Loading...
Minggu Wage, 23 November 2025
Jawa Pos

Selalu Ada Yang Baru!

Loading...
Home
Cerpen
Home
›Cerpen

Monumen Aib

Editor-Cerpen
22 November 2025
Monumen Aib
Klik untuk perbesar
Ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Oleh: Yulizar Lubay

Bang Pram menolak keras Lurah Tohar bin Kohar dijadikan pahlawan Bintang Kembar.

”Pram itu tidak tahu daripada terima kasih,” kata Pak Anwar yang setahun lalu didapuk jadi lurah Bintang Kembar. ”Dia lupa siapa yang telah membangun jembatan besar di kampung kita,” tambah Lurah Anwar sambil menunjuk jembatan beton yang retak dan pernah satu kali ambrol itu.

Bang Pram duduk gelisah di teras rumah batanya. Ia heran kenapa Lurah Tohar bisa digadang-gadang jadi pahlawan lokal. Dibuatkan pula patungnya di dekat simpang jalan kecamatan Beranda Kabut. Patung yang tangan kanannya mengepal meninju langit dan tangan kirinya menggenggam seikat padi.

”Aneh ...” Bang Pram berkata kesal. ”Benar-benar tak masuk akal!”

Dulu, beberapa puluh tahun lalu, ketika Lurah Tohar masih hidup, Bintang Kembar selalu dirundung ketakutan. Orang-orang takut karena setiap malam pasti ada saja yang diciduk: kadang tukang parkir, kadang juga guru ngaji yang dianggap salah ceramah. Tak seorang warga pun tahu siapa yang telah menciduk mereka, sebab hanya suara truk dan langkah sepatu yang bisa ditangkap telinga warga.

Saat ada beberapa warga yang memberanikan diri bertanya, Lurah Tohar akan selalu berkata, ”Saya ndak tahu daripada peristiwa semacam itu.”

Namun, beberapa tahun kemudian, Bang Pram tahu persis apa arti kalimat Lurah Tohar itu karena ia sendiri pernah diciduk oleh orang-orang tak dikenal yang datang malam-malam. Ia dituduh menyembunyikan buku-buku terlarang. Padahal, buku-buku itu hanyalah setumpuk cerita silat Kho Ping Hoo berjudul Bu Kek Siansu yang ia dapat dari sahabatnya yang tinggal di pinggiran kota Rawa Bakung.

Dan, begitulah, setelah Lurah Tohar meninggal karena usia tua, Bintang Kembar perlahan tenang dan benar-benar aman. Bang Pram dan beberapa warga mulai bisa tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi buruk. Tapi sekarang, setelah empat puluh tahun berlalu, Lurah Anwar tiba-tiba datang menggadang-gadang Lurah Tohar sebagai pahlawan lokal.

”Sungguh, sebuah aib yang monumental,” kata Bang Pram kepada angin sore musim kemarau yang membuat rambut lurusnya yang disisir belah tengah sedikit berkibar.

Baca Juga

Berenang di Kandang Sapi

Bang Pram tak bisa diam. Ia mendatangi kantor kelurahan dan menemui Lurah Anwar yang seumuran dengannya.

”Saya mau protes!” Bang Pram berusaha menekan amarahnya. Lubang hidungnya mengembang dan mengempis.

”Harap jangan memancing keributan,” kata Lurah Anwar mencoba menenangkan Bang Pram.

”Saya harap Anda mengurungkan niat untuk mengangkat Lurah Tohar jadi pahlawan.”

”Beliau berjasa besar membangun pasar, jalan, jembatan ...”

”Dan kuburan,” kata Bang Pram geram.

Lurah Anwar pura-pura tak mendengar, tapi daun-daun akasia di halaman depan kantor kelurahan berguguran saat mendengar kata kuburan. Ia berkata tanpa melihat muka Bang Pram. ”Silakan keluar. Saya dalam kesibukan.”

