Dalam beberapa tahun terakhir, wacana redenominasi rupiah kembali muncul sebagai agenda yang sesekali mengemuka dalam pembahasan pemerintah. Secara konsep, gagasan itu tampak sederhana: menghapus tiga nol demi merapikan pencatatan dan membuat tampilan rupiah lebih ringkas.
Namun, pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi tidak pernah berdiri pada hitungan matematis semata. Setiap perubahan angka selalu berkaitan dengan perubahan perilaku, persepsi, serta respons publik. Dalam kerangka teori institutional trust, kebijakan yang menyentuh keseharian masyarakat hanya akan berhasil apabila lembaga yang mengusulkannya dianggap kredibel dan dapat diandalkan. Kepercayaan –lebih dari apa pun– menjadi fondasi.
Situasi ekonomi Indonesia hari ini juga berbeda jika dibandingkan dengan era ketika uang kertas masih dominan. Lanskap transaksi telah bergeser menuju pembayaran digital berbasis QR, e-wallet, dan transfer daring. Pergeseran itu menunjukkan apa yang disebut para analis sebagai technology-mediated behavior: perilaku ekonomi yang sangat dipengaruhi infrastruktur digital.
Karena itu, pertanyaan utama yang patut diajukan: Jika pembayaran digital kini merupakan tulang punggung transaksi, apakah fondasi teknologinya cukup kuat untuk menopang perubahan besar seperti redenominasi?
Redenominasi bukan sekadar pengurangan angka nol. Ia merupakan ujian menyeluruh terhadap kesiapan sistem, literasi masyarakat, serta tata kelola ekonomi. Dalam konteks teori path dependency, perubahan besar tanpa menilai kondisi lama sangat berisiko menimbulkan anomali transisi –ketika kebiasaan lama dan format baru tidak selaras dalam jangka waktu yang panjang.
QRIS
QRIS merupakan salah satu inovasi pembayaran paling signifikan dalam sejarah transaksi nasional. Dalam waktu singkat, pedagang kecil hingga penjual keliling dapat menerima pembayaran digital. Bank Indonesia merespons cepat, pelaku usaha menyesuaikan diri, dan masyarakat menikmati kemudahannya. Namun, kemudahan tidak identik dengan kesiapan.
Di banyak wilayah, gangguan transaksi QRIS masih terjadi: sinyal melemah, aplikasi gagal memindai, hingga konfirmasi yang tertunda. Pada keadaan biasa, gangguan itu hanya dianggap risiko penggunaan teknologi.
Namun, dalam skenario redenominasi, ketika angka menjadi lebih pendek dan tampak serupa, gangguan kecil dapat berujung pada kesalahan harga dan mengikis rasa percaya. Kesalahan membaca 10,00 sebagai 1.000 atau sebaliknya bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan potensi kegagalan sistemik.
Selain itu, pedagang kecil masih memosisikan QRIS sebagai opsi kedua, bukan utama. Dengan demikian, ada dua ekosistem transaksi yang berjalan paralel: digital yang relatif terstruktur dan tunai yang lebih longgar. Pada fase transisi redenominasi, fase yang dalam teori kebijakan disebut critical juncture, ketidaksinkronan seperti itu dapat memperbesar risiko.
E-Wallet
Indonesia memiliki kompetisi dompet digital yang sangat dinamis. GoPay, OVO, Dana, ShopeePay, dan berbagai layanan lain berkembang pesat. Namun, kompetisi memunculkan fragmentasi. Setiap platform memiliki antarmuka, format harga, dan aturan pembulatan berbeda. Ketika redenominasi diterapkan, semua sistem itu harus diperbarui secara serentak dan konsisten.
Dalam konteks teori technology readiness, keberhasilan adopsi kebijakan berbasis teknologi sangat ditentukan koordinasi antarpelaku. Indonesia tidak memiliki sistem pembayaran yang terpusat seperti negara-negara yang sukses melakukan redenominasi. Dengan ekosistem yang terfragmentasi, risiko kesalahan tampilan harga atau perhitungan diskon meningkat. Dalam situasi ekonomi yang sensitif, ketidaktepatan kecil dapat memicu persepsi adanya manipulasi.
Wajah Digital
Digitalisasi perbankan sering disalahartikan sebagai modernisasi menyeluruh. Padahal, banyak bank besar yang masih menggunakan sistem inti berusia puluhan tahun yang diperbarui secara bertahap. Ketika redenominasi diberlakukan, perbankan harus mengubah sistem inti yang menangani jutaan transaksi per jam. Gangguan, keterlambatan, atau kesalahan kecil berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi.
Pengalaman beberapa negara seperti Venezuela menunjukkan, redenominasi dapat gagal bukan karena kesalahan konsep, melainkan akibat infrastruktur yang tidak mampu mengatasi perubahan skala nasional. Pelajaran penting dari kasus tersebut, teknologi tidak berdiri sendiri. Ia bergantung pada kesiapan institusi yang mengoperasikannya.
Transparansi Harga
Perubahan nominal dari Rp 10.000 menjadi Rp 10 tampak sederhana. Namun, implikasinya amat luas. Di pasar tradisional, harga sering tidak tercatat secara formal. Di kedai kecil, harga disimpan dalam ingatan penjual. Kondisi itu membuka ruang terjadinya kenaikan harga yang dibenarkan dengan alasan ’’masa transisi’’. Dalam teori perilaku ekonomi, masa abu-abu seperti itu merupakan ruang klasik munculnya moral hazard.
Di ritel modern, tantangannya tidak kalah besar. Sistem POS (point of sale), barcode, dan daftar harga harus diperbarui menyeluruh. Satu kesalahan dapat menjatuhkan kepercayaan konsumen secara cepat. Selain itu, terdapat risiko inflasi persepsi: angka yang lebih kecil tampak lebih murah meski nilainya sama. Jika tidak diantisipasi, mekanisme psikologis itu dapat mempercepat tekanan inflasi.
Baca Juga
Ramp Check
Dalam kebijakan publik, tampilan modern tidak selalu sejalan dengan kesiapan struktural. Redenominasi hanya bermanfaat jika fondasinya kukuh secara teknis, sosial, dan institusional. Digitalisasi pembayaran adalah langkah penting, tetapi belum cukup untuk memastikan transisi skala besar berjalan mulus.
Kepercayaan publik tidak lahir dari penghapusan angka nol, tetapi dari ketelitian, kehati-hatian, dan konsistensi langkah pemerintah. Selama prasyarat tersebut belum sepenuhnya terpenuhi, redenominasi tetap menjadi risiko yang terlalu mahal untuk masyarakat. (*)




