BOGOR - Pemerintah kembali menegaskan komitmennya memberantas impor pakaian bekas ilegal seiring meningkatnya peredaran produk thrifting di berbagai daerah. Kementerian Perdagangan (Kemendag) memusnahkan 500 balpres pakaian bekas impor sebagai bagian dari total 19.391 balpres yang sebelumnya disita hasil operasi bersama dengan BAIS TNI, BIN, dan Polri.
”Jadi kegiatan pemusnahan pada hari ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (Ditjen PKTN), kemudian BAIS TNI, BIN dan juga Polri,” ujar Menteri Perdagangan Budi Santoso di Nambo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (14/11).
Balpres-balpres tersebut ditemukan di 11 gudang dan dimiliki oleh delapan distributor. Budi menegaskan, pemerintah telah menjatuhkan sanksi berupa penutupan usaha sekaligus mewajibkan para importir untuk memusnahkan seluruh barang ilegal. “Barang sebanyak 500 balpres dan biaya pemusnahan dilakukan oleh perusahaan impor atau distributor,” jelasnya. Hingga kini, 16.591 balpres telah dimusnahkan atau sekitar 85,56 persen dari total sitaan, dan seluruh proses ditargetkan rampung akhir November 2025.
Kemendag mengingatkan, praktik thrifting berbasis impor tetap dilarang karena melanggar ketentuan perdagangan. Meski begitu, aktivitas ini masih marak di platform digital dan pasar fisik karena tingginya permintaan. Data BPS menunjukkan bahwa nilai impor kategori barang tekstil jadi, pakaian bekas, dan gombal mencapai USD 78,19 juta pada Januari–Juli 2025.
Pada kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menugaskan Kementerian Koperasi dan UMKM menyiapkan solusi alternatif agar pelaku usaha thrifting tidak kehilangan mata pencaharian.
Menteri UMKM Maman Abdurrahman menjelaskan bahwa pemerintah mendorong pedagang untuk beralih ke produk fesyen lokal yang diproduksi UMKM. Menurut Maman, banyak produk lokal yang mampu bersaing dari kualitas, harga, hingga tren. Ia mencontohkan industri distro Bandung yang selama ini dikenal menghasilkan produk berstandar baik. Ia juga membantah anggapan bahwa pakaian thrifting selalu lebih murah. “Hasil pertemuan dengan asosiasi dan pelaku usaha menunjukkan bahwa harga pakaian bekas juga tidak selalu lebih rendah,” urainya.
Pemerintah Harus Kendalikan Arus Impor
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mendesak pemerintah mengendalikan arus barang impor ilegal sebelum masa lebaran 2026. Menurut Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta, tahun depan menjadi faktor penentu keberlangsungan industri tekstil lokal, antara bangkit atau tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus berlanjut.
Supaya nasib pelaku usaha tetap berkelanjutan, Redma meminta pemerintah memberantas impor ilegal melalui praktik larangan impor borongan. Selain itu supaya mengendalikan impor melalui pemberlakuan BMADS/BMTPS atau mengurangi kuota impor.
Dia menilai, penyakit utama di pasar domestik adalah persaingan yang tidak adil dengan barang-barang impor tersebut. “Kita perlu dengan cepat menyelesaikan permasalahan ini agar industri dalam negeri bisa bangkit dengan momentum lebaran,” tegas Redma. (agf/oni)