Bang Pram ingin meninju mulut Lurah Anwar yang berbibir hitam tebal, tapi sedikit kewarasan telah berhasil menggagalkan keinginannya. Ia keluar kantor kelurahan dengan langkah-langkah lebar.

Malam harinya, Bang Pram didatangi tamu tak dikenal. Tamu itu adalah seorang pria tua berpakaian serbaputih yang datang melayang dan menembus pintu depan rumah Bang Pram.

”Pram,” katanya dengan suara berat, ”Saya Tohar bin Kohar.”

Bang Pram tetap kalem. Ia duduk sambil menatap segelas kopi di depannya yang mulai dingin. ”Tak mungkin. Kamu sudah lama meninggal.”

”Betul. Tapi saya masih hidup di hati warga.”

Hantu itu duduk di kursi kayu ruang tamu. Bau kapur barus tercium samar di hidung Bang Pram.

”Kenapa repot-repot mendatangi saya?” tanya Bang Pram sebelum menyesap kopinya.

”Karena kamu satu-satunya orang yang menolak saya dijadikan pahlawan.”

Bang Pram menatap lurah itu lama, lalu menjawab pelan, ”Pahlawan sejati tak membutuhkan pengakuan.”

Lurah Tohar tersenyum samar. ”Dulu, kebenaran adalah apa yang saya katakan.”

”Dan sekarang?”

”Tidak jauh berbeda. Lihat saja patung saya di dekat simpang jalan.”

Bang Pram menghela napas. ”Maka patung itu adalah berhala dan harus dihancurkan.”

Hantu Lurah Tohar berdiri. ”Kalau begitu, selamat tinggal. Terima semua daripada risikonya.”

”Terserah,” kata Bang Pram. ”Saya tak peduli.”

Keesokan paginya, Bintang Kembar geger. Patung Lurah Tohar hancur di bagian kepala. Ada yang bilang karena gempa, ada yang bilang disambar petir, tapi muda-mudi Bintang Kembar bersumpah bahwa semalam mereka melihat Bang Pram membawa linggis dan mencoba menghancurkan patung Lurah Tohar.

Baca Juga

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Bang Pram tak membantah. Ia lekas berkata, ”Memang sayalah pelakunya.”

Berita segera menyebar, dan malam harinya, sebuah mobil mendatangi rumah Bang Pram. Bang Pram ditangkap karena berani merusak benda monumental Bintang Kembar.

Di kantor polisi, ia disuruh menandatangani surat pernyataan yang berbunyi: Saya menyesal atas tindakan saya dan mengakui jasa besar Lurah Tohar.

Bang Pram menolak dan memberontak. ”Kalau saya tanda tangan, berarti saya setuju menjadi ketombe kebohongan.”

”Ini demi ketertiban dan kebaikan moral,” kata petugas berwajah muram.

”Ketertiban dan kebaikan moral semacam ini cuma nama lain dari ketakutan.”

Petugas menatapnya lama, lalu tertawa pendek. ”Kamu pikir, kamu siapa?”

”Saya?” Bang Pram tertawa sinis. ”Saya adalah suara kebenaran.”

Atas jawaban itu, Bang Pram langsung ditahan selama tiga malam, kemudian dibebaskan tanpa alasan. Tak ada surat keputusan. Hanya kalimat pendek yang keluar dari mulut petugas jaga, ”Atas perintah atasan, Anda sudah boleh pulang.”

Bang Pram melangkah keluar. Udara Minggu siang yang panas menyentuh kulit mukanya yang penuh bopeng karena bekas cacar air. Ia melihat ke arah jembatan beton yang dulu dibangun Lurah Tohar, retaknya semakin parah. Di bawahnya, air sungai cokelat mengalir gusar, membawa sampah-sampah plastik, daun-daun kering, dan sandal jepit putih yang tinggal sebelah.

Orang-orang Bintang Kembar sudah lama bangun. Dari balik jendela rumah-rumah kayu, Bang Pram bisa merasakan banyak pasang mata sedang mengawasinya.

