia, Semarang, Makassar, Padang, Bandung, dan daerah strategis lainnya demi kelangsungan organisasi. Mereka juga menguasai jalur pedagangan, memiliki gudang rempah, dan membuat bank tersendiri (di antaranya Padangsche Spaarbank) dan sering mengumpulkan donasi.

Hasbunallah Haris

Dilahirkan di Pakan Selasa, Sumatera Barat. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Juli 2023, naskahnya yang berjudul Leiden (2020-1920) menyabet juara II dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Most Read

1

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen

Berita Terbaru

Keluarga Tercinta

Keluarga Tercinta

Cerpen•4 November 2025
Emas Simpang

Emas Simpang

Cerpen•26 Oktober 2025

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001