JAKARTA - Pemerintah menerima pendanaan program perubahan iklim REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) cukup besar. Secara akumulasi mencapai Rp 2 triliun lebih. Pemerintah memastikan mengelola dana tersebut dengan akuntabel dan sesuai peruntukan.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim Haruni Krisnawati mengatakan, Indonesia berkomitmen memperkuat pembiayaan berbasis hutan yang berintegritas, inklusif, dan berkelanjutan. Komitmen tersebut dia sampaikan dalam Forest Pavilion COP30 di Balem, Brasil.
Haruni menegaskan, platform pendanaan REDD+ berhasil membentuk fondasi penting bagi pembangunan sistem pembiayaan iklim yang lebih kredibel dan terukur di Indonesia. “Pengalaman Indonesia membuktikan bahwa keberhasilan REDD+ tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknis menghitung emisi," kata Haruni dalam keterangannya (15/11). Lebih dari itu, juga ditentukan oleh tata kelola yang jelas, integritas data, dan kepemilikan yang kuat di tingkat lokal hingga nasional.
Sumber Dana dari Mitra Internasional
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Indonesia telah memperoleh pembayaran berbasis hasil dari berbagai mitra internasional. Termasuk dari Norwegia sebesar USD 56 juta atau sekitar Rp 935 miliar. Kemudian dari Dana Iklim Hijau (GCF) sebesar USD 103 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun. Berikutnya dari Bank Dunia sebesar USD 20,9 juta atau sekitar Rp 320 miliar.
Haruni menegaskan, dana penanganan perubahan iklim di sektor Perhutanan itu tidak masuk ke kas Kementerian Kehutanan (Kemenhut) langsung. Dana tersebut masuk dan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BDLH). Pendanaan REDD+ yang dikelola melalui BPDLH itu mempertegas posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan tata kelola pembiayaan iklim yang komprehensif dan akuntabel.
Dia juga menyampaikan bahwa Indonesia menggunakan tiga prioritas utama dalam memperkuat efektivitas pembiayaan hutan berbasis hasil ke depan. Yaitu, memperkuat pendekatan yurisdiksional melalui nesting provinsi ke dalam sistem penghitungan karbon nasional.
Kemudian, memastikan keadilan dan inklusivitas, termasuk melalui mekanisme pembagian manfaat untuk masyarakat, masyarakat adat, dan pemerintah daerah. "Serta mendorong partisipasi sektor swasta dengan memberikan kepastian aturan melalui kebijakan nilai ekonomi karbon (NEK).
Sesi Forest Pavilion COP30 itu dihadiri oleh pembicara dari berbagai negara. Antara lain, Costa Rica, Guatemala, Uganda, dan mitra global lainnya. Forum tersebut menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin kunci dalam tata kelola dan pembiayaan mitigasi perubahan iklim berbasis hutan. Kemenhut menegaskan Indonesia akan mendorong kolaborasi global agar pembiayaan hutan lebih inklusif, akuntabel, dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat di tingkat tapak. (wan/oni)