Seorang bocah laki-laki berumur sebelas tahun tiba-tiba berlari mendekatinya dan berkata, ”Pahlawan kesiangan!”

Bang Pram cuma diam. Suara bocah itu terus menggema di kepalanya.

Sementara itu, di dalam rumah Bang Pram, meja kayu kelihatan melamun. Air kopi dalam gelas beling yang ia tinggalkan tiga malam lalu sudah dipenuhi jamur-jamur putih di permukaannya. Ia duduk dan menatap gelas itu sebentar, lalu membawanya ke dapur.

Sore harinya, setelah Bang Pram mandi, datanglah dua orang berpakaian rapi. Salah seorang di antaranya membawa map cokelat. Mereka memperkenalkan diri sebagai Panitia Pengangkatan Pahlawan Bintang Kembar.

Baca Juga

Keluarga Tercinta

”Bang Pram,” kata salah satu dari mereka, ”Kami datang untuk meminta Abang menandatangani surat klarifikasi. Bukan pernyataan bersalah, hanya klarifikasi.”

Bang Pram tersenyum miring. ”Klarifikasi adalah nama baru untuk penyesalan.”

Yang berkemeja biru terang menatapnya datar. ”Kami hanya menjalankan tugas.”

”Dan saya hanya menjalankan kewarasan.” Bang Pram berkata bangga.

Setelah itu, percakapan terhenti. Mereka berdua pergi meninggalkan kabut di mata Bang Pram.

Malam berikutnya, suara truk terdengar lagi di kampung Bintang Kembar. Suara yang sudah bertahun-tahun tak terdengar. Orang-orang menggigil di tempat tidur mereka. Tak ada yang berani keluar rumah.

Bang Pram terbangun, melangkah, dan berdiri mendekati jendela. Ia melihat sorot lampu truk mengarah tepat di depan pintu rumahnya. Sejenak ia berpikir bahwa anak buah Lurah Tohar datang menjemputnya.

Dari jendela ia melihat tiga pria berpakaian serbahitam turun dari mobil dan mendekati rumahnya.

Keesokan paginya, orang-orang menemukan rumah Bang Pram sudah kosong. Tak ada tanda-tanda kekerasan, tak ada bekas darah, tak ada jejak kaki atau sepatu di tanah.

Tak ada yang tahu ke mana Bang Pram pergi. Ada yang bilang ia lari ke daerah Ujung Gunung. Ada yang bilang ia ditangkap lagi secara diam-diam.

Namun, seminggu kemudian, seorang sopir truk dari kampung Bintang Kembar yang melintas di jalan raya kota Rawa Bakung bersumpah melihat Bang Pram duduk di warung kopi pinggir jalan.

Di dalam warung itu, orang-orang kota bicara tentang kemajuan, tentang jalan tol yang akan dibangun, tentang monumen baru yang akan didirikan untuk menghormati seorang pahlawan.

Bang Pram menatap mereka sambil tersenyum getir.

Pemilik warung, seorang perempuan muda, menyapanya. ”Abang dari mana?”

”Dari masa lalu ...” Bang Pram menjawab ringan.

”Jauh, ya. Naik apa?”

”Naik bus ingatan.”

Perempuan itu tertawa heran, tak mengerti, lalu menuangkan kopi hitam panas ke cangkir kaleng berwarna kuning kecoklatan. ”Silakan, Bang. Pahitnya sudah ditakar.” Si perempuan meletakkan cangkir kopi itu di meja.

Bang Pram mengangguk. Ia mengambil cangkir, meniupnya, dan mulai menyesap kepahitan hidupnya.

Baca Juga

Emas Simpang

Hari-hari berikutnya dihabiskan Bang Pram di kota Rawa Bakung dengan bekerja sebagai tukang cat.

