PUCUK pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sedang bergolak. Risalah rapat harian syuriah PBNU yang ditandatangani Rais Aam KH Miftachul Achyar memberikan perintah jelas, ’’KH Yahya Cholil Staquf harus mengundurkan diri dari jabatan ketua umum PBNU dalam waktu tiga hari sejak diterimanya surat keputusan rapat.’’ Rapat berlangsung Kamis (20/11) di Jakarta.
Sementara itu, KH Yahya merespons bahwa dirinya berkeberatan untuk mundur. Alasannya, keputusan itu hanya sepihak dan manipulatif (Jawa Pos, 23/11). Gus Yahya juga menggelar pertemuan di Surabaya, Sabtu (22/11).
Dinamika di organisasi itu pun tersebar dan terbuka. Bahkan akan berlanjut. Ada rencana pertemuan lanjutan di kantor PBNU kemarin (23/11). Bisa jadi dalam sepekan ke depan manuver-manuver tersebut bakal semakin kencang dan mobat-mabit.
Bukan kali ini saja PBNU dilanda konflik yang tajam dan menuju perpecahan. Pada Muktamar Ke-33 di Jombang (2015) misalnya, hampir saja muncul dualisme pengurusan. Tetapi, akhirnya muncul tokoh-tokoh yang menyatukan seperti KH Mustofa Bisri.
Begitulah hebatnya NU. Semua pihak akhirnya menurunkan ego masing-masing dan bisa bersatu kembali. Orang-orang NU selalu punya cara untuk menguatkan ukhuwah dan silaturahmi. Tradisi persatuan yang demikian kental itu sulit sekali dirusak. Karena kodratnya, para nahdliyin itu suka berkumpul dalam berbagai forum. Mulai pengajian hingga tahlilan.
Jadi, kalau pimpinan yang di atas sedang tensi tinggi, para nahdliyin di bawah akan tetap adem ayem melihat tingkah polah para kiai yang tengah bersilang pendapat. Sambil menanti ada sosok kiai karismatis yang akan mengingatkan para petinggi itu untuk segera mengakhiri perseteruan. (jun)



