JAKARTA - Pemblokiran tanah milik ribuan warga Surabaya yang diklaim sebagai aset PT Pertamina bergulir ke gedung DPR. Kemarin Komisi II mengadakan rapat dengan perwakilan warga dan pengusaha Surabaya yang tanahnya diklaim milik Pertamina.
Rapat tersebut juga dihadiri Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, dan Wakil Wali Kota Surabaya Armuji. Dalam pertemuan itu, Sekjen Kementerian ATR/BPN Dalu Agung Darmawan menjelaskan tentang kronologi kasus tersebut. Dia menyebut, tanah yang bermasalah itu adalah bekas Eigendom Verponding (EV) nomor 1278 yang ada di Kelurahan Dukuh Pakis, Gunung Sari, Pakis, dan Sawunggaling.
Pertamina mengklaim sebagian tanah itu, yakni seluas 110 hektare, sebagai aset mereka. Padahal, di atas lahan tersebut telah terbit ribuan hak atas tanah. Ada yang berupa SHM, SHGB, Hak Pakai (HP), dan HPL (Hak Pengelolaan Lahan). Karena ada klaim dari Pertamina, BPN akhirnya mengeluarkan surat pemblokiran pada 2010.
Pemblokiran itu sangat merugikan warga. Sebab, mereka tidak bisa memanfaatkan asetnya untuk jual beli, agunan bank, bahkan waris. BPN juga tidak memproses permohonan warga yang ingin mengurus sertifikat. Total ada 12.500 dokumen pertanahan milik warga yang tidak bisa ditindaklanjuti oleh BPN.
Kementerian ATR/BPN telah berusaha menyelesaikan sengketa tersebut sejak 2011. Namun, hingga kini masih belum tuntas. Dalu mengatakan, barang milik negara (BMN) bisa dilepas melalui mekanisme resmi. Yakni, penjualan, tukar menukar, hibah, pelepasan melalui menteri keuangan, dan penyertaan modal.
Wali Kota Surabaya Minta Blokir Dibuka
Wali Kota Eri Surabaya menegaskan bahwa ada 12.500 lebih persil yang terdampak klaim Pertamina. Persil sebanyak itu tersebar di lima kelurahan. Yakni Dukuh Pakis, Dukuh Kupang, Pakis, Gunungsari, dan Sawunggaling. ''Dan di situ ada sekitar 100 ribu jiwa. Jadi kami merasakan betul bagaimana warga kami kesulitan ketika tahun 2010 tiba-tiba dilakukan pemblokiran,'' katanya.
Dia menegaskan, semua warga tersebut telah membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) sejak 1940. ''Kami mohon kepada komisi II agar warga kami bisa mendapatkan haknya lagi. Tidak diblokir. Beliau-beliau ini menempati tanah itu sejak tahun 1940,'' katanya. Eri juga menegaskan siap mendampingi warganya untuk menyelesaikan masalah itu.
Wagub Emil menambahkan, masalah itu telah dibahas pada rapat 10 Oktober 2025. ''Tema rapat sebenarnya adalah satgas antimafia tanah. Tapi kami anggap kasus ini tidak kalah penting dengan mafia tanah. Karena itu, Pemprov Jatim akan mendampingi Pemkot Surabaya,'' tegasnya.
Transaksi Mandek, Pengembang Mengeluh
Sebelum rapat, Jawa Pos sempat mewawancarai Dedy Prasetyo, Legal Corporate PT Dharma Bhakti Adijaya. Sebagian lahan milik perusahaan properti itu juga diblokir oleh BPN. Dedy mengatakan, pemblokiran itu membuat transaksi pertanahan di tiga kecamatan lumpuh total sejak Juli. “Kami tidak bisa mengurus transaksi tanah. BPN menjawab secara resmi bahwa ini karena permintaan Pertamina agar semua proses di wilayah yang mereka klaim tidak diproses. Padahal, mereka hanya pegang eigendom lama, bukan sertifikat,” ujar Dedy.
Menurut dia, Pertamina mengklaim kawasan seluas ratusan hektare berdasarkan EV nomor 1278, warisan dokumen era kolonial. Namun, klaim tersebut tidak disertai bukti penguasaan fisik, pembayaran pajak, ataupun sertifikat resmi. “Tidak ada sengketa, tidak ada gugatan, tapi hanya dengan surat permintaan, BPN memblokir ribuan sertifikat. Ini tidak ada dasar hukumnya,” kritiknya.
Akibatnya, warga tidak bisa menjual tanah, meminjam ke bank, meningkatkan status hak, hingga nilai NJOP anjlok karena lokasi dianggap bermasalah. “Warga mau jual rumah untuk biaya sekolah, nikah, sampai untuk agunan bank pun tidak bisa. Ini kerugian besar,” ujarnya.
Pemblokiran tersebut, lanjutnya, dilakukan tanpa proses sengketa formal. Dedy menyebut, semestinya BPN tidak boleh menindaklanjuti permintaan sepihak tanpa putusan hukum.
Rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPR kemarin adalah kali pertama persoalan tersebut masuk ke ranah pusat setelah sebelumnya hanya ditangani BPN Kota Surabaya. Hari ini komisi VI dijadwalkan bertemu dengan manajemen PT Pertamina untuk membahas masalah tersebut.
DPR Juga Panggil Pertamina, Minta Pelepasan Dipercepat
Wakil Ketua DPR Adies Kadir menegaskan perlunya perubahan regulasi agar BPN tidak sembarangan melakukan pemblokiran tanah hanya karena adanya permohonan dari satu pihak. “Pemblokiran itu harus jelas betul. Dasarnya harus kuat sekali. Tidak bisa serta-merta hanya dengan surat. Ini perlu diatur karena kasus seperti ini banyak di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Adies menyebut klaim Pertamina atas lahan tersebut kini telah mencapai 534 hektare, jauh lebih luas dari catatan sebelumnya. Menurutnya, birokrasi juga menjadi kendala karena BPN daerah kerap menunggu petunjuk pusat sehingga proses pelayanan mandek. Jika hal seperti ini terjadi di 500 lebih daerah, masyarakat akan menunggu terlalu lama.
Adies menegaskan pihaknya ingin persoalan ini tuntas melalui jalur nonlitigasi. Dia berharap Pertamina segera membuka ruang penyelesaian. “Besok (hari ini) jam 1 siang kami akan pertemukan langsung dengan Pertamina. Syukur-syukur bisa langsung oke, kami lepaskan. Setelah itu kita koordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk percepatan,” bebernya. (lyn/oni)