Kadang malam hari, setelah bekerja, ia duduk di tepi jalan raya, menatap lampu-lampu mobil yang berseliweran seperti arwah-arwah yang terbang penasaran. Di tengah kebisingan kota, ia sering merasa Lurah Tohar bin Kohar masih saja mengawasinya.

Bang Pram menghela napas dan memejam beberapa lama. Ia pulang ke sebuah rumah bedeng murah yang telah ia sewa, lalu tidur dengan hati nelangsa.

Suatu sore, ketika matahari mengambang di langit Rawa Bakung, Bang Pram berjalan ke arah terminal bus. Ia melihat tiga anak SMA berfoto di depan mural besar bergambar seorang pahlawan yang sedang tersenyum.

Salah seorang dari mereka bertanya pada temannya, ”Siapa dia?”

Temannya menjawab, ”Pahlawan.”

Bang Pram berhenti dan menatap mural itu sebentar. ”Benar-benar aib yang monumental,” katanya penuh penyesalan. Wajah si pahlawan samar-samar mengingatkannya pada wajah seseorang. Bukan wajah Lurah Tohar, bukan pula wajahnya, tapi mungkin wajah siapa saja yang pernah lama berkuasa. (*)

Lampung, 2025

Yulizar Lubay

Fiksionis dan aktor teater di Komunitas Berkat Yakin Lampung. Pernah diundang Badan Bahasa untuk mengikuti Ubud Writers and Readers Festival setelah menjadi juara ketiga dalam sayembara menulis cerita Mastera Malaysia 2021.

Bagikan artikel ini

Most Read

1

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen
2

Monumen Aib

Cerpen

Berita Terbaru

Berenang di Kandang Sapi

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen•7 hari yang lalu
Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen•9 November 2025
Home
›Cerpen
›Monumen Aib
Monumen Aib
Cerpen

Monumen Aib

Editor-22 November 2025
Klik untuk perbesar

Ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Bagikan artikel ini

Oleh: Yulizar Lubay

Bang Pram menolak keras Lurah Tohar bin Kohar dijadikan pahlawan Bintang Kembar.

”Pram itu tidak tahu daripada terima kasih,” kata Pak Anwar yang setahun lalu didapuk jadi lurah Bintang Kembar. ”Dia lupa siapa yang telah membangun jembatan besar di kampung kita,” tambah Lurah Anwar sambil menunjuk jembatan beton yang retak dan pernah satu kali ambrol itu.

Bang Pram duduk gelisah di teras rumah batanya. Ia heran kenapa Lurah Tohar bisa digadang-gadang jadi pahlawan lokal. Dibuatkan pula patungnya di dekat simpang jalan kecamatan Beranda Kabut. Patung yang tangan kanannya mengepal meninju langit dan tangan kirinya menggenggam seikat padi.

”Aneh ...” Bang Pram berkata kesal. ”Benar-benar tak masuk akal!”

Dulu, beberapa puluh tahun lalu, ketika Lurah Tohar masih hidup, Bintang Kembar selalu dirundung ketakutan. Orang-orang takut karena setiap malam pasti ada saja yang diciduk: kadang tukang parkir, kadang juga guru ngaji yang dianggap salah ceramah. Tak seorang warga pun tahu siapa yang telah menciduk mereka, sebab hanya suara truk dan langkah sepatu yang bisa ditangkap telinga warga.

Saat ada beberapa warga yang memberanikan diri bertanya, Lurah Tohar akan selalu berkata, ”Saya ndak tahu daripada peristiwa semacam itu.”

Namun, beberapa tahun kemudian, Bang Pram tahu persis apa arti kalimat Lurah Tohar itu karena ia sendiri pernah diciduk oleh orang-orang tak dikenal yang datang malam-malam. Ia dituduh menyembunyikan buku-buku terlarang. Padahal, buku-buku itu hanyalah setumpuk cerita silat Kho Ping Hoo berjudul Bu Kek Siansu yang ia dapat dari sahabatnya yang tinggal di pinggiran kota Rawa Bakung.

