JAKARTA – Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan BI-Rate di level 4,75 persen. Langkah itu menjadi sinyal kuat bahwa otoritas moneter masih mengutamakan stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian global yang belum mereda.
“Keputusan ini konsisten dengan fokus kebijakan jangka pendek dalam menstabilkan rupiah dan menarik aliran portofolio asing, dengan tetap menjaga efektivitas transmisi pelonggaran moneter yang sudah ditempuh,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta Kamis (20/11).
BI menyatakan ruang penurunan suku bunga tetap terbuka. Hal itu seiring proyeksi inflasi 2025–2026 yang berada dalam kisaran 2,5±1 persen. Namun, penyesuaian akan dilakukan secara hati-hati agar tetap menopang pertumbuhan ekonomi.
Intervensi Ganda
Untuk menjaga rupiah, BI terus melakukan intervensi ganda lewat transaksi NDF di pasar luar negeri serta spot dan DNDF di dalam negeri. Instrumen SRBI dan pembelian SBN di pasar sekunder juga dioptimalkan guna menjaga likuiditas pasar uang. “Pendalaman pasar valas turut diperkuat dengan memperluas instrumen transaksi dalam yuan Tiongkok dan yen Jepang sebagai bagian dari pengembangan local currency transaction (LCT),” katanya.
Instrumen Valas Baru
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menambahkan, pihaknya menyiapkan perluasan instrumen operasi moneter dalam yuan dan yen, baik untuk transaksi spot maupun swap. Langkah itu bertujuan memperdalam pasar valas domestik dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
“Intervensi di pasar off-shore dan triple intervention belum cukup. Penguatan struktural pasar valas domestik menjadi kunci,” ujar Destry .
Transaksi LCT terus menunjukkan perkembangan pesat. Dengan Tiongkok saja, nilainya kini mencapai sekitar USD 1 miliar per bulan, namun pasokan yuan di pasar domestik masih terbatas. Perluasan instrumen ini diharapkan mempermudah pelaku pasar bertransaksi langsung dalam yuan—tanpa harus membeli USD terlebih dahulu.
Mata Uang Garuda Tertekan
Destry mengingatkan kondisi global masih rentan. Indeks dolar AS (DXY) yang terus menguat dan tingginya imbal hasil US Treasury menekan aliran modal ke emerging market. Rupiah pun ikut terdampak.
Sejak awal Oktober, rupiah melemah 0,48 persen, sejalan dengan mata uang regional lain seperti peso Filipina (-1,34 persen), won Korea Selatan (-4,25 persen), dan baht Thailand (-0,21 persen). (mim/dio)



