PADA akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, pemerintah Arab Saudi resmi menambah kuota haji Indonesia sebanyak 20 ribu jemaah. Dengan demikian, kuota haji reguler Indonesia pada musim haji 1446 H/2025 M menjadi 241 ribu orang (dari sebelumnya 221 ribu orang). Angka tertinggi sepanjang sejarah penyelenggaraan haji Indonesia.
Kabar itu tentu disambut sukacita. Namun, muncul tantangan besar: bagaimana mendistribusikan tambahan 20 ribu kuota tersebut secara adil ke seluruh kabupaten/kota di Indonesia?
Data Kementerian Agama menunjukkan ketimpangan yang mencolok. Kota Surabaya, misalnya, mendapat tambahan 1.098 jemaah. Sementara Kabupaten Bener Meriah (Aceh) hanya mendapat tambahan 1 orang. Puluhan kabupaten lain dengan daftar tunggu 25–40 tahun hanya kebagian tambahan 1–10 orang, sedangkan beberapa kota besar mendapat ratusan hingga ribuan.
Akibatnya, gelombang protes keras muncul dari berbagai daerah, terutama Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua, Papua Barat, serta sejumlah kabupaten di Sumatera dan Kalimantan. Mereka menilai formula distribusi kuota yang digunakan Kemenag tidak transparan dan tidak mencerminkan rasa keadilan.
Kemenag mengklaim menggunakan rumus proporsional yang mempertimbangkan tiga variabel utama. Kuota dasar tahun sebelumnya, jumlah penduduk muslim, dan panjang daftar tunggu (waiting list). Namun, dalam praktiknya, bobot kuota dasar tahun sebelumnya terlalu dominan. Akibatnya, daerah yang sudah memiliki kuota besar terus mendapat tambahan besar pula (efek ’’the rich get richer’’). Sementara daerah dengan daftar tunggu terpanjang justru terpinggirkan.
Belum lagi dampak lanjutan seperti waiting list di sejumlah kabupaten tertinggal yang semakin panjang. Lalu, banyak kantor Kemenag kabupaten yang kewalahan menangani lonjakan manasik, pembinaan, dan proses pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (bipih) dalam waktu singkat.
Dari masalah tersebut, perlu ada revisi formula distribusi kuota. Berikan bobot lebih besar pada panjang waiting list (misalnya 50–60 persen bobot total). Terapkan prinsip keadilan korektif untuk daerah dengan waiting list di atas 25 tahun yang berhak atas prioritas tambahan. Aktifkan kuota afirmasi daerah tertinggal seperti yang pernah diusulkan DPR. Alokasikan 5–10 persen dari tambahan kuota nasional sebagai kuota khusus untuk provinsi/kabupaten dengan waiting list terpanjang.
Baca Juga
Guru di Era Digital
Yang tak kalah penting, publikasikan secara terbuka data waiting list per kabupaten/kota, jumlah pendaftar baru tiap tahun, dan simulasi perhitungan kuota di laman resmi Kemenag. Sembari melakukan penambahan SDM dan anggaran operasional di Kemenag kabupaten yang daftar tunggunya panjang.
Last but not least, jika memungkinkan, negosiasikan dengan pemerintah Arab Saudi untuk kuota per provinsi (bukan nasional) supaya lebih mudah mengatur pemerataannya. Penambahan kuota haji memang kabar gembira. Tetapi, tanpa perubahan mendasar pada sistem distribusi, masalah ketidakadilan terus berulang dan semakin parah. (dns)