Dan, begitulah, setelah Lurah Tohar meninggal karena usia tua, Bintang Kembar perlahan tenang dan benar-benar aman. Bang Pram dan beberapa warga mulai bisa tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi buruk. Tapi sekarang, setelah empat puluh tahun berlalu, Lurah Anwar tiba-tiba datang menggadang-gadang Lurah Tohar sebagai pahlawan lokal.

”Sungguh, sebuah aib yang monumental,” kata Bang Pram kepada angin sore musim kemarau yang membuat rambut lurusnya yang disisir belah tengah sedikit berkibar.

Baca Juga

Berenang di Kandang Sapi

Bang Pram tak bisa diam. Ia mendatangi kantor kelurahan dan menemui Lurah Anwar yang seumuran dengannya.

”Saya mau protes!” Bang Pram berusaha menekan amarahnya. Lubang hidungnya mengembang dan mengempis.

”Harap jangan memancing keributan,” kata Lurah Anwar mencoba menenangkan Bang Pram.

”Saya harap Anda mengurungkan niat untuk mengangkat Lurah Tohar jadi pahlawan.”

”Beliau berjasa besar membangun pasar, jalan, jembatan ...”

”Dan kuburan,” kata Bang Pram geram.

Lurah Anwar pura-pura tak mendengar, tapi daun-daun akasia di halaman depan kantor kelurahan berguguran saat mendengar kata kuburan. Ia berkata tanpa melihat muka Bang Pram. ”Silakan keluar. Saya dalam kesibukan.”

Bang Pram ingin meninju mulut Lurah Anwar yang berbibir hitam tebal, tapi sedikit kewarasan telah berhasil menggagalkan keinginannya. Ia keluar kantor kelurahan dengan langkah-langkah lebar.

Malam harinya, Bang Pram didatangi tamu tak dikenal. Tamu itu adalah seorang pria tua berpakaian serbaputih yang datang melayang dan menembus pintu depan rumah Bang Pram.

”Pram,” katanya dengan suara berat, ”Saya Tohar bin Kohar.”

Bang Pram tetap kalem. Ia duduk sambil menatap segelas kopi di depannya yang mulai dingin. ”Tak mungkin. Kamu sudah lama meninggal.”

”Betul. Tapi saya masih hidup di hati warga.”

Hantu itu duduk di kursi kayu ruang tamu. Bau kapur barus tercium samar di hidung Bang Pram.

”Kenapa repot-repot mendatangi saya?” tanya Bang Pram sebelum menyesap kopinya.

”Karena kamu satu-satunya orang yang menolak saya dijadikan pahlawan.”

Bang Pram menatap lurah itu lama, lalu menjawab pelan, ”Pahlawan sejati tak membutuhkan pengakuan.”

Lurah Tohar tersenyum samar. ”Dulu, kebenaran adalah apa yang saya katakan.”

”Dan sekarang?”

”Tidak jauh berbeda. Lihat saja patung saya di dekat simpang jalan.”

Bang Pram menghela napas. ”Maka patung itu adalah berhala dan harus dihancurkan.”

Hantu Lurah Tohar berdiri. ”Kalau begitu, selamat tinggal. Terima semua daripada risikonya.”

”Terserah,” kata Bang Pram. ”Saya tak peduli.”

Keesokan paginya, Bintang Kembar geger. Patung Lurah Tohar hancur di bagian kepala. Ada yang bilang karena gempa, ada yang bilang disambar petir, tapi muda-mudi Bintang Kembar bersumpah bahwa semalam mereka melihat Bang Pram membawa linggis dan mencoba menghancurkan patung Lurah Tohar.

Baca Juga

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Bang Pram tak membantah. Ia lekas berkata, ”Memang sayalah pelakunya.”

Berita segera menyebar, dan malam harinya, sebuah mobil mendatangi rumah Bang Pram. Bang Pram ditangkap karena berani merusak benda monumental Bintang Kembar.

Di kantor polisi, ia disuruh menandatangani surat pernyataan yang berbunyi: Saya menyesal atas tindakan saya dan mengakui jasa besar Lurah Tohar.

Bang Pram menolak dan memberontak. ”Kalau saya tanda tangan, berarti saya setuju menjadi ketombe kebohongan.”

”Ini demi ketertiban dan kebaikan moral,” kata petugas berwajah muram.

”Ketertiban dan kebaikan moral semacam ini cuma nama lain dari ketakutan.”

Petugas menatapnya lama, lalu tertawa pendek. ”Kamu pikir, kamu siapa?”

”Saya?” Bang Pram tertawa sinis. ”Saya adalah suara kebenaran.”

Atas jawaban itu, Bang Pram langsung ditahan selama tiga malam, kemudian dibebaskan tanpa alasan. Tak ada surat keputusan. Hanya kalimat pendek yang keluar dari mulut petugas jaga, ”Atas perintah atasan, Anda sudah boleh pulang.”

Bang Pram melangkah keluar. Udara Minggu siang yang panas menyentuh kulit mukanya yang penuh bopeng karena bekas cacar air. Ia melihat ke arah jembatan beton yang dulu dibangun Lurah Tohar, retaknya semakin parah. Di bawahnya, air sungai cokelat mengalir gusar, membawa sampah-sampah plastik, daun-daun kering, dan sandal jepit putih yang tinggal sebelah.

Orang-orang Bintang Kembar sudah lama bangun. Dari balik jendela rumah-rumah kayu, Bang Pram bisa merasakan banyak pasang mata sedang mengawasinya.

Seorang bocah laki-laki berumur sebelas tahun tiba-tiba berlari mendekatinya dan berkata, ”Pahlawan kesiangan!”

Bang Pram cuma diam. Suara bocah itu terus menggema di kepalanya.

Sementara itu, di dalam rumah Bang Pram, meja kayu kelihatan melamun. Air kopi dalam gelas beling yang ia tinggalkan tiga malam lalu sudah dipenuhi jamur-jamur putih di permukaannya. Ia duduk dan menatap gelas itu sebentar, lalu membawanya ke dapur.

Sore harinya, setelah Bang Pram mandi, datanglah dua orang berpakaian rapi. Salah seorang di antaranya membawa map cokelat. Mereka memperkenalkan diri sebagai Panitia Pengangkatan Pahlawan Bintang Kembar.

Baca Juga

Keluarga Tercinta

”Bang Pram,” kata salah satu dari mereka, ”Kami datang untuk meminta Abang menandatangani surat klarifikasi. Bukan pernyataan bersalah, hanya klarifikasi.”

Bang Pram tersenyum miring. ”Klarifikasi adalah nama baru untuk penyesalan.”

Yang berkemeja biru terang menatapnya datar. ”Kami hanya menjalankan tugas.”

”Dan saya hanya menjalankan kewarasan.” Bang Pram berkata bangga.

Setelah itu, percakapan terhenti. Mereka berdua pergi meninggalkan kabut di mata Bang Pram.

Malam berikutnya, suara truk terdengar lagi di kampung Bintang Kembar. Suara yang sudah bertahun-tahun tak terdengar. Orang-orang menggigil di tempat tidur mereka. Tak ada yang berani keluar rumah.

Bang Pram terbangun, melangkah, dan berdiri mendekati jendela. Ia melihat sorot lampu truk mengarah tepat di depan pintu rumahnya. Sejenak ia berpikir bahwa anak buah Lurah Tohar datang menjemputnya.

Dari jendela ia melihat tiga pria berpakaian serbahitam turun dari mobil dan mendekati rumahnya.

Keesokan paginya, orang-orang menemukan rumah Bang Pram sudah kosong. Tak ada tanda-tanda kekerasan, tak ada bekas darah, tak ada jejak kaki atau sepatu di tanah.

Tak ada yang tahu ke mana Bang Pram pergi. Ada yang bilang ia lari ke daerah Ujung Gunung. Ada yang bilang ia ditangkap lagi secara diam-diam.

Namun, seminggu kemudian, seorang sopir truk dari kampung Bintang Kembar yang melintas di jalan raya kota Rawa Bakung bersumpah melihat Bang Pram duduk di warung kopi pinggir jalan.

Di dalam warung itu, orang-orang kota bicara tentang kemajuan, tentang jalan tol yang akan dibangun, tentang monumen baru yang akan didirikan untuk menghormati seorang pahlawan.

Bang Pram menatap mereka sambil tersenyum getir.

Pemilik warung, seorang perempuan muda, menyapanya. ”Abang dari mana?”

”Dari masa lalu ...” Bang Pram menjawab ringan.

”Jauh, ya. Naik apa?”

”Naik bus ingatan.”

Perempuan itu tertawa heran, tak mengerti, lalu menuangkan kopi hitam panas ke cangkir kaleng berwarna kuning kecoklatan. ”Silakan, Bang. Pahitnya sudah ditakar.” Si perempuan meletakkan cangkir kopi itu di meja.

Bang Pram mengangguk. Ia mengambil cangkir, meniupnya, dan mulai menyesap kepahitan hidupnya.

Baca Juga

Emas Simpang

Hari-hari berikutnya dihabiskan Bang Pram di kota Rawa Bakung dengan bekerja sebagai tukang cat.

Kadang malam hari, setelah bekerja, ia duduk di tepi jalan raya, menatap lampu-lampu mobil yang berseliweran seperti arwah-arwah yang terbang penasaran. Di tengah kebisingan kota, ia sering merasa Lurah Tohar bin Kohar masih saja mengawasinya.

Bang Pram menghela napas dan memejam beberapa lama. Ia pulang ke sebuah rumah bedeng murah yang telah ia sewa, lalu tidur dengan hati nelangsa.

Suatu sore, ketika matahari mengambang di langit Rawa Bakung, Bang Pram berjalan ke arah terminal bus. Ia melihat tiga anak SMA berfoto di depan mural besar bergambar seorang pahlawan yang sedang tersenyum.

Salah seorang dari mereka bertanya pada temannya, ”Siapa dia?”

Temannya menjawab, ”Pahlawan.”

Bang Pram berhenti dan menatap mural itu sebentar. ”Benar-benar aib yang monumental,” katanya penuh penyesalan. Wajah si pahlawan samar-samar mengingatkannya pada wajah seseorang. Bukan wajah Lurah Tohar, bukan pula wajahnya, tapi mungkin wajah siapa saja yang pernah lama berkuasa. (*)

Lampung, 2025

Yulizar Lubay

Fiksionis dan aktor teater di Komunitas Berkat Yakin Lampung. Pernah diundang Badan Bahasa untuk mengikuti Ubud Writers and Readers Festival setelah menjadi juara ketiga dalam sayembara menulis cerita Mastera Malaysia 2021.

Most Read

1

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen
2

Monumen Aib

Cerpen

Berita Terbaru

Berenang di Kandang Sapi

Berenang di Kandang Sapi

Cerpen•7 hari yang lalu
Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Pada Kapal SS Van Imhoff, Sebuah Montase

Cerpen•9 November 2025

KORAN JAWA POS

Instagram

  • @koran.jawapos
  • @jawapos.foto
  • @jawapossport

YouTube

  • @jawaposnews

TikTok

  • @koranjawapos

Email Redaksi

  • editor@jawapos.co.id

Berlangganan Koran

Hubungi WhatsApp:

+628113475001

© 2025 Koran Online. All rights reserved.

KORAN JAWA POS
Instagram:@koran.jawapos@jawapos.foto@jawapossport
Twitter:@koran_jawapos
YouTube:@jawaposnewsTikTok:@koranjawapos
Email Redaksi:editor@jawapos.co.id
Berlangganan Koran Hubungi WA:+628113475001